Terpilihnya Kiai Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum PBNU dan Kiai Ma’ruf Amin sebagai Rois Aam menandai ditutupnya Muktamar NU ke-33 di Jombang yang penuh dengan drama. Sayangnya, berakhirnya mukmatar tidak berarti drama dari forum tertinggi ormas Islam terbesar di negeri ini juga ikut berakhir.
Tidak sedikit pihak-pihak yang masih menyimpan kekecewaan dengan hasil mukmatar. Baik dari Kiai Hasyim Muzadi, mantan Rois Syuriah, sampai Gus Solah sebagai salah satu calon ketua.
Atas situasi yang panas ini, maka sudah jelas NU membutuhkan sosok yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih ayem dan tentrem. Sosok yang mampu membuat masyarakat NU tidak mudah emosi. Sosok yang mampu membuat NU jadi solid kembali. Sosok yang mampu membuat NU jadi ormas yang identik dengan senyuman.
Dan sosok itu adalah Agus Mulyadi, pria tuna asmara yang juga akrab disapa Gus Mul. Kenapa? Berikut alasan-alasannya.Â
Ahli sotosop
Nama Gus Mul semakin berkibar tatkala beliau diundang di stasiun tipi ibu kota sebagai ahli tukang edit poto. Tidak main-main, bahkan sosok macam Mas Tukul Arwana dan Om Sule sampai terkagum-kagum sama keahlian beliau dalam urusan sotosop-sotosop begituan.
Kemampuan Gus Mul sangat diperlukan dalam memastikan validitas isu foto dangdut di acara muktamar yang diunggah Om Jonru beberapa waktu lalu. Keahlian Gus Mul akan sama pentingnya dengan keahlian IT Pak Roy Suryo dalam menelaah foto-foto kontroversial. Untuk memastikan saja, mana yang kabar yang hoax dan mana yang tidak. Sebab klarifikasi dari ahli seperti Gus Mul tentu penting untuk citra NU ke depannya.
Tulus dan menjauhi maksiat
Siapa yang bisa melupakan pidato Gus Mus yang berurai air mata meminta permohonan maaf dari para muktamirin saat sidang berlangsung panas? Kejadian heroik ini bisa dianggap sebagai salah satu kunci mengapa mukmatar NU bisa tetap dilanjutkan sampai usai.
Apalagi ketika Gus Mus menolak jabatan Rais Aam kembali sekalipun sebagian besar muktamirin menginginkannya. Sikap ini menunjukkan bahwa Gus Mus mencerminkan sosok yang rendah hati dan menjauhi potensi maksiat dari godaan sebuah jabatan. Gus Mus menegaskan bahwa NU tidak hanya butuh para penyampai mauizhah hasanah yang yahud, tapi juga seorang uswatun hasanah yang brilian.
Di sisi lain, Gus Mul ternyata juga memiliki pendekatan yang hampir sama. Terutama dalam rekam jejak sejarahcintanya. Di saat banyak generasi muda yang semakin lumrah berdekat-dekatan dengan zina dan pacaran, Gus Mul adalah pemuda yang menghindarkan diri dari segala bentuk kemaksiatan. Coba saja tanyakan kepada Gus Mul rekam jejak pacaran beliau, Anda pasti akan terhenyak betapa kuatnya beliau menahan godaan dosa-dosa mendekati zina.
Dari hal itu bisa dilihat bahwa Gus Mul adalah pria paling tulus dalam urusan cinta. Sebab beliau tidak pernah meminta balasan balik untuk dicintai oleh gadis-gadis yang ditaksirnya. Ketulusan cinta macam ini benar-benar sesuatu yang layak dicontoh tidak hanya bagi generasi muda NU, tapi juga jomblowan-jomblowati muslim Indonesia.
Nasionalis
Foto Mbah Maimun Zubair yang tetap memaksakan diri berdiri di atas kursi rodanya ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan adalah hal lain yang menginspirasi banyak generasi muda sepanjang gelaran muktamar. Foto yang juga menampar habis pendapat Mas Felix Siauw bahwa nasionalisme itu gak perlu karena katanya gak ada haditsnya.
Hal yang dilakukan Mbah Maimoen itu memang cukup sepele, namun pesan yang tersampaikan begitu dahsyat. Persis halnya dengan jiwa nasionalis Gus Mul lewat kredonya yang sangat terkenal. Bahwa siapapun Anda, mau jomblo, perokok, playboy, santri, pendukung LGBT, atau yang menolak itu tak jadi soal, yang penting Anda HAPAL PANCASILA.
Warbyasa, kurang nasionalis apa coba Gus Mul itu?
Lucu
Begini. Mengikuti muktamar itu capek, lho. Ente pusing karena situasi muktamar yang riuh dan debat berlangsung panas. Bahkan beberapa muktamirin, pasti ada juga yang masih puasa syawal. Nah, kondisi lapar dan suntuk inilah yang jadi takaran sempurna untuk menjadikan seseorang jadi mercon korek sumbu pendek.
Kalau boleh menilai, sejatinya semua perseturuan yang terjadi selama muktamar ini bukanlah soal beda dukungan muktamirin dari Kiai Said sampai Gus Solah. Situasi panas ini terjadi karena NU kehilangan sosok yang mampu menghadirkan sesuatu yang jenaka di tengah-tengah sidang yang agak panas. Yah, bagaimanapun juga harus diakui, sepeninggal almarhum Gus Dur, NU semakin ke sini makin serius. Bahkan bisa dibilang over-serius. Padahal saya yakin, para muktamirin pasti tahu bahwa apa-apa yang berlebihan itu gak baik, termasuk juga soal keseriusan berlebihan mengikuti muktamar.
Maka, atas dasar itulah sosok Gus Mul benar-benar diperlukan. Gus Mul adalah representasi sempurna mengenai wajah aerodinamis yang penuh senyum meneduhkan lagi menenangkan. Meski kualitas kelucuan Gus Mul memang belum ada apa-apanya dengan kemampuan Gus Dur, namun saya yakin sosok polos dan lucu seperti Gus Mul berpotensi bikin NU lebih hepi dan ramah.
Paling tidak, pengurus NU bisa mempertimbangkan Gus Mul jadi maskot. Maskot senyum, tentu saja. Sebab, sebagai ormas yang peduli sama urusan ibadah umatnya, tentu NU perlu memperhatikan pentingnya sebuah senyuman.
Karena senyum juga ibadah, kan?