Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan Mojok
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan Mojok
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan Mojok
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Fakta Menyeramkan Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Lahir di Indonesia

Marjoko oleh Marjoko
5 Oktober 2025
A A
Apa yang Terjadi Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Ada? MOJOK.CO

Ilustrasi Apa yang Terjadi Jika Muhammadiyah Tidak Pernah Ada? (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Apa yang terjadi jika Muhammadiyah tidak pernah ada? Pendidikan kita akan tertinggal, pergerakan nasional kurang berwarna, dan koneksi kita dengan Islam global lebih lambat.

Sejarah selalu menyimpan banyak persimpangan. Ada momen-momen yang jika diputar ulang dengan hasil berbeda, bisa mengubah wajah bangsa secara keseluruhan. 

Pertanyaan imajiner ini kerap dipopulerkan oleh Marvel lewat serial What If…? Sebuah eksperimen cerita tentang apa yang terjadi jika jalannya sejarah berubah sedikit saja. 

Mari kita mencoba melakukan eksperimen serupa pada sejarah Indonesia. Bagaimana jika KH Ahmad Dahlan tidak pernah ada dan Muhammadiyah tidak pernah berdiri?

Tanpa Muhammadiyah, pendidikan Islam tertinggal

Ketika mendirikan Muhammadiyah pada 1912, KH Ahmad Dahlan membawa terobosan besar. Beliau memadukan pendidikan agama dengan ilmu umum dalam satu sistem sekolah modern. 

Inovasi ini sangat berani untuk masanya. Saat itu, sekolah-sekolah Islam lebih banyak mengajarkan ilmu agama secara tradisional. Di sisi lain, sekolah kolonial Belanda mendominasi pendidikan modern.

Iklan

Sekarang bayangkan jika Muhammadiyah tidak pernah berdiri. Bisa jadi pendidikan Islam akan tertinggal jauh lebih lama. 

Generasi Muslim Indonesia mungkin akan tetap terbagi. Mereka yang masuk sekolah Belanda menjadi terdidik, tapi tercerabut dari akar keislaman. Sementara itu, mereka yang tetap di pesantren, sulit beradaptasi dengan ilmu pengetahuan modern. 

Integrasi yang kemudian menjadi salah satu kekuatan bangsa mungkin tertunda puluhan tahun. Dampaknya, umat Islam Indonesia bisa kehilangan kesempatan emas untuk melahirkan kader-kader yang cakap di ranah agama, sekaligus sains dan teknologi sejak awal abad ke-20.

Hilangnya basis filantropi Islam

Salah satu warisan paling nyata dari Muhammadiyah adalah jaringan amal usahanya. Selain itu, ada juga rumah sakit, panti asuhan, dan layanan sosial yang tersebar hingga ke pelosok negeri. 

Tanpa Muhammadiyah, mungkin umat Islam Indonesia akan lebih lama bergantung pada lembaga sosial kolonial atau misi zending Kristen. Bukan berarti itu buruk, tetapi posisi umat Islam akan lebih lemah secara kemandirian.

Bayangkan sebuah Indonesia alternatif tanpa ratusan rumah sakit Muhammadiyah, sekolah-sekolah yang bisa diakses rakyat kecil, dan panti asuhan yang dikelola dengan nilai keislaman. Filantropi Islam akan kehilangan fondasi awal yang kokoh, dan pembangunan sosial umat bisa jauh lebih lambat.

Tanpa Muhammadiyah, peta ormas Islam berbeda

Ketiadaan Muhammadiyah juga akan mengubah peta organisasi Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama kemungkinan besar menjadi satu-satunya ormas besar tanpa penyeimbang dari kalangan modernis. 

Perdebatan intelektual dan dinamika keagamaan antara tradisionalis dan modernis mungkin tidak akan muncul. Khususnya dengan intensitas seperti yang kita kenal sekarang.

Padahal, perbedaan itu justru membentuk wajah Islam Indonesia yang kaya perspektif. Muhammadiyah dengan semangat modernisasinya, NU dengan kekuatan tradisi pesantrennya. Tanpa Muhammadiyah, wajah Islam Indonesia bisa lebih homogen, tetapi mungkin juga lebih miskin dalam hal dinamika pemikiran.

Gerakan nasionalisme yang pincang

Kita tidak bisa memungkiri, banyak tokoh nasional lahir dari rahim Muhammadiyah. Mereka menjadi penggerak kemerdekaan dengan basis intelektual Islam yang kokoh. Jika Muhammadiyah tidak pernah berdiri, gerakan nasional bisa jadi lebih didominasi oleh kelompok sekuler atau tradisionalis.

Ini berarti perjuangan bangsa akan kehilangan salah satu warna penting, nasionalisme yang lahir dari Islam modernis. Semangat perjuangan bisa jadi tetap ada, tetapi basis ideologisnya akan berbeda. Mungkin Indonesia tetap merdeka, tetapi narasi kebangsaannya tidak akan sekuat sekarang dalam merangkul keragaman cara pandang umat Islam.

Islam global yang terhambat

Satu lagi warisan penting Muhammadiyah adalah keterhubungannya dengan dunia Islam modern, khususnya dari Timur Tengah. Gagasan-gagasan pembaharuan dari Mesir, Turki, dan kawasan lain masuk ke Indonesia lewat Ahmad Dahlan. Jika itu tidak pernah terjadi, umat Islam Indonesia bisa lebih lama terisolasi dari wacana modernisasi global.

Akibatnya, posisi umat Islam Indonesia dalam peta dunia Islam mungkin lebih marginal. Kita tidak akan dikenal sebagai bangsa dengan ormas Islam modernis yang besar dan berpengaruh.

Menutup dengan refleksi

Eksperimen what if ini tentu hanya imajinasi. Sejarah nyata membuktikan bahwa KH Ahmad Dahlan lahir, mendirikan Muhammadiyah, dan mengubah wajah pendidikan serta sosial-keagamaan di Indonesia. Tetapi dengan bertanya “bagaimana jika tidak?”, kita jadi lebih menghargai arti penting sebuah organisasi dan seorang tokoh.

Marvel, lewat What If…? selalu menutup kisahnya dengan peringatan dari “The Watcher”. Bunyinya:

“Setiap keputusan, sekecil apapun, bisa mengubah jalannya dunia.” 

Demikian pula dengan sejarah bangsa ini. Kehadiran KH Ahmad Dahlan bukan hanya persoalan personal, melainkan titik balik yang membentuk masa depan Indonesia.

Maka, ketika kita bertanya: “What if, pendiri Muhammadiyah tidak pernah ada?”, jawabannya sederhana: mungkin Indonesia tidak akan seperti sekarang. Pendidikan kita akan tertinggal, kemandirian sosial umat melemah, pergerakan nasional kurang berwarna, dan koneksi kita dengan Islam global lebih lambat.

Karena itu, alih-alih sekadar berandai-andai, lebih bijak jika kita melanjutkan estafet perjuangan Ahmad Dahlan. Sejarah sudah membuktikan kontribusinya. Kini tinggal bagaimana generasi penerus menjaga agar semangat pencerahan itu tidak padam di tengah tantangan zaman baru.

Penulis: Marjoko

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Alasan Saya Tetap Mau Jadi Dosen Muhammadiyah walau Tahu Hidupnya Bakal Susah dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 6 Oktober 2025 oleh

Tags: kh ahmad dahlanMuhammadiyahNahdlatul Ulamanuormas Islampesantren muhammadiyahrumah sakit Muhammadiyahsekolah muhammadiyah
Iklan
Marjoko

Marjoko

Seorang pecinta tulisan, pengulik desain grafis, dan Good Daddy in every universe.

Artikel Terkait

wisuda, tuli.MOJOK.CO
Kampus

Sering Dibilang Bodoh karena Tuli, Kini Membuktikan Diri dengan Menjadi Wisudawan Tunarungu Pertama di Kampusnya

24 Oktober 2025
Menderita saat menjadi guru honorer di sekolah negeri. Sejahtera saat menjadi guru di sekolah (SMP) Muhammadiyah karena gaji lebih manusiawi MOJOK.CO
Ragam

Hidup Menderita saat Jadi Guru Honorer di Sekolah Negeri, Usai Pindah ke Sekolah Muhammadiyah Berubah Drastis Jadi Sejahtera

5 September 2025
Anggota PSHT Iri dengan Perguruan Tapak Suci yang Dianakemaskan Muhammadiyah karena Merasa Dikucilkan di UMM. MOJOK.CO
Ragam

PSHT Tetap di Hati meski Belajar di Lingkungan Muhammadiyah yang Punya Tapak Suci

16 Juli 2025
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi dalam acara jambore relawan bencana Muhammadiyah. MOJOK.CO
Kilas

Langkah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Mengantisipasi Tingginya Bencana Sepanjang 2025, Mulai dari Banjir hingga Karhutla

27 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kiper tim futsal putri UNY, Agma. MOJOK.CO

Perjuangan Ibu Belikan Sepatu Futsal, Beri Saya Kegigihan di Bawah Mistar

13 November 2025
Menemukan kedamaian batin dari rebahan karpet masjid MOJOK.CO

Rebahan di Karpet Masjid: Sepele tapi Beri Kedamaian Batin dari Dunia yang Penuh Standar, Tuntutan, dan Mengasingkan

12 November 2025
sembilan comm, event jogja.MOJOK.CO

Di Balik Denyut MICE di Jogja, Ada Sembilan Comm yang Selalu Siap di Belakang Panggung

13 November 2025
Derita Pakai QRIS: Minimal Order Gak Ngotak Bikin Sengsara MOJOK.CO

Pengalaman Buruk ketika Memakai QRIS: Jadi Boros karena Minimal Order yang Nggak Masuk Akal dari Pemilik Minimarket

11 November 2025
Starcross Membuktikan bahwa Nilai Kreativitas dan Komunitas Lebih Kuat dari Tren yang Datang dan Pergi

Starcross Membuktikan bahwa Nilai Kreativitas dan Komunitas Lebih Kuat dari Tren yang Datang dan Pergi

8 November 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Summer Sale Banner
  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.