MOJOK.CO – Buuuk! Kepala manusia baru saja jatuh dari pohon sukun! Tidak cuma satu, tapi dua, lalu tiga, berjatuhan. Setan kepala manusia itu sukses bikin saya pengin ngompol!
Seperti kebanyakan anak desa, saya sering menyusuri jalan perkampungan untuk belajar ngaji. Perlengkapan yang saya bawa ya seadanya; senter, Iqra jilid enam, lidi untuk menunjuk huruf Hijaiyah, dan autan—di majelis, nyamuk tampak selalu lapar.
Rutinitas itulah yang membawa saya bersentuhan langsung dengan pengalaman mistis. Pernah suatu kali, saat melintasi pemakaman tua, saya melihat seekor anjing mengorek-ngorek gundukan tanah di kuburan. Ia seolah-olah tengah berusaha membebaskan jasad seseorang di dalamnya.
Tak jarang pula saya berjumpa tiga sampai empat anak kecil berkepala plontos berkeliaran. Padahal, di kampung saya, tak ada satu pun anak yang siap mental untuk dirisak karena kepalanya mirip cilok. Jelas, mereka juga bukan Dedy Corbuzier cilik.
Singkat kata, ada banyak demit, beragam gen, yang sering menampakkan diri. Dari hantu yang memang sudah menjadi ciri khas Nusantara macam kuntilanak, pocong, genderuwo, banaspati, hingga hantu yang kehadirannya temporal, macam pocong anrok (baca: rok), cocokel, setan kayang, dan sebagainya.
Sampai kemudian, waktu itu tiba juga. Saya ketemu sama demit yang cutting edge pada zamannya. Pengalaman langka ini, oleh teman saya, diberi nama setan hulu (baca: kepala) sukun. Kamu mungkin mengenalnya sebagai setan kepala manusia!
Begini ceritanya….
Di desa saya, belum semua rumah dialiri listrik. Sebagian masih mengandalkan cempor untuk penerangan. Jarak antara satu rumah dengan lainnya cukup berjauhan. Penduduk belum sepadat sekarang. Sepi, gelap, dan mencekam.
Saya diteror setan kepala manusia tepat di hari Sabtu. Fyi, biasanya di hari Senin sampai Kamis, saya akan pulang diantar kawan-kawan seperguruan. Mereka ikut sampai rumah sebab di sana ibu-ibu sedang melangsungkan nobar Cinta Fitri.
Maklum, televisi masih terbilang langka dan mereka nggak mau melewatkan sinetron legendaris itu. Tapi di hari Jumat dan Minggu, bertepatan dengan liburnya Shireen Sungkar dari layar kaca, ibu-ibu juga libur bertamu. Tak ada satu pun kawan yang sudi mengantar saya pulang. Huh, kesetiaan kok cuma didasari sama sinetron Cinta Fitri.
Akhirnya saya pulang mengaji sendirian. Waktu itu, pakaian saya udah kayak juara Pildacil. Saya pede, dong. Mana ada setan yang berani sama juara Pildacil. Apalagi di tangan saya terjinjing iqra jilid enam, di sampul belakang ada gambar K.H. As’ad Humam. Insyaallah setan doang mah auto-respect.
Jarak antara rumah saya dan majelis sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Tak terlalu jauh sebetulnya. Tetapi, malam yang gelap di tengah perkampungan dengan jumlah warga yang masih bisa dihitung jari tangan, jelas bikin jarak tempuh “terasa panjang”.
Di sepanjang jalan, saya hanya bisa menunduk. Takut….
Pohon-pohon rindang masih mudah ditemukan dan rumah bagi segala jenis hantu ini semakin terlihat kokoh di malam hari. Ketika dedaunannya ditampar angin malam atau ranting dan dahan patah karena alasan tertentu, buluk kuduk saya langsung berdiri.
Belum lagi suara saling bersahutan dari kejauhan. Dari kejauhan pula, bunyi ombak terdengar lamat-lamat. Rumah saya memang tak begitu jauh dari pantai. Semuanya menambah kesan mistis. Aroma garam terus merangsek memasuki kedua lubang hidung, udara menjadi dingin dan angin datang tak teratur.
Sepanjang jalan, sembari terus menundukkan pandangan, saya tiba-tiba terpikir. Saat Ultraman berhasil menggasak monster, kira-kira ia biasanya terbang ke mana, ya? Ketika asik berpikir, tepat di bawah pohon sukun, tiba-tiba senter yang saya jinjing tidak mengeluarkan cahaya.
“Beduuual!”
Sontak saya mengeluarkan makian khas Banten Selatan yang artinya “babi hutan”. Terdengar mantap dan gurih, “Baterai habis rupanya.”
Nasib saya bergantung pada cahaya bulan, di luar daripada itu, tak ada sedikit pun sumber cahaya yang bisa diharapkan. Sayang, cahaya bulan tak bisa sepenuhnya diandalkan. Pohon-pohon rindang menahan sinarnya. Hanya cahaya kecil yang berhasil menyelinap di antara dedauan yang membantu maneuver saya melewati jalakan desa yang gelap itu.
Saya bergerak berdasarkan insting. Rasanya pengin lari, tapi takut tersandung “sesuatu”. Dari tempat saya berjalan, saya merasa beberapa pasang mata seperti mengawasi. Mata yang tajam dan penuh Hasrat. Mata yang terus bergerak, mengintai, dan waspada. Persis seperti tatapan Xavi Hernandez sebelum melepas umpan terobosan mematikan.
Tiba-tiba suara berdebum terdengar. Nyaring. Satu kepala manusia jatuh, tepat beberapa inci di hadapan saya. Setan kepala manusia itu berlubang di sana-sini. Dari lubang itu keluar ulat yang merayap. Dagingnya meleleh menjijikkan.
Sebenarnya, setan kepala manusia dengan anatomi seperti ini nggak bakal aneh-aneh, lha wong cuma kepala. Tapi jika kamu menatap bibirnya itu, dengan bentuk yang sudah aur-auran, niscaya kamu akan panik juga. Bibirnya seperti menagih sesuatu, seperti meminta pertolongan tapi tak lagi kuasa untuk berucap.
Pengin ngompol ya, Allah….
Saya berusaha memalingkan pandangan dari setan kepala manusia itu. Tetapi, bunyi-bunyi serupa kembali terulang. Satu…dua…tiga…seluruhnya terdengar dari belakang saya. Mereka seperti mengawasi punggung saya, yang semenjak kepala pertama jatuh, telah banjir keringat dingin. Saya segera lari terbirit-birit, tetapi kok rasanya diam di tempat, astaga naga!
Beruntunglah saya sampai di rumah dengan selamat….
Keesokan harinya, tiga orang kawan menyambangi rumah saya, kami memang punya “rutinitas kebudayaan”. Selain Cinta Fitri, kami rutin nonton bareng Power Rangers. Kepada mereka saya bercerita soal setan kepala manusia, sebab bercerita kepada orang-orang tua kadang menjemukan.
“Beduaaal!” Maki kawan saya yang sejak dari tadi pengin banget jadi Rangers Merah, sesaat setelah mendengar cerita saya secara mendetail.
“Dulu, kata Mamangku, di bawah pohon sukun yang sama, ada kakek-kakek yang meninggal setelah tertimpa satu buah sukun besar. Mayatnya ditemukan pagi-pagi.”
Kami terdiam beberapa saat. Ibu saya datang, membawa satu nampan besar camilan. Camilan yang masih mengepul tanda baru dianggat dari penggorengan itu ditemani empat gelas susu hangat.
Ibu saya yang baik itu menyuguhi kami sepiring sukun goreng yang masih panas.
“Beduaaaaaal!”
kami berempat serempak mengumpat, lebih dalam dan khusyuk, penuh ketakjuban.
BACA JUGA Hantu Tanpa Kepala yang Seliweran di Kamar Mandi Pondok Putra atau tulisan mengagetkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT HI HI HI….