Tanpa perlu membuka dan membacanya ulang, saya masih mengingat kusam mutu ketikannya. Itu akibat pita mesin tik yang sudah terlalu kering dan belum saya ganti baru. Saya juga bisa mengingat betapa banyak leletan tipe-x di cerpen yang cuma empat halaman itu—dan bisa dipastikan hal itu tetap saja tak akan membuatnya lebih bersih dari salah ketik dan kesalahan ejaan. Juga betapa miripnya cerpen itu dengan jenis-jenis cerpen khas pemula peserta lomba menulis, jenis cerpen yang, jika saya kebetulan jadi juri, segera akan saya singkirkan dan ketepikan pada kesempatan pertama membacanya. Tentu saja terutama karena alasan yang terakhir, tapi bisa juga untuk hal-hal yang membuatnya sebaiknya dibiarkan tersimpan, saya tak akan menyebutkan judulnya di sini dan tak merasa perlu menceritakan lebih jauh apa isinya. Yang bisa saya katakan, saya tak akan melupakan cerpen pertama itu. Dan oleh karena itu, saya masih menyimpan.
Bahkan lembar surat pengajuan naskah juga masih tersimpan bersamanya. Karena tak ada tanggal kepenulisan pada lembar cerpennya, dari lembar pengajuan naskah inilah saya bisa menemukan kapan pertama kali saya mengirimkan cerpen tersebut ke media, dan bisa mengira-ngira kapan saya memulai menulis cerpen pertama itu. Dengan sekilas saja membacanya ulang, saya tahu pengalaman macam apa yang telah saya lewati pada hari-hari menjelang saya menulis cerpen tersebut—sebuah cerpen dengan Aku yang otobiografis, khas pemula, yang agak terlalu dekat dengan apa yang saya tulis di buku harian pada saat yang sama. Yang saya sulit mengingat adalah alasan pasti dan paling bisa diterima kenapa saya akhirnya memutuskan menulis cerpen pertama di hari bersejarah itu: 27 Februari 1999, demikian tanggal yang tertera di sana.
Februari 1999 adalah bulan ketujuh saya menjadi mahasiswa Sastra, di Jogja. Mengacu hitungan kalender akademik di kampus masa itu (saya tak tahu sekarang bagaimana), itu artinya saya sedang berada di awal semester kedua. Besar kemungkinan, belum lama sebelum menulis cerpen pertama tersebut saya pulang kampung untuk liburan semesteran. Dan pada saat yang kurang lebih sama, jika belum melakukannya, saya yakin saat itu sedang menggodok kemungkinan untuk membuat sebuah kelompok diskusi menulis bersama beberapa teman. Itu hal-hal yang rasa-rasanya cukup memberi clue.
Liburan itu, bagaimanapun, adalah liburan semester pertama saya sebagai mahasiswa, dengan jaket almamater di tas dan stiker yang menegaskan bahwa saya adalah Mahasiswa UGM di kantong. Di luar pertanyaan-pertanyaan semena-mena orang-orang tentang Amien Rais dan Sheila on 7, untuk seorang mahasiswa Sastra semester pertama, itu pasti hari-hari yang penuh pikiran dan lamunan. Boleh jadi, saat itulah saya sedang cukup bersungguh-sungguh untuk memikirkan mulai menulis.
Ada clue lain yang disediakan oleh cerpen itu sendiri. Di situ saya menulis bahwa si Aku yang sedang gundah mencoba mengusir keruwetan pikirannya dengan membaca buku karya Danarto—dan tentu saja si Aku tambah senewen. Yang menarik, buku Danarto yang saya sebut di cerpen itu bukanlah salah satu buku fiksi Danarto, dan sangat mungkin bukan buku Danarto yang sudah saya baca, bahkan hingga saat ini: Orang Jawa Naik Haji. Meski demikian, saya memang punya keyakinan, sebuah atau beberapa buku yang saya baca di fase awal dan penting ini ada di balik dorongan kuat yang tiba-tiba saya dapatkan untuk—mari pinjam semboyan paling gagah dari para pendekar literasi— “menghunus pena dan mengubah dunia”.
***
Karena kesalahpahaman pengiriman, sebagian besar buku yang saya koleksi di tahun-tahun awal di Jogja hilang. Hal itu membuat saya juga kehilangan sebagian riwayat bacaan, terutama di fase-fase awal menulis. Namun demikian, setidaknya beberapa buku masih tersisa dan menyediakan diri menjadi semacam penanda. Dan ketika membacanya ulang, saya bisa meraba seberapa besar saya punya utang pada buku-buku itu.
Ada dua kumpulan cerpen kembar yang sudah membersamai saya selama lebih dari dua puluh tahun. Dua buku bersampul putih dan punya label yang sama: “Cerpen Pilihan Bernas”. Buku pertama Lukisan Matahari, sementara yang kedua Guru Tarno. Buku pertama merupakan cerpen pilihan tahun 1993, sementara buku kedua cerpen pilihan tahun 1994. (Ada kumpulan Cerpen Pilihan Bernas 1995—dan itu tampaknya menjadi kumpulan cerpen terakhir seri ini—yang berjudul Candramawa, tapi saya tak pernah memilikinya, meskipun rasa-rasanya pernah membacanya.)
Bernas, jika ada yang tak tahu, merupakan salah satu koran tua yang berbasis di Jogja—yang setelah kembang kempis di masa-masa pancaroba media pada akhirnya sama sekali tutup di awal 2018. (Udin, ikon jurnalis korban kekerasan yang terkenal itu, berasosiasi dengan koran ini.) Meski tak pernah bisa menyamai dominasi KR, Bernas pernah disegani di masa mapannya. Mereka punya kolom cerpen di setiap akhir pekan, seperti semua koran mapan di Indonesia pada masa itu. Di masa puncaknya, mereka bahkan sempat punya rubrik cerpen terjemahan yang terbit setiap hari. Dua kumpulan cerpen kembar yang saya punya mengabadikan masa-masa hebat itu.
Cerpen Pilihan Bernas, yang saat itu kebetulan berada dalam naungan satu korporasi, jelas-jelas mengekor kesuksesan Cerpen Pilihan Kompas (yang memulai tradisi ini sejak rilisnya Pelajaran Mengarang [1993]). Pada pengantarnya di kumpulan Guru Tarno, redaktur Bernas bahkan merasa perlu meminjam kalimat Nirwan Dewanto di pengantar kumpulan Pelajaran Mengarang untuk meneguhkan apa yang sekarang telah umum disebut sebagai sastra koran. Meski demikian, kumpulan cerpen ala Bernas ini masih mencoba membanggakan “perbedaannya” dengan pendahulunya. Istilah sui generis (beda dari yang lain), yang disematkan oleh Bakdi Soemanto pada pengantar buku pertama, Lukisan Matahari, yang pada dasarnya merupakan glorifikasi atas istilah “gado-gado”, bahkan “aneh”, yang juga dipakai di tulisan yang sama (bahkan di paragraf yang sama), disematkan dengan bangganya sebagai blurb di sampul belakang buku.
Apa pun istilahnya (sui generis, “gado-gado”, atau “aneh”), pada dua buku kumpulan cerpen inilah para penulis Indonesia, bahkan Jogja, dikumpulkan bersama dengan para penulis dunia—ralat: para raksasa sastra dunia. Di buku pertama, dan saya kira hanya di buku ini, Agus Noor, yang baru saja melewati usia 25-nya saat buku itu dicetak (sehingga disebut sebagai “tergolong cerpenis muda” di halaman biografi penulis), berada dalam satu buku kumpulan cerpen dengan Hemingway dan O. Henry. Sementara di buku kedua, beberapa tahun sebelum mengenalnya sebagai dosen pembimbing akademik saya, Aprinus Salam adalah cerpenis muda Jogja lain yang berbagi halaman riwayat hidup dengan Chekhov, Gibran, dan Tagore. Hm… entah mimpi indah apa yang dialami para cerpenis yang kini jelas tak muda lagi itu.
Di tengara yang saya sematkan di halaman judul buku, dua buku kembar tersebut saya miliki secara berurutan: buku yang pertama bertulis 23 April 1999, sementara buku kedua 25 Juni 2000. Namun, ketika saya baca ulang, segera terasa bahwa kumpulan kedua, Guru Tarno, jauh lebih terasa akrab dalam ingatan saya dibanding kumpulan Lukisan Matahari. (Bahkan di lipatan ingatan saya sendiri, judul kumpulan kedua jauh lebih mudah saya gali dibanding judul kumpulan pertama.) Beberapa cerpen di Guru Tarno, baik yang ditulis oleh penulis lokal maupun oleh para raksasa sastra dunia, jauh lebih punya gema di kepala. Judul cerpen “Kuda Makan Bakmi” dari Lao Hsian terasa sangat-sangat familier. Sementara cerpen dunia yang sangat terkenal, “Surat kepada Tuhan” karya Gregorio Lopez y Fuentes (yang mengilhami sutradara Garin Nugroho membuat film Surat untuk Bidadari), meskipun bisa ditemukan di banyak kumpulan cerpen terjemahan yang terbit di tahun ’90-an, rasa-rasanya saya baca pertama kali di kumpulan ini. Gema yang sama saya rasakan ketika membaca cerpen “Metamorfosa” dari Ida Bani Kadir (alias Abidah El Khalieqy) dan “Suwung” dari Omi Intan Naomi. Hal yang sedikit berbeda saya rasakan dengan kumpulan Lukisan Matahari. Selain pengantar Bakdi Soemanto yang bagus, dan beberapa cerpen lokal di daftar awal, juga cerpen “Museum Perjuangan”-nya Hemingway, yang saat pertama membacanya sulit saya pahami, gema itu terdengar sayup dan samar.
Dalam hal tanggal beli, dua buku itu jelas saya punyai lebih belakangan dibanding saat saya mulai menulis cerpen pertama. Namun, saya yakin, Guru Tarno telah saya baca jauh sebelum saya memilikinya, dan sangat mungkin sebelum saya memikirkan menulis cerpen pertama saya. Bisa saja buku itu saya pinjam dari Perpus Sastra, tapi sangat mungkin juga saya meminjamnya dari teman—seingat saya, Guru Tarno memang jauh lebih mudah ditemukan di rak buku para penulis pemula di masa itu dibanding Lukisan Matahari sehingga besar kemungkinan beberapa teman memilikinya jauh lebih awal dibanding saya. Dan, bisa dipastikan, dengan caranya sendiri, yang boleh jadi sui generis, “gado-gado”, dan “aneh”, Guru Tarno-lah yang mengajari saya menulis, bahkan jika saya tak benar-benar menyadari.
***
Sejujurnya, selain isinya yang mencampur cerpen lokal dan cerpen dunia, baik Lukisan Matahari maupun Guru Tarno tak beda-beda amat dengan buku-buku kumpulan cerpen yang ramai terbit di sepanjang dekade ‘90-an. Apalagi jika kita lebih khusus membicarakan cerpen-cerpen lokal. Di kolom ini saya pernah mengatakan bahwa cerpen-cerpen Jogja (ditulis oleh penulis yang tinggal di Jogja dan terbit di Jogja) tak pernah lebih dari gema yang agak ketinggalan dari cerpen-cerpen yang dilabeli sebagai cerpen nasional (biasanya karena dimuat di koran atau majalah yang dicetak di Jakarta). Dan ketika saya membaca ulang dua kumpulan cerpen kembar ini, anggapan itu menjadi lebih kuat.
Seumumnya cerpen-cerpen yang terbit di koran di masa itu, cerpen-cerpen di Lukisan Matahari dan Guru Tarno penuh dengan komentar sosial-politik, bahkan moral—malah kadang semata ditulis untuk itu. Dua cerpen yang masing-masing menjadi judul dari dua kumpulan ini, misalnya, sama-sama bicara tentang idealisme; yang pertama bercerita tentang pelukis idealis yang tak mau mimpinya dibeli orang berduit, sementara yang kedua berkisah tentang sosok guru ideal yang justru sulit dimengerti oleh rekan-rekan gurunya sendiri. Ciri lain dari cerpen-cerpen jenis ini dipenuhi dengan tragisme, lebih sering lagi kematian, entah itu yang alegoris maupun yang realis—bisa dengan kecelakaan, bisa dengan bunuh diri, bisa juga karena hal-hal konyol dan absurd. Hal ini bisa segera didapatkan di dua cerpen yang mengawali masing-masing kumpulan; sebuah perkantoran ambruk menimpa seluruh pekerjanya di cerpen pertama pada buku pertama, sementara di cerpen pertama buku kedua diakhiri dengan sebuah ledakan dan mayat yang kepalanya hancur namun tangannya mengepal ke udara. Yang lebih khas lagi, banyak cerpen yang ditulis dengan tujuan satir, yang kadang terlalu banal sehingga terkesan sangat komikal, bahkan dibuat-buat. Jadi, tak perlu bingung bila di dua buku ini Anda menemukan seorang bos yang menamai perusahaannya PT Bingung, orang tua yang menamai anaknya Suwung, dan kompleks perumahan yang warganya sepakat membuat arisan tuyul. Tapi karena kekhasan ini milik banyak orang dan banyak cerpen, terutama cerpen-cerpen yang terbit di koran, sebagiannya didorong intensinya untuk menjadi “aktual”, maka tentu saja ciri-ciri yang saya sebut ini jauh dari sui generis.
Saya sudah lama berusaha menjaga diri dari tradisi menulis fiksi macam di atas; saya bahkan membangun semacam sikap antipati kepada para penulis yang masih terus mengupayakan fiksi-fiksi macam itu—dan itulah salah satu alasan saya berhenti membaca cerpen koran sejak 2007. Tapi, tentu saja, sikap seperti itu bukannya tanpa ironi. Sebab, pada dasarnya, saya memulai menulis dari titik yang sama dengan para pendahulu ini. Saya menulis dengan meniru apa yang saya baca. Dan karena saya tak mengenal Borges lebih awal, atau tak segera mengerti apa yang hendak diceritakan Hemingway, atau kesulitan membuat cerita penuh kejutan macam O. Henry, juga tak sanggup membeli buku-buku seri Cerpen Pilihan Kompas (“tempat cerpen-cerpen terbaik di Indonesia,” kata Nirwan) yang saat itu harganya relatif lebih mahal, tentu saja saya meniru yang ada dan lebih mudah ditiru: Achmad Munif, Agnes Yani Sarjono, Ahmadun Yosi Herfanda, dan nama-nama lain yang ada di dua buku tersebut. Dan, semakin saya mencoba mengikis dan tak mengakui keberadaan dan pengaruh mereka, semakin saya tahu bahwa saya tak pernah bisa menghapus jejak mereka.
Jejak-jejak itu mungkin tak segera tampak ketika saya menulis cerpen pertama, yang bercerita tentang kegundahan seorang mahasiswa baru yang merangkap menjadi guru mengaji. Tapi tak menunggu lama saya segera menjadi seperti para penulis Jogja yang cerpen-cerpennya saya tiru: saya adalah seorang moralis kolot dan, demi itu, pada akhirnya menjadi pembunuh berantai bagi tokoh-tokoh saya sendiri.
Dua bulan setelah menulis cerpen pertama, ketika musim kampanye pemilu 1999 baru saja dimulai, saya membuat cerita tentang seorang peserta kampanye bermotor yang nyungsep di jalan. Bulan berikutnya, pada bulan ketika saya berusia 19, saya membunuh penulis yang menjual idealismenya, kali ini dengan cara bunuh diri, mengepruk kepalanya sendiri. Ketika saya bertekad untuk tak melakukan pembunuhan lagi, bertahun-tahun sejak fase-fase awal yang penuh darah itu, saya tetap tak lepas dari membunuh, meski kali ini saya “hanya” membunuh seekor kucing. Dan bahkan ketika saya sudah mengikrarkan diri untuk tak akan membunuh tokoh-tokoh saya, dan itu saya lakukan dengan baik di novel pertama, demi memberi sedikit melodrama bagi sebuah novel yang oleh para penulis Goodreads dipuji karena nada rekonsiliasinya, saya malah membunuh seorang bayi.
Begitulah. Meski saya tak menulis tentang orang-orang mati dan hantu-hantu penuh dendam sebagaimana Abdullah Harahap, saya kira saya tak kalah berlumuran darah dibanding dengannya. Ironisnya, boleh jadi jejak kepenulisan saya yang penuh darah itu saya pelajari dari guru idealis dan baik hati macam Guru Tarno. Dan dari cerpen-cerpen Bernas, yang oleh Bakdi Soemanto diharapkan membuat “hidup kita lebih bernas”, saya saat ini boleh jadi dikenal karena tokoh-tokoh saya yang bernasib nahas.
***
Di tahun-tahun awal kepenulisan saya, saya berjalan berkeliling membawa cerpen-cerpen saya ke kotak penerimaan naskah di media-media massa (yang pernah ada) di Jogja: Suara Muhammadiyah, KR, Bernas, Jogja Pos, Minggu Pagi, Kuntum, dan entah apa lagi. Sampai hari ini, saya hanya pernah memasukkan satu cerpen—sementara tak satu pun juga yang masuk koran-koran dan media di Jakarta. Di sisi ini, saya jelas bukan penerus yang baik bagi Achmad Munif, Agnes Sardjono, Ahmadun, hingga Agus Noor. Tapi itu tak membuat saya jadi tak berutang kepada mereka.
Saya tetaplah murid Guru Tarno, meskipun dari jenis yang gagal. Saya kehilangan cita-cita dan keinginan menjadi tukang gambar begitu sampai Jogja, tapi Lukisan Matahari justru memberi saya pilihan untuk menulis.
*merupakan pembalikan dari judul cerpen pertama yang saya tulis
BACA JUGA Peradaban dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.