MOJOK.CO – Pesugihan di balik air terjun itu menjadi kisah menyayat yang disimpan ketat oleh simbah putri. Sebuah kisah kelam yang masih tersisa.
Baca dulu bagian 4 di sini: Air Terjun dan Rahasia Gelap Keluarga Saya: Teror Gaib di Rumah Simbah (Bagian 4)
Simbah menarik napas dan saya bisa merasakan penyesalan terlukis di wajahnya. Tepat pada saat itu, ekspresi simbah mengingatkan saya kepada seseorang yang terasa tidak asing.
Ketika hendak membuka cerita, hujan tiba-tiba turun. Kilat ikut datang menyambar. Kami terdiam menunggu simbah melanjutkan ceritanya. Saya bisa melihat simbah menggenggam album foto yang sempat saya dan Maharani lihat.
Saya berbisik sedikit ke Maharani tentang album foto yang sempat kami lihat itu. Maharani hanya mengangguk dan sembari terus memperhatikan cerita Simbah.
Malam itu, suasana ruang tamu di rumah simbah menjadi cukup dingin dan sunyi. Hanya ada suara simbah yang terdengar parau ketika menceritakan kelamnya kisah pesugihan dan kesedihan di keluarganya dulu.
Pesugihan tinggalan masa lalu
Dahulu, desa tempat simbah tinggal lebih sulit dijangkau, melebihi kondisi saat ini. Saat itu, pepohonan masih sangat lebat dan berukuran besar. Jadi, untuk bisa sampai ke kota saja memakan waktu lama. Akses yang sulit ini membuat keadaan di desa tidak begitu baik.
“Dahulu, keluarga Simbah itu miskin sekali. Hasil pertanian juga tidak selalu bagus membuat kami harus berusaha lebih keras.”
Selain terpencil dan miskin, penduduk desa zaman dulu masih memegang kepercayaan “kejawen kuno”. Mereka percaya tentang magis dan mistik sebagai suatu kesatuan. Terutama praktik pesugihan di balik air terjun. Iya, mereka melakukan praktik pesugihan dan penyembahan pada tempat-tempat yang dianggap sakral. Salah satunya air terjun.
Konon katanya, air terjun itu adalah gerbang antara dua dunia. Simbah menceritakan celah di belakang air terjun itu adalah objek tempat pesugihan penduduk desa zaman dahulu.
Menumbalkan anak
Kami sempat tegang juga mendengar kisah tersebut. Apalagi ternyata dulu orang-orang yang melakukan pesugihan itu rela menumbalkan anak-anak untuk mendapatkan kemakmuran instan. Sadis, tapi itu nyata adanya.
Lanjut cerita simbah. Beliau mulai masuk ke cerita tentang saudara-saudaranya yang berjumlah tujuh. Kami semua kaget lagi karena selama ini kami hanya tahu kalau simbah itu enam bersaudara.
Sebelum lanjut bercerita, simbah sempat menegaskan bahwa semua hal yang kita lakukan pasti ada konsekuensinya. Selesai berpesan, penyesalan dan kesedihan yang simbah rasakan terpampang di wajahnya.
Well, ternyata, anak bungsu dari keluarga simbah, si paling kecil yang tak pernah kami kenal, adalah salah satu tumbal pesugihan penduduk desa. Beliau memperlihatkan sosok adik perempuannya di salah satu foto. Namanya Ayu.
Simbah yang tak pernah kami kenal
Ketika saya memperhatikan dengan seksama, sosok itulah yang saya temui di air terjun. Mulut ini ingin sekali berucap bahwa saya bertemu dengan beliau di air terjun, tapi saya mengurungkan niat tersebut. Takutnya malah membuat simbah semakin sedih.
Keluarga simbah amat sangat terpukul saat adiknya menjadi tumbal pesugihan pada saat itu. Simbah sungguh menyesal karena tidak bisa berbuat sesuatu. Paruh akhir ritual pesugihan di balik air terjun itu membutuhkan tumbal yang lahir Senin kliwon dan pastinya menyandang status “bertulang wangi”. Pembaca masih ingat dengan istilah ini, kan?
Selain katanya disukai oleh makhluk halus, mereka yang “bertulang wangi” punya ketajaman indra. Mereka yang dikorbankan juga harus sudah akil balig. Tumbal tersebut sifatnya wajib jika desa ini tidak ingin kena sial. Kesedihan semakin larut di wajah simbah ketika menceritakan bahwa saat itu Mbah Ayu ikhlas menjadi tumbal pesugihan di air terjun demi keluarga dan desa.
Simbah mengambil jeda dan kami hanya bisa terdiam. Sementara itu, yang saya rekam dengan baik adalah Mbah Ayu ternyata seperti saya. Dia anak “bertulang wangi”. Jadi, ketika sudah “matang”, dia tidak hanya bisa merasakan, tapi melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus sampai bangsa jin.
Praktik pesugihan di air terjun sudah ditinggalkan, tapi….
“Dulu, anak dari Bu Sar juga menjadi tumbal pesugihan air terjun. Hal itu membuat dirinya memilih menjauh dari desa,” simbah melanjutkan kembali ceritanya.
Jadi itu alasan Bu Sar tinggal agak jauh dari desa. Ada trauma mendalam, sekaligus kebencian kepada warga desa.
Yah, untungnya, saat ini, tumbal pesugihan untuk air terjun sudah ditinggalkan oleh penduduk desa. Sekarang, yang tertinggal adalah petuah bijak untuk selalu hormat dan santun di mana saja penduduk desa melangkah. Namun, kenapa saya masih merasa janggal dengan air terjun itu. Entahlah….
“Nduk, dari sekian banyak orang, kamu anak yang spesial. Kedatanganmu kemari juga sempat menjadi perbincangan tetua di desa,” kata pakdhe.
Pakdhe menjelaskan bahwa keberadaan saya ini, ditambah kejadian-kejadian yang saya alami membuat penduduk desa, apalagi yang masih paham dan menganut kejawen menjadi was-was. Mereka khawatir saya mengalami kejadian yang sudah lama sekali tidak mereka alami. Yah, terlambat, sih. Saya sudah kadung mengalaminya.
Astral projection
Simbah mengusap kepala saya dan berpesan untuk selalu meminta perlindungan Allah di mana saja saya berada. Apalagi saya masih sering, dan entah kenapa suka, datang ke daerah-daerah yang dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Saya merinding mendengar pesan simbah itu. Mumpung sudah bisa berbicara, saya bertanya kepada simbah mengenai kejadian di air terjun, terkait pesugihan dan Mbah Ayu. Simbah diam beberapa saat. Mungkin beliau sedang menyusun jawaban yang paling mudah untuk diterima akal sehat.
Namun, diamnya simbah itu malah membuat saya agak gelisah. Jujur, saya ingin mendengar semuanya. Khususnya alasan kenapa saya selalu seperti ini.
Simbah menjawab dengan tempo bicara semakin lambat. Beliau nampak hati-hati sekali.
Intinya, simbah menjawab bahwa dirinya tidak terlalu mengerti. Menurut simbah, saya mengalami astral projection. Konon, roh saya meninggalkan tubuh untuk mengalami sebuah pengalaman yang masih sulit untuk diukur, yaitu menyaksikan proses pengorbanan tumbal pesugihan di air terjun.
Saya agak sulit menerima penjelasan sesingkat itu. Apakah hanya mimpi belaka? Meskipun, pada dasarnya, saya percaya dunia gaib atau dimensi berbeda itu nyata. Semua hal itu sudah menjadi kuasa Tuhan.
Simbah yang enggan terbuka
Setelah simbah putri selesai bercerita, hari sudah larut. Oleh sebab itu, simbah menyuruh semua anggota keluarga kembali ke kamar untuk istirahat. Semua manut dengan perintah simbah.
Namun, saya masih enggan untuk beranjak. Saya masih ingin mengobrol dengan simbah, yang masih ingin menghabiskan kopi hitam kesukaannya. Simbah mengizinkan saya menenaminya sebentar.
“Mbah, aku ketemu sama Mbah ayu di air terjun,” saya memulai obrolan berdua.
“Iya, Nduk, Simbah sudah tahu. Mungkin yang kamu lihat itu sukmanya Dek Ayu.”
“Iya, dia juga yang memperingati saya untuk cepat pergi dari acara pesugihan di air terjun itu.”
Simbah hanya tersenyum dan kembali mengelus album foto yang dia pegang. Mungkin dia rindu dengan Mbah Ayu. Kami tidak banyak berbicara malam itu. Simbah sibuk menerawang, memandang ke sekeliling ruangan sambil sesekali menyeruput kopi hitamnya yang mulai dingin.
Selesai dengan kopi hitam itu, simbah meminta saya untuk kembali ke kamar. Besok, rombongan akan pulang. Namun, sebetulnya, saya belum puas mendapatkan jawaban. Maka, saya sempatkan untuk bertanya perihal kejadian-kejadian sebelumnya, khususnya tentang pesugihan, air terjun, Alas Purwo, dan Gunung Pulosari. Ada apa dengan semua ini.
Tapi, lagi-lagi, simbah hanya tersenyum dan mengatakan mungkin itu memang sudah takdir Allah memperlihatkan saya akan kuasa-Nya. Setelah itu, simbah berpesan kepada saya untuk jangan meninggalkan salat. Khususnya meminta perlindungan Allah di mana saja saya berada. Saya hanya mengangguk dan izin undur diri untuk beristirahat.
Pulang
Hujan berhenti menjelang subuh, membuat pagi itu diselimuti kabut tipis. Hawa dingin membuat saya bersin-bersin.
Sedari pagi, pakdhe dan Uncle Jack sudah sibuk membereskan koper dan tas. Ibu dan lainnya, termasuk saya, berpamitan dengan simbah. Sekitar pukul tujuh pagi, kami meninggalkan rumah simbah. Hawa dingin ini mengingatkan saya kepada dinginnya pesugihan di air terjun. Seram.
Sekali lagi kami menempuh perjalanan yang panjang dan membosankan. Apalagi agak berdesakan di dalam mobil. Maka, saya buka jendela mobil untuk mencari udara segar.
Hei, lagi-lagi saya melihat sosok anak kecil waktu itu. Dia melihat saya dan lagi-lagi menunjuk ke arah air terjun itu lagi. Dia seperti mengajak saya ke sana. Setelah itu, tiba-tiba saja dia berlari ke dalam hutan.
Siapa anak kecil itu?
Saya memperhatikan anak itu hilang dan suara tawanya seperti terngiang-ngiang di telinga saya. Untuk sesaat pikiran saya kosong. Untung saja Maharani menepuk pundak saya. Dia mengingatkan saya untuk jangan bengong.
Siapakah dia? Apakah anak kecil adalah anak dari Bu Sar yang dulu menjadi tumbal pesugihan di air terjun? Saya merasa dia ingin didoakan. Namun, perasaan saya langsung tak keruan.
Benar saja, tidak lama setelah anak kecil itu menghilang, ban mobil pakdhe bocor. Posisi di jalur hutan dan tidak mungkin ada tukang tambal ban. Maka, pakdhe dan Uncle Jack bergegas turun untuk mengganti ban. Semua anggota perjalanan turun untuk membantu supaya cepat selesai.
Mengganti ban bisa selesai dengan cepat. Namun, belum juga jalan lama, kal ini, mobil pakdhe mogok. Saya dan ibu sudah pusing menghadapi situasi ini. Kayak berpikir aduh mau pulang saja ada masalah.
Terpaksa pakdhe dan Uncle Jack harus memperbaiki mobil dulu dengan peralatan seadanya. Proses memperbaiki mobil berjalan sangat lama. Sejak pagi sampai hampir pukul empat sore. Baru kami bisa melanjutkan perjalanan menuju kota.
Halangan muncul lagi
Sayang, kami tidak bisa agak bergegas mengingat jalanan yang kecil dan licin. Sampai maghrib datang, kami masih berada di jalur hutan. Gelap dan cahaya lampu dari mobil pakdhe menjadi satu-satunya penerangan. Gelap dan dingin. Lagi-lagi prosesi penumbalan di pesugihan air terjun itu terbayang. Seperti hologram yang diputar kembali.
Lantaran di dalam mobil tidak ada obrolan, saya sampai tertidur, terbangun, dan tidur lagi. Tapi, kami masih di situasi dan lokasi yang sama. Pakdhe mencoba untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang. Mata saya sedikit terkantuk-kantuk dan tiba-tiba saja
BRUKKK!!!
Mobil Pakdhe menabrak sesuatu. Tabrakan itu membuat beberapa dari kami yang tertidur langsung bangun, termasuk saya. Kata ibu, pakdhe menabrak hewan liar, sepertinya kelinci hutan. Darah kelinci terciprat ke bemper mobil. Lantara terburu-buru, pakdhe menguburkan kelinci itu seadanya dan melanjutkan perjalanan lagi.
Satu jam berlalu, lalu dua jam. Kami tidak kunjung keluar dari hutan. Aneh, padahal seharusnya sudah dekat dengan jalan besar. Pakdhe juga merasakan kecurigaan yang sama. Dia menghentikan mobil dan membahas situasi ini dengan Uncle Jack. Suara mereka terdengar serius.
Penampakan yang berbeda
Tepat saat itu, perasaan janggal yang datang sebelum kejadian aneh muncul lagi. Kali ini, saya ditampakan sosok kakek-kakek tua di pinggir jalan. Wajah kakek itu setengah hancur. Dia berdiri sambil membawa lentera yang terlihat sangat tua. Saya merasa pernah melihatnya di proses penumbalan pesugihan di air terjun itu.
Tanpa sadar, saya berteriak dan membuat kegaduhan di dalam mobil. Maharani mengecek situasi dan tidak melihat hal aneh di pinggir jalan, yang dia lihat hanya hutan yang gelap gulita.
Setelah saya agak tenang, gerimis mulai turun. “Wah, bahaya nih,” ucap pakdhe.
Dia segera menyalakan mobil sambil membaca doa-doa. Saya tidak tahu bahaya apa yang dimaksud, tapi karena malam dan hujan mungkin bahaya longsor. Jadilah kami melanjutkan perjalanan di tengah hujan yang semakin deras.
Lagi-lagi pakdhe harus rem mendadak. Ibu bertanya kepada pakdhe kok tiba-tiba ngerem. Pakdhe bilang tadi ada orang di tengah jalan dan dia refleks untuk menginjak rem. Derasnya hujan juga cukup menghalangi pandangan. Ibu bilang tidak mungkin ada orang di tengah hutan dan hujan seperti ini. Pakdhe pun melanjutkan lagi perjalanan.
Maharani!
Dan untuk kesekian kalinya, ini yang paling ekstrem. Di tengah hujan, ban mobil pakdhe sedikit terperosok dan akhirnya nyangkut di tanah merah. Mau tidak mau, kakak dan Uncle Jack membantu pakdhe dengan mendorong mobilnya keluar dari lubang.
Ketika sibuk mendorong mobil, suasana di sekitar berubah drastis. Sekali lagi, perasaan janggal itu menyergap saya. Tiba-tiba Maharani menggigil. Dia bilang kedinginan. Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar hebat. Singkat cerita, Maharani kesurupan.
Situasi semakin parah karena kami sudah bingung harus bagaimana. Pakdhe sudah berusaha untuk merapal doa-doa dan kami juga turut membantu doa, tapi Maharani tidak kunjung sembuh. Uncle Jack juga tiba-tiba panik. Alhasil, kami tetap melanjutkan perjalanan dengan kondisi Maharani yang seperti itu. Saya sudah merasa bahwa hutan dan air terjun itu enggan melepaskan kami. Pesugihan itu masih meninggalkan jejaknya.
Sekitar pukul 11 malam, kami berhasil keluar dari hutan. Hujan masih saja belum reda dan kondisi Maharani semakin mengkhawatirkan. Pakdhe bergegas menuju rumah sakit terdekat, tapi tetap saja kami harus menempuh jarak satu atau dua jam untuk sampai ke sana.
Menolong Maharani
Ketika sampai di rumah sakit, dokter mengatakan tidak ada yang salah dengan Maharani. Kena hipotermia juga tidak.
Pakdhe yang sudah putus asa menelpon temannya yang tinggal tak jauh dari rumah sakit. Teman pakdhe ini masih satu desa dengan simbah. Tak sampai 45 menit, teman pakdhe sudah sampai.
Begitu bertatap muka dengan Maharani, teman pakdhe langsung mengucap istigfar. Kami kompak mengambil wudhu lalu ikut berdoa. Tapi, entah kenapa, ketika kami berdoa, Maharani malah tertawa sinis. Seakan mengejek doa-doa kami.
Setelah itu, teman pakdhe bertindak dengan menepuk tengkuk Maharani sebanyak tiga kali. Di tepukan ketiga, Maharani muntah. Selesai muntah dan mengerang, Maharani sempat mengucap, “Kembalikan! Kembalikan! Awas kamu! Jangan bawa pergi!” sambil memandang ke saya. Selepas mengucapkan kalimat ancaman itu, Maharani pingsan selama tiga hari penuh.
Pulang
Di hari kedua, saya minta izin pulang ke Jakarta karena harus mengejar pesawat dan juga besok sudah masuk kerja. Jadilah, saya, ibu dan kakak pulang terlebih dahulu dan Uncle Jack masih menginap di rumah sakit tersebut.
Beberapa hari kemudian, kami mendengar bahwa Maharani sudah sehat kembali. Menurut keterangan dari teman pakdhe, rombongan kami memang disesatkan di dalam hutan. Kami seperti diusahakan untuk tidak meninggalkan hutan. Ada sesuatu yang membuat mereka ingin kami tidak bisa pulang. Katanya berhubungan dengan sebuah benda yang tidak ada lagi di air terjun. Apakah itu benda masih berkaitan dengan prosesi penumbalan praktik pesugihan di air terjun?
Saya sempat bingung dengan keterangan teman pakdhe. Namun, saya baru sadar bahwa di air terjun itu, Mbah Ayu memasukkan sebuah benda ke dalam celana cargo yang saya kenakan.
Saya merogoh salah satu kantong celana dan menemukan sebuah benda, yang tidak boleh saya ceritakan di tulisan ini. Mohon maaf, ya. Intinya, beberapa penunggu tua di hutan dan air terjun tidak ingin benda itu jauh dari air terjun.
Sementara itu, sukma dari Mbah Ayu seperti mendorong saya untuk menjauhkan benda itu dari air terjun. Beberapa hari setelahnya, saya berkunjung ke rumah Uncle Jack. Saya serahkan benda itu kepadanya karena saya tidak mengerti dan agak takut menyimpan benda yang diburu oleh penunggu hutan, pesugihan, dan air terjun.
Akhir yang tak sepenuhnya berakhir
Ketika menerima benda itu di tangannya, mata Uncle Jack sedikit berkaca-kaca. Ada aura kaget dan sedih yang saya rasakan dari dirinya. Setelah itu, saya merasakan emosi yang cukup kuat. Entah dari mana.
Setelah selesai menyerahkan benda itu dan menuju pintu keluar dari rumah Uncle Jack, saya kembali mendengar suara gamelan. Merdu sekali. Diikuti suara bisikan yang sangat akrab.
-SELESAI-
BACA JUGA Ekspedisi Alas Purwo: Menuju Jantung Hutan Tertua di Pulau Jawa dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno