MOJOK.CO – Bayangkan kamu dan teman-temanmu lagi asyik ngobrol tiba-tiba ada sepeda roda tiga mengitari kalian. Dan di atas sepeda roda tiga itu tidak ada siapa-siapa. MAMAM.
Tiga belas tahun yang lalu, saya lupa bulannya, yang jelas itu awal tahun, saya diajak Bapak pergi ke suatu tempat. Katanya melihat madik-madik di sepeda roda tiga. Belakangan saya baru paham maksudnya adalah setan.
Ceritanya, Bapak ditelepon oleh seorang sahabat untuk datang ke rumah saudaranya. Ada sepeda roda tiga yang bisa jalan sendiri. Lalu ada yang suka mainan jendela rumah. Intinya, membuat rumah aman kembali.
“Cak, Kamis selo?”
“Kenopo, Cak?”
“Melu aku. Aku njaluk tulung banget. Biasa. Kayak begituan.”
“Iyo wes.”
Kata “biasa” adalah semacam kode. Terkadang, Bapak suka diminta tolong orang untuk membuat rumah aman dari “serangan yang tidak terlihat”. Karena keseringan, jika ada orang yang minta tolong, dan mengucapkan kata biasa, alm. Bapak sudah paham. Pasti ada sesuatu yang aneh.
Sebenarnya, Bapak tak pernah mempelajari ilmu mengusir setan macam kuntilanak atau genderuwo. Sebab, yang dipraktikkan pun, sama seperti ustaz-ustaz di film Suzanna. Membaca ayat kursi, sudah. Setannya ilang.
Apakah itu karena kekuatan doa? Atau kekuatan fisik Bapak? Atau tampang Bapak yang kayaknya lebih seram dari setannya? Ya ga tahu. Sepanjang pengetahuan saya, yang jelas selalu sukses.
Namun begitu, Bapak menolak disebut dukun. Sebab, beliau tak pernah memakai pakaian hitam dan dupa ketika melaksanakan ritual. Cukup datang di lokasi. Berdiri di tempat yang dikatakan seram, berdoa, dan selesai.
Dan itu juga dilakukan ketika melihat sepada roda tiga di sebuah rumah saudara sahabat. Ketika masuk, kok ya ternyata Bapak kenal dengan pemilik rumah. Alhasil, suasana yang seharusnya seram, malah menjadi menyenangkan. Seperti seorang teman lama bertemu kembali.
Meskipun begitu, Bapak sepertinya awas. Beliyo sering menoleh ke kiri. ke sebuah ruangan di mana sepeda roda tiga itu diparkir.
“Sudah tahu, ya, Cak?”
“Ya, nanti dilihat dulu aja.”
“Oh, iya, ini uborampenya, Cak.”
Bapak kaget. Di hadapan Bapak tersaji dua bungkus Surya, segelas kopi hitam, dan semangkuk rawon.
“Loh, buat apa ini?”
“Loh, katanya rikues ini.”
Bapak menoleh ke sahabatnya. Dia hanya tersenyum. Semacam nggateli. Pasti Bapak dimanfaatkan.
“Hehe, ini buatku kok, Mbak.”
“Owalah, diamput!”
Ocehannya belum berhenti, dari arah kiri, keluar sebuah sepeda roda tiga. Sepeda roda tiga itu berjalan ke arah kami berempat. Selanjutnya, angin yang agak kencang masuk dari ventilasi pintu depan.
Jujur, ketika menulis artikel ini, saya merinding.
Saya kaget. Mak tratap. Bapak masih diam. Sahabatnya yang mencoba menyalakan sebatang rokok Surya, malah gagal.
“Ya, begini, Cak. Abis ini lebih heboh.” Wedhus, sepeda roda tiga yang jalan sendiri masih belum cukup.
Berturut-turut, lonceng di pintu depan berbunyi, penutup jendela membuka menutup berulang kali, dan sepeda roda tiga itu, ini jujur mengerikan, mengitari kami berempat tanpa ada pengendaranya.
Ya tuhan, ini lebih seram daripada Paranormal Activity, batin saya.
Saya melompat ke kursi. Tak sengaja, saya menyenggol rawon. Tumpah. Sahabat Bapak melongo. Sedangkan Mbaknya hanya bisa menatap dengan raut muka ketakutan.
“Itu kalau sepeda roda tiga dimasukkan lagi, nanti keluar lagi, Cak.”
“Ha, masak gitu, Cak?” Tanya sahabat Bapak.
“Nih, ya.” Dengan sigap, dia mengembalikan sepeda roda tiga ke tempat semula. Eh, nggak berapa lama, sepedanya keluar lagi. Waduh.
Kali ini Bapak yang mengembalikan sepeda roda tiga itu. Sembari memarkir, Bapak berdiri. Komat-kamit mulutnya yang sepertinya, sih, lagi baca ayat kursi. Lalu, kembali ke arah kami.
“Ini cuman usil, kok, Mbak. Mau tahu, gak?”
Mbak menganggukkan kepala.
“Cuman anak kecil. Semacam tuyul. Mungkin dulunya dia nggak pernah main sepeda-sepedaan. Makanya, kalau malem, dan nggak dimainkan oleh anak Mbak, dia mau pakai. Kalo dimasukkin lagi sepedanya, dia ngambek.”
“Wah, trus gimana, Cak?”
“Ga papa, kok. Katanya ini hari terakhir mau main sepeda-sepedaan. Semoga aja, sih, Mbak.”
Sembari mendengarkan paparan dari Bapak, saya, dalam hati, membaca ayat-ayat apa saja yang saya bisa. Kenapa? Lha jendelanya masih sering buka dan tutup.
“Nah, itu nggak papa, Pak?” Saya menunjuk jendela.
“Oh, nggak papa. Itu temannya cuman gelantungan. Nanti juga selesai.”
(((Gelantungan))) wat de hell!
Ya, memang. Sekitar 20 menit kemudian, jendelanya menutup lagi. Sedangkan sepeda roda tiga itu sudah masuk kembali ke tempat semula.
Sebelum pulang, Bapak hanya bilang kepada Mbak bahwa namanya makhluk halus itu kadang juga pengin mencoba benda buatan manusia. Tapi, karena dimensinya beda, suka menampakkan diri. Masalahnya, kalau sudah mencoba, biasanya malah keterusan. Itu yang repot.
Mbak mengucapkan terima kasih dengan berulang kali menundukkan badan. Saya dan Bapak pamit pulang. Lega rasanya.
Tiga minggu setelahnya, Mbak telepon Bapak.
“Cak, suwun, ya. Sekarang udah aman sepeda dan jendelanya, tapi….”
“Tapi, apa, Mbak?”
“Mobil di rumah suka nyala sendiri tiap jam 11 malam.”
MODYAR!
BACA JUGA Arwah Penasaran Korban Tumbal Meneror Satu Kampung atau tulisan uji nyali lainnya di rubrik MALAM JUMAT ena enaaa.