MOJOK.CO – Gunung Semeru bukan hanya menawarkan panorama cantik yang menggugah setiap orang untuk menjamahnya. Di balik itu, gunung tersebut banyak menyimpan cerita sedih yang mengiringi langkah kaki para pendaki. Dan berikut ini adalah salah satu kisahnya.
Berangkat ke Gunung Semeru
Begitu mendengar kabar tentang hilangnya seorang pendaki di Gunung Semeru, aku dan Beni langsung meluncur ke Malang. Tujuan kami adalah rumah Rio di kawasan Dinoyo. Kali ini memang hanya kami bertiga yang berangkat karena Ari dan Teguh, dua teman yang biasa menyertai saat itu, sedang berhalangan.
Pengalaman pernah tersesat dan hilang di gunung sedikit banyak memengaruhi dan menimbulkan empati bagi kami ketika ada pendaki yang mengalami kejadian serupa. Bukan hal mudah bagi keluarga untuk melupakan trauma ketika ada anggota keluarga yang hilang apalagi sampai meninggal di gunung.
Ini adalah cerita tentang proses pencarian pendaki asal Jakarta yang hilang saat mendaki bersama temannya di Gunung Semeru pada periode 2000-an.
Langit sore Purwokerto sedang tersaput mendung saat dering telepon dari seorang teman asal Jogja berbunyi. Aku dan Beni yang baru selesai berlatih fisik dengan jogging sejauh lima kilometer tergopoh-gopoh menghampiri telepon yang tergeletak di meja basecamp kami.
“Ben, berangkat ke Gunung Semeru ya. Ada yang hilang,” kata suara di ujung telepon.
Beni memang aktif di kegiatan SAR. Apalagi jika terjadi kasus semacam ini. Sisi kemanusiaannya sangat mudah tersentuh ketika ada kabar bencana. Sekecil apapun dia akan berusaha membantu memberikan pertolongan. Usianya padahal sudah tidak bisa dibilang muda lagi.
“Survivor-nya orang Jakarta, Wan. Kamu bisa ikut nggak?”
“Teguh sama Ari gimana? Nggak diajak?”
“Gak usahlah, mereka kan lagi pada sibuk di kampus.”
“Siap!”
Malam itu juga kami berangkat ke Malang naik Kereta Api Gajayana. Sejak dari basecamp, Beni sudah memberi kabar kepada Rio terkait kedatangan kami berdua.
Teguh dan Ari memang beberapa bulan terakhir sedang menghadapi tugas akhir di kampus. Kalaupun mereka ikut, justru kami yang sungkan, terutama kepada orang tuanya.
Sampai di stasiun Malang, Rio sudah menunggu. Hanya sebentar saja kami istirahat dan sarapan di rumahnya untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Tumpang. Beni sengaja memaksa Rio untuk ikut karena baginya, Gunung Semeru sudah seperti arena bermain.
Sebenarnya, jalur pendakian Gunung Semeru via Ranupani tidak terlalu berat, jika dibandingkan dengan Gunung Arjuno atau Raung, misalnya. Lantaran ketinggian Ranupani sendiri sudah berada di atas 2000 mdpl, artinya, untuk mencapai puncak Mahameru, kita hanya perlu menaklukan elevasi setinggi 1600-an meter. Bandingkan dengan ketinggian Arjuno yang 3300an mdpl tapi start dari ketinggian 900 mdpl.
Medan paling berat di Gunung Semeru adalah ketika kita sudah berjalan dari Kalimati menuju ke Arcapada, saat memulai perjalanan menuju puncak. Dan yang paling membahayakan adalah justru saat turun karena sering terjadi disorientasi jalur.
Konon, ketika turun, pendaki sering melihat ada orang yang melintas di jalur itu padahal sebenarnya bukan jalur ke arah Cemoro Tunggal. Cemoro Tunggal adalah pohon yang dijadikan tanda batas vegetasi untuk menandakan jalur pendakian dengan area puncak. Jika turun dari puncak tidak melewati area ini, dapat dipastikan pendaki tersebut tersesat.
Selain itu, yang patut diwaspadai dari Gunung Semeru adalah karena kawah Jonggring Saloka yang masih sangat aktif. Waktu semburan gas beracun tidak bisa diprediksi. Di samping tentu saja karena cerita-cerita mistis yang melingkupi gunung ini. Banyak petilasan bersejarah yang masih disakralkan keberadaannya, dan yang paling fenomenal dari semua itu apa lagi kalau bukan patung Arcapada.
Memulai proses pencarian
Sesuai perkiraan, sebelum Maghrib tiba, kami sudah sampai di basecamp Ranupani. Bersama rombongan pendaki lain, kami dipersilakan untuk mendaftarkan diri sebagai sukarelawan. Karena sudah malam, kegiatan pencarian dilanjutkan keesokan harinya. Malam itu, bersama beberapa pendaki lainnya, kami menginap di Ranupani.
Malam hari, suasana di Ranupani tidak seperti biasanya. Terasa sekali ada ketegangan dari raut wajah para relawan. Entah kenapa.
Bahkan untuk berbicara saja mereka lakukan dengan berbisik-bisik. Ah, mungkin ini sebagai rasa simpati kepada keluarga korban yang malam itu memang sudah berada di basecamp.
Sekira pukul dua dini hari, Rio keluar dari tenda. Dia melihat ada dua orang tengah duduk di dekat telaga Ranupani. Bukan hal yang wajar bagi seseorang di tengah malam duduk di tepian telaga. Baru belakangan diketahui bahwa ternyata mereka dua pendaki yang sudah dinyatakan hilang beberapa tahun sebelumnya.
Sebuah pemandangan yang sangat janggal….
Pagi harinya, seluruh tim relawan mengikuti briefing sebelum memulai proses pencarian. Hari ini, sudah masuk hari ketiga survivor dinyatakan hilang. Menurut ketua tim, seluruh tempat yang diperkirakan sebagai lokasi hilangnya survivor sudah dieksplorasi. Namun, hasilnya nihil.
Merujuk dari penuturan temannya, survivor diperkirakan hilang di area puncak. Ketika itu, ketiga teman yang lain sudah turun dan menunggu di pos Kalimati. Tapi, setelah ditunggu sampai sore, survivor tidak kunjung sampai. Akhirnya salah satu temannya melapor ke ranger Gunung Semeru di basecamp Ranupani.
Seusai briefing, seluruh relawan dibagi menjadi beberapa SRU (Search and Rescue Unit) dan diberangkatkan melakukan pencarian. Setiap SRU terdiri dari 10 orang relawan yang berasal dari berbagai unsur.
Aku, Beni, dan Rio tergabung ke SRU 5 ditempatkan di pos Kalimati untuk menggantikan tim sebelumnya yang sudah dua hari di sana. Ada seorang teman survivor yang tergabung dalam SRU 5. Ini memungkinkan bagi kami untuk menggali keterangan lebih jauh.
Ada cerita menarik dari Janu, teman sependakian survivor sepanjang perjalanan mereka mendaki puncak Mahameru. Diceritakan, survivor yang bernama Rama ini beberapa kali mengalami kejadian aneh. Terutama ketika berjalan melewati Oro-Oro Ombo saat menuju ke Cemoro Kandang.
Mereka melewati jalur Oro-Oro Ombo saat Maghrib karena terlalu lama di Ranu Kumbolo. Saat itu, Janu melihat Rama tidak lagi menggendong carrier melainkan sesosok makhluk berwujud nenek-nenek. Dan di sebelah Rama berjalan seorang pendaki lain yang mereka sendiri tidak kenal.
Rio lalu menanyakan ciri pendaki itu. Ternyata dugaannya benar, itu adalah pendaki yang dilihat Rio sedang duduk di dekat telaga tadi malam.
Rama sendiri tidak menyadari hal itu sampai akhirnya mereka tiba di pos Cemoro Kandang. Saat itu, dia terjatuh karena merasa kelelahan. Sejak dari Oro-Oro Ombo, teman lainnya sudah memintanya untuk berhenti sebentar tapi Rama memilih tetap berjalan. Mereka tidak berkata apapun terkait fenomena itu kepada Rama.
Sebagian orang memercayai jika melewati jalur ini ketika Maghrib atau malam hari, pendaki Gunung Semeru akan menemui sebuah fenomena. Mungkin mitosnya mirip seperti Samarantu di Gunung Slamet atau Pasar Dieng, Gunung Lawu. Cerita Janu itu menjadi catatan tersendiri tentang fenomena gaib yang kerap terjadi di sebuah gunung.
Kalimati yang mencekam
Sekira pukul lima sore, tim kami sudah sampai di Cemoro Kandang. Setelah mengambil napas sambil membuat kopi dan mengisap sebatang rokok kami melanjutkan langkah menuju Kalimati. Hanya butuh waktu satu jam sampailah kami di pos Kalimati.
Ada satu kejadian ganjil saat aku dan Beni menelusuri area Sumber Mani. Sumber air yang sering diambil airnya oleh pendaki ini lokasinya hanya beberapa puluh meter saja dari Kalimati.
Aku menemukan jejak kaki, namun tidak seperti lazimnya jejak pendaki. Yang aku lihat jejak telapak kaki, bukan sepatu dan hanya sebelah kanan saja. Ukurannya besar dan saat ditelusuri jejak itu hilang beberapa meter saja dari sumber air.
Sudah menjadi kebiasaan setiap penemuan yang mencurigakan selalu dicatat dan didokumentasikan. Setelah dari Sumber Mani kami kembali lagi ke basecamp di pos Kalimati. Tim yang kami gantikan sudah kembali turun ke Ranupani.
“Wan, ini bukannya jejak kaki yang tadi kita lihat di mata air ya?”
Beni yang sedang membersihkan area sekeliling tenda memanggilku sedikit berteriak. Saat itu kami baru saja selesai makan malam.
Aku yang sedang membereskan peralatan setelah dipakai makan segera menghampiri Beni. Menggunakan senter, aku amati jejak kaki itu.
Seperti jejak orang berbadan besar yang tercetak di tanah basah yang sudah mulai mengering. Tegas dan dalam. Lagi-lagi hanya kaki sebelah kanan saja! Setelah dihitung, hanya ada lima jejak yang sama tetapi ketika ditelusuri lebih jauh jejak itu hilang.
Bukan jejak kaki Rama kalau menurut Janu. Dia kakinya tidak sebesar itu, katanya. Ketika dikonfirmasi kepada tim sebelumnya mereka tidak melihat adanya jejak itu.
Beni melaporkan penemuan itu kepada ketua SRU. Beliau adalah ranger yang bertugas di TNBTS (Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru). Yang jadi masalah, ketika kami kembali untuk melihat jejak itu bersama ketua SRU, jejaknya sudah tidak ada!
Malam itu bulan purnama. Sinarnya yang terang mampu menyapu seluruh sudut Kalimati. Musim kemarau membuat udara Gunung Semeru terasa lebih dingin. Kemerisik daun yang tersapu angin malam membuat suasana Kalimati benar-benar mencekam.
“Januuu! Toloong!”
Tiba-tiba saja kami mendengar suara yang memanggil nama Janu sambil meminta tolong. Bukan suara Rama. Ini suara perempuan!
Aku, Rio, Janu, dan Beni hanya mampu berpandangan sambil menghela napas panjang. Sepertinya petualangan baru saja akan dimulai.
Kejadian di Kalimati malam itu mengingatkan kami semua saat berada di Alas Lali Jiwo Gunung Arjuno. Kejadian yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup.
Kronologi hilangnya Rama
Janu mengenal Rama sejak keduanya masih SMA di Jakarta. Sebuah perkenalan yang tidak biasa.
Keduanya dipertemukan justru ketika sekolah mereka sedang tawuran. Saat itu, Janu sedang berada di Metromini untuk menghindari tawuran. Tak lama setelahnya, naiklah Rama dan mereka duduk bersebelahan. Bukannya baku pukul, mereka malah saling memperkenalkan diri.
Singkat cerita, karena memiliki hobi yang sama, akhirnya mereka malah berteman akrab, meskipun sekolahnya sering terlibat tawuran. Sejak itulah petualangan mereka dimulai hingga mereka duduk di bangku kuliah.
Pendakian ke Gunung Semeru ini, menurut Janu, menjadi pendakian pertama setelah selama setahun mereka tidak mendaki bersama. Nahasnya, setelah Janu turun dari puncak Gunung Semeru, dia tidak lagi menemukan Rama. Katanya, saat diajak Janu turun, Rama menolak karena akan berfoto bareng dua pendaki lain. Dua pendaki itu perempuan.
“Lu turun duluan aja Nu, ntar gua nyusul. Tadi diajakin foto bareng sama cewek.”
Itu pembicaraan terakhir mereka di puncak Gunung Semeru sebelum akhirnya Janu memutuskan turun mengingat hari semakin siang. Menurut Janu, dia juga tidak melihat keberadaan dua orang perempuan yang mengajak Rama berfoto.
Sambil menunggu Rama turun, Janu menunggu di Kalimati sembari mengemasi tenda. Namun, setelah ditunggu sekian lama, dia tidak menemukan Rama. Begitu juga saat ditanyakan kepada pendaki lain. Tak ada yang tahu. Pendaki perempuan pun tak dilihatnya turun dari Mahameru.
“Kalian summit bareng dua orang cewek itu, Nu?” tanya Beni.
“Nggak, Mas. Kami hanya berlima. Yang tiga orang juga cowok semua. Mereka dari Jogja.”
“Tapi, sebelumnya lu pernah ketemu mereka kan?” Tanya Beni makin penasaran.
“Belum, Mas. Aku malah nggak tahu ada pendaki cewek di puncak,” jawab Janu.
“Mungkin karena saking ramainya kali ya?” Kata Rio berusaha menetralisir suasana yang mulai tampak tegang.
“Semoga saja seperti itu. Karena perasaan gembira setelah sampai puncak sering membuat kita lupa.”
Kali ini aku angkat bicara karena melihat raut muka Beni yang mulai menampakkan kecurigaan akan sesuatu yang janggal. Dari romannya, aku bisa membaca Beni sedang berpikir bahwa ada yang aneh dari hilangnya Rama. Sebenarnya, aku juga punyai kecurigaan yang sama. Hanya Rio yang masih berusaha untuk berpikir logis. Seperti biasanya.
Dari data pendaki yang diperoleh di basecamp, hari itu memang ada empat pendaki perempuan dari total 37 pendaki yang datang ke Gunung Semeru. Masalahnya, saat Janu melaporkan hilangnya Rama, keempat pendaki itu sudah kembali ke Ranupani dan mereka tidak pernah melihat Rama.
Data yang kami kantongi saat briefing itu membuat Beni semakin curiga bahwa sesuatu telah terjadi kepada Rama. Apalagi Janu juga bercerita tidak ada pendaki perempuan yang turun ketika dia sedang menunggu Rama di Kalimati.
Belum lagi penemuan jejak kaki di Sumber Mani dan di sekitar tenda serta suara perempuan yang memanggil Janu tanpa pernah terlihat wujudnya itu. Semua semakin mengerucutkan pada satu kesimpulan akan hilangnya Rama.
Celakanya, jika terjadi hal ganjil seperti ini, bisa dipastikan akan sulit menemukan jejak survivor, bisik Beni kepadaku. Dia tidak ingin membuat Janu panik dan merasa bersalah atas peristiwa yang menimpa temannya. Bagaimanapun, kehilangan teman sependakian bisa menimbulkan trauma tersendiri. Apalagi jika sampai tidak ditemukan keberadaannya.
Memutuskan untuk kembali ke Ranupani
Sampai tengah malam, kami masih membicarakan kronologi hilangnya Rama. Hal yang paling sulit adalah menjelaskan kejadian yang irasional ini kepada Rio. Insting Beni sangat kuat untuk merasakan bahwa Rama tidak akan ditemukan dalam waktu 14 hari di Gunung Semeru. Tenggat waktu yang diberikan kepada tim pencari.
Kami masih mencoba untuk bertahan di Kalimati sambil selalu memonitor perkembangan pencarian melalui radio komunikasi. Tapi, hingga memasuki hari ke-6, belum ditemukan tanda-tanda keberadaan Rama, termasuk jejak yang ditinggalkannya. Semua sudah dieksplorasi, juga dengan menuruni Blank 75, jurang yang jadi icon Gunung Semeru, tempat biasanya pendaki sering tersesat.
Beni sendiri yang sehari sebelumnya turun ke Blank 75 atas izin dari ketua SRU saat itu. Pagi hari, ada salah satu relawan yang mencoba turun karena mencurigai ada temuan berupa botol air mineral. Tapi, belum sampai ke dasar jurang, hujan deras keburu datang. Proses pencarian tertunda.
Sekira pukul dua siang, setelah hujan reda, atas seizin ketua SRU, Beni memutuskan untuk menuruni jurang itu. Bukan perkara mudah mengingat kedalaman Blank 75 dan batuan yang licin terkena siraman air hujan walaupun menggunakan tehnik rappelling.
Hasilnya nihil. Meskipun proses pencariannya sudah dibantu oleh beberapa relawan lain karena kawasan Blank 75 yang luas. Beni menceritakan bahwa dia merasakan aura aneh di bawah sana. Dia merasa ada puluhan pasang mata yang mengawasinya dari sudut-sudut jurang Blank 75.
Ketika menuruni jurang, Beni sempat optimis karena dari atas nampak olehnya sebuah daypack berwarna merah. Sesuai keterangan dari Janu, saat summit Gunung Semeru, memang Rama membawa daypack, warnanya merah. Tapi setelah semakin dekat, apa yang dilihatnya ternyata hanya sepotong kayu lapuk.
Hingga menjelang malam, karena tidak juga membuahkan hasil, akhirnya semua relawan ditarik lagi ke atas. Ini sudah kali ketiga proses pencarian di Blank 75, tak ada jejak yang ditemukan kecuali botol air mineral ukuran satu liter yang entah milik siapa. Janu sendiri tidak terlalu yakin kalau botol itu milik Rama.
Malam hari seusai briefing dari ketua SRU, kami kembali ke tenda masing-masing. Besok, pencarian akan dilanjutkan ke area puncak. Sudah beberapa hari ini memang pendakian Gunung Semeru ditutup guna memudahkan proses SAR. Janu yang sudah merasa akrab dengan kami beberapa kali mengungkapkan penyesalannya karena tidak turun bersama Rama.
Kami berempat malam itu mengadakan rapat kecil-kecilan terkait proses pencarian Rama. Beni mengemukakan pendapatnya sambil meyakinkan kepada Rio dan Janu bahwa harus ada semacam tindakan extraordinary. Mencari dengan cara lain. Memang terlihat absurd dan hal ini banyak ditentang. Makanya, hanya kami berempat saja yang rapat malam itu.
“Caranya seperti apa? Nanti kita pikirkan lagi. Yang jelas semakin cepat dikerjakan akan semakin baik bagi Rama,” kata Beni tegas.
Beruntung, Rio yang biasanya kukuh mempertahankan argumen dan logikanya, kali ini menyetujui saja saran Beni. Ternyata, kejadian di Alas Lali Jiwo dulu sangat membekas dalam hatinya. Janu setuju saja mendengar penjelasan dari Beni. Ya dicoba saja, toh di sini sudah banyak teman lain yang bantu, begitu katanya.
Malam itu juga, Beni menemui ketua SRU dan menyampaikan maksudnya untuk turun ke Ranupani karena alasan kesehatan. Tanpa banyak perdebatan, kami diizinkan untuk turun terlebih dulu. Tentu saja kami tidak menceritakan tentang wacana mencari Rama dengan metode lain itu.
Kejanggalan di rumah Janu
Pagi hari setelah sarapan, kami berkemas. Usai berpamitan dengan semua relawan, kami berempat turun menuju Ranupani. Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan turun kali ini. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing sampai tak terasa kami sudah sampai di Watu Rejeng.
Sampai di basecamp, Janu disambut dengan berondongan pertanyaan dari keluarga Rama. Tidak sedikit perkataan yang menyudutkan Janu karena meninggalkan Rama di puncak. Beni yang khawatir jika terjadi sesuatu, berinisiatif mendampingi Janu dan memberikan penjelasan panjang lebar terkait usaha pencarian terhadap Rama serta rencana selanjutnya.
Mendengar penjelasan dari Beni membuat keluarga Rama sedikit lega. Ternyata ada salah satu dari keluarga Rama yang diajak ikut ke Ranupani dan kebetulan memilki kemampuan metafisika. Sebuah hal yang lazim dilakukan oleh keluarga pendaki yang kehilangan kerabatnya. Mereka biasanya datang dengan membawa seorang paranormal.
Setelah beristirahat sebentar, menggunakan kendaraan yang disewa oleh keluarga Rama, kami kembali ke Malang. Tujuan kami adalah rumah Janu di daerah Blimbing. Kakak Rama lainnya tetap stand by di Ranupani sambil menunggu perkembangan proses pencarian adiknya.
Bukan sebuah kebetulan jika ternyata orang tua Janu memiliki rumah di Malang. Orang tua Janu pernah bekerja di Malang. Makanya dia memiliki properti di sana. Rumah itu kosong karena hanya dijadikan tempat singgah saat keluarganya berkunjung ke Jawa Timur. Rumah nenek Janu.
Untuk tetap menjaga kebersihannya, orang tua Janu menitipkan rumah ini kepada salah satu staf kantornya. Sebelum berangkat ke Gunung Semeru, Janu dan Rama sempat menginap semalam di rumah ini.
Hampir tengah malam ketika kami berenam akhirnya sampai di rumah Janu, tapi ada yang tidak biasa. Setibanya kami di sana, nampak beberapa warga tengah berkumpul di jalan depan rumahnya. Padahal kompleks perumahan ini biasanya sepi, apalagi saat malam hari, tutur Janu.
Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya kami mendapatkan cerita dari warga tentang kejadian di rumah Janu. Sudah beberapa malam ini dari dalam rumahnya terdengar suara bayi menangis, kata petugas keamanan kompleks.
“Betul, Pak. Dua hari yang lalu malah di teras depan itu saya melihat ada perempuan duduk malam-malam. Padahal saya tahu kalau rumah ini kosong,” timpal salah satu dari mereka.
Pernyataan kedua petugas keamanan itu membuat Pak Yuli, paranormal yang dibawa keluarga Rama dari Jakarta, penasaran. Beni juga sepertinya tak kalah penasarannya, adakah peristiwa di rumah ini terkait dengan hilangnya Rama di Gunung Semeru?
Rasa penasaran Beni terjawab ketika akhirnya mereka masuk ke dalam rumah Janu yang luas itu. Halaman depannya dibiarkan tanpa pagar. Di dinding rumah terpasang beberapa lukisan klasik dan foto keluarga Janu.
Halaman belakang rumah Janu yang hanya diterangi lampu temaram membuat malam itu makin nampak gelap. Beberapa pohon tumbuh di setiap sudutnya. Setiap sisinya bersebelahan dengan dinding rumah tetangga. Tapi yang menarik perhatian kami adalah ketika di bagian tengah halaman itu terlihat sebuah ayunan bocah yang bergoyang! Padahal tidak ada orang di sana.
“Janu! Tolong!”
Suara perempuan yang sama ketika kami berada di Gunung Semeru beberapa hari yang lalu terdengar lagi. Bulu kuduk kami sontak meremang ketika di kejauhan terdengar suara anjing melolong.
“Astaghfirullahaladzim!”
Tiba-tiba Beni berseru dengan suara parau diikuti oleh kami semua.
“Wan!” Janu mana?” Kali ini Beni berteriak panik.
Rama dan Pinkan
Sudah memasuki hari ke-7 pencarian Rama tapi tim SAR masih belum berhasil menemukan jejaknya. Hampir semua tempat di Gunung Semeru yang dicurigai sebagai lokasi hilangnya Rama sudah disisir, tapi hasilnya nihil. Rama seperti raib ditelan bumi.
Panasnya suhu udara Jakarta tak mampu menghentikan niat Rama yang sedang memacu sepeda motornya. Dia berniat ke rumah Pinkan, pacarnya. Selain bermaksud untuk memberikan ucapan selamat di hari ulang tahunnya, Rama juga akan berpamitan sebelum mendaki Gunung Semeru bersama Janu.
Pinkan tahu dia tidak akan mampu menghalangi niat Rama untuk mendaki Gunung Semeru. Dia mahfum dengan hobi Rama yang satu ini, apalagi sudah setahun dia tidak pernah mendaki bersama Janu. Artinya, setahun itu pula, Rama sudah banyak menghabiskan waktu bersamanya.
Percuma saja melarangnya kalau akhirnya dia tetap nekat berangkat. Walaupun sebenarnya Pinkan punya trauma tersendiri jika menyebut nama Gunung Semeru. Dengan berat hati, Pinkan melepas kepergian Rama ke Semeru.
Pinkan tidak pernah tahu bahwa hari itu merupakan hari terakhir dia bisa bersama dengan Rama sebelum akhirnya dinyatakan hilang di Gunung Semeru. Kabar hilangnya Rama itu sampai ke telinga Pinkan saat dia sedang di kampus.
Adalah Wisnu, ketua Mapala di kampusnya yang pertama kali menemuinya untuk mengabarkan musibah itu.
“Kita juga sudah mengirim tim ke sana, Kan. Doakan saja bisa cepet ketemu,” kata Wisnu.
Mendengar kabar itu, Pinkan tertegun lalu terduduk lemas. Beberapa teman yang mencoba menghibur dan menguatkan hatinya tidak mampu mengusir kesedihan Pinkan.
Sudah lima hari sejak Rama berpamitan untuk mendaki Gunung Semeru. Mestinya dia sudah turun dari sana. Pinkan mengira Rama transit ke rumah Janu. Makanya dia tidak merasa gelisah.
Usai kuliah, dengan kesedihan yang mendalam, Pinkan pulang ke rumahnya. Sedianya, beberapa teman mengajukan diri untuk menemani karena khawatir akan kondisinya, tapi Pinkan menolak. Larut dalam kesedihan membuat konsentrasi Pinkan saat berkendara jadi buyar. Akhirnya dia mengalami kecelakaan dan berujung pada tragedi. Pinkan meninggal akibat cedera parah di bagian kepala.
Cerita dari ayah Rama saat perjalanan pulang dari Ranupani membuat kami semua terdiam.
Tragis sekali.
Janu yang baru mendengar berita ini tak mampu lagi menahan kesedihannya. Dia menangis terisak. Baginya, Rama dan Pinkan sudah seperti saudara, meskipun beberapa bulan terakhir sebelum pendakian mereka jarang bertemu.
Janu juga bercerita bagaimana Rama, saat di kereta dalam perjalanan menuju Malang. Dia tidak merasakan hal yang aneh atau ganjil sebagai firasat akan kepergiannya. Rama hanya bercerita kalau hari itu Pinkan kelihatan cantik sekali. Tidak biasanya Rama memuji-muji Pinkan di depan Janu, tapi dia menganggap itu sesuatu yang wajar saja.
“Aku tidak mengira mereka pergi dalam waktu bersamaan,” ucap Janu sedih.
Suasana di dalam mobil saat itu disesaki kesedihan. Semua seperti merasakan seolah-olah Rama memang sudah meninggal walaupun masih belum diketahui nasibnya.
“Kamu ada firasat apa, Ben?”
Aku berbisik kepada Beni yang berada di sebelahku bersama Rio. Kebetulan kami duduk di seat paling belakang. Beni menggeleng pesimis. Dia seperti tidak yakin Rama bisa ditemukan dalam keadaan hidup. Apalagi saat itu sudah masuk hari ketujuh dan kondisi cuaca di Gunung Semeru sangat ekstrem.
Segencar-gencarnya pencarian dilakukan, tim SAR pasti memprioritaskan keamanan dan keselamatan anggotanya. Jika terjadi hujan, terlebih badai, waktu untuk melakukan pencarian akhirnya akan banyak terbuang karena harus menunggu sampai cuaca membaik.
Bukan perkara mudah bagi survivor untuk bertahan hidup dalam kondisi cuaca seperti itu. Celakanya, Rama saat itu hanya berbekal air mineral dan snack saja di daypack–nya. Terjalnya jalur menuju puncak Gunung Semeru memaksa tiap pendaki untuk membawa bekal yang minim. Padahal risiko tersesat justru sering terjadi pada saat mereka turun dari puncak.
Pinkan datang lagi?
Ketegangan masih terjadi di rumah Janu. Lolongan anjing di tengah dinginnya udara Malang membuat nyali semakin ciut, terutama bagi Janu dan ayahnya Rama yang baru pertama kali mengalami fenomena seperti ini. Sampai akhirnya ayunan itu berhenti bergoyang lalu muncul sosok perempuan dari balik gelapnya pohon di sudut halaman.
“Tolong… tolong Rama!”
Sekali lagi suara memelas perempuan itu terdengar. Kali ini bukan hanya Janu tapi ayah Rama juga terkejut karena dia tidak asing lagi dengan suaranya. Hanya, mereka tidak bisa melihat dengan jelas sosok perempuan di balik pohon itu. Mereka tidak yakin kalau itu adalah Pinkan.
Janu yang sedari tadi tak terlihat tiba-tiba saja muncul dari dalam kamarnya sambil membawa ponsel yang lantas diserahkannya kepada ayah Rama.
“Janu, tolongin Rama.”
Begitu kalimat yang tertulis di SMS.
“Ponsel Rama kamu yang bawa?” Tanya ayah Rama menyelidik.
“Nggak, Om. Ini ada di dalam carrier Rama yang saya bawa turun dari Gunung Semeru.”
“Ini SMS dari Pinkan. Dikirim di hari kematiannya. Bagaimana ini, Pak?”
Ayah Rama bertanya kepada Pak Yuli juga yang juga tidak mengira akan ada kejadian seperti ini.
“Akan saya bantu semampu saya, Pak.”
“Benar, Om. Mendingan sekarang masuk dulu. Kita semua belum tahu ada apa di balik kejadian ini,” ujar Rio menimpali.
Kami semua masuk ke dalam rumah kecuali Pak Yuli dan Beni. Mereka berdua mengendap-endap berjalan ke arah pohon tempat perempuan itu berada. Benar saja, di balik pohon terlihat perempuan itu berdiri membelakangi keduanya.
Saat dia berbalik, terlihat wajahnya pucat, seperti tak ada lagi darah yang mengalir dalam tubuhnya. Rambut di kepalanya hanya tumbuh beberapa helai saja. Tangannya disilangkan di depan dada dengan kedua matanya yang terpejam.
“Kamu siapa?” Pak Yuli bertanya dengan suara bergetar menahan takut.
Perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya menyeringai sambil tangannya menunjuk ke pohon di depannya. Kelopak matanya pelan-pelan terbuka, tak ada pupil di sana. Hanya warna putih saja!
Sejenak kemudian perempuan itu menunjukkan tangannya lagi, kali ini ke arah Gunung Semeru yang malam itu terlihat jelas dari halaman belakang rumah Janu.
“Baik, kami akan berusaha menemukan dia,” kata Pak Yuli.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Tak berapa lama setelahnya dia lenyap bersama desiran angin yang berhembus pelan.
Tak ada yang mengenal perempuan itu. Apakah dia penghuni pohon di kebun atau penghuni Gunung Semeru yang mengikuti sampai ke rumah Janu.
Hampir pukul empat pagi, ketika akhirnya suasana aura aneh mulai mereda. Kami semua masuk dan berkumpul di ruang tengah. Aku dan Beni ngobrol dengan Pak Yuli sementara yang lain seperti sedang larut dengan pikiran masing-masing.
Beni menyarankan untuk melakukan prosesi memanggil arwah. Ya, semacam permainan jelangkung. Tapi itu hanya bisa dilakukan malam hari saja, dan kita tidak tahu arwah siapa yang nanti bakal datang, demikian kata Pak Yuli.
Keadaan menjadi semakin rumit, energi kami sudah benar-benar terkuras. Praktis, dalam waktu tiga hari, kami hanya memiliki waktu sebentar saja untuk beristirahat. Musabab lelah yang tak tertahankan, setelah menyantap semangkuk mie instan, semua lelap tertidur di ruang tengah. Hanya Janu yang tetap terjaga di dekat telepon. Dia masih berharap ada kabar baik dari Ranupani.
Tamu di siang hari
Aku terbangun pukul delapan pagi ketika mendengar pintu depan diketuk. Rupanya seseorang meletakkan paket yang ditujukan untuk Janu. Aku tidak tahu siapa yang meletakkan di teras rumah. Tidak ada nama dan alamat pengirim yang tertera, hanya tertulis inisial “P – Jakarta”. Itu saja.
Aku letakkan paket itu di atas meja dekat telepon, tempat di mana akhirnya Janu jatuh tertidur. Pak Yuli dan ayah Rama sudah tidak berada lagi di ruang tengah. Rupanya Janu mempersilakan mereka untuk beristirahat di kamarnya. Hanya Beni saja yang masih ada di ruang tengah. Tertidur di karpet.
Hanya selang beberapa saat saja pintu ruang tamu diketuk lagi. Aku bangunkan Janu, mengira kali ini adalah saudaranya yang datang. Setelah dibukakan pintu ternyata seorang perempuan. Telapak tangannya terasa halus dan dingin saat aku bersalaman, raut wajahnya pucat, usianya sekitar 30 tahunan. Janu mempersilakan perempuan itu masuk,
“Saya Winda, tinggal di belakang rumah ini. Saya mendengar ada keributan di rumah ini tadi malam. Ada apa?” Tanya perempuan itu sambil mengenalkan dirinya.
Diawali permohonan maaf karena telah membuat tetangganya terganggu, Janu lalu menceritakan peristiwa yang terjadi. Termasuk cerita tentang hilangnya Rama di Gunung Semeru. Winda mendengarkan detail cerita Janu dengan seksama sebelum akhirnya dia menghela napas.
“Baiklah. Mungkin saya bisa membantu. Datang saja ke rumah saya nanti malam,” katanya.
“Mmm… sebentar, Mbak,” kata Janu sambil menarik lenganku mengajak ke dalam.
Aku dan Janu lalu membangunkan Beni. Ternyata dia mendengar pembicaraan kami dan sudah tahu maksud kedatangan Winda. Saat kami kembali ke ruang tamu, Winda sudah tidak lagi ada di sana. Ketika dikejar ke jalan depan rumah juga sudah tak nampak. Lagi-lagi kejadian misterius menyapa kedatangan kami di rumah Janu.
“Bang, ini paket abang yang terima?”
“Iya, Nu. Gua sampai lupa kasih tau.”
Janu yang berjalan ke arah meja telepon menemukan paket yang tadi pagi aku letakkan di sana. Menggunakan cutter, dia membuka paket itu setelah sebelumnya dibolak-baliknya, mencoba menemukan siapa pengirimnya.
Sesaat setelah paket itu terbuka, tiba-tiba raut muka Janu berubah. Dia seperti kaget melihat isinya. Sebuah boneka. Iya, hanya sebuah boneka berukuran tidak terlalu besar tapi sanggup membuat Janu menjadi tertegun seketika.
“Ini boneka yang dibeli Rama untuk hadiah ulang tahun Pinkan.”
“Kenapa bisa sampai sini? Aku tambah nggak ngerti,” keluh Janu kebingungan.
“Terlalu rumit jika harus diurai, sekarang dihadapi saja. Dan yang penting adalah bagaimana kita bisa secepatnya menemukan Rama,” kata Rio.
Malam hari menjelang, Janu masih ingat undangan dari tetangganya tadi pagi. Lepas Maghrib, kami berangkat ke rumah Winda. Ternyata kami tidak sendiri, beberapa tetangga dari majelis taklim juga menuju ke rumah Winda.
“Kami ikut prihatin dengan musibah yang menimpa, teman Mas di Gunung Semeru,” kata salah satu dari mereka saat kami berjalan bersama.
“Apa yang kalian alami mirip seperti kejadian yang menimpa Mbak Winda,” jelas satunya lagi.
“Jadi, Mbak Winda itu pernah hilang di Gunung Semeru, pak?” tanya Beni dengan suara serak.
“Iya, tapi jasadnya berhasil ditemukan. Malam ini adalah peringatan seribu harinya.”
Mendengar cerita dari para tetangga itu kami semua terdiam lemas. Ada perasaan takut mengingat kejadian pagi tadi, namun hal ini tidak mengurungkan niat untuk datang ke rumahnya. Ya sudah, yuk kita bersama datang ke rumahnya untuk mendoakan almarhumah, begitu ucap Rio.
Setelah berkenalan dengan ibu Winda, kami dipersilakan untuk duduk di ruang tamu yang beralaskan karpet. Rio, walaupun seorang Katolik, dia ikut dalam acara itu dan bergabung bersama yang lain di dalam.
“Silakan masuk. Maaf suami saya sedang takziah ke Jakarta, karena ada kerabat yang meninggal, sepupu almarhum Winda.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.”
Serempak kami mengucapkan istirjak begitu mendengar cerita dari ibunya Winda.
Kami memilih untuk duduk dekat sebuah almari yang berisi pernak-pernik asesoris. Menghadap ke dinding yang terdapat beberapa bingkai foto tergantung.
Pandangan mata Janu terlihat tengah mengamati foto-foto itu. Ada foto Winda. Aku ingat betul parasnya.
“Bang, yang foto bareng di sebelah Winda itu Pinkan!” kata Janu berbisik.
“Hah??”
“Itu foto anak saya Winda. Yang disebelahnya itu keponakan saya, adik sepupu Winda yang meninggal beberapa hari yang lalu, namanya Pinkan.”
Ibu Winda tiba-tiba sudah berada dibelakang kami. Dia membawakan minuman sambil menjelaskan, seperti tahu bahwa kami sedang mengamati foto-foto di dinding itu dengan penuh tanda tanya.
“Mereka juga sedang terkena musibah, Bu. Teman mereka hilang di Gunung Semeru dan belum ketemu. Mirip seperti apa yang dialami Mbak Winda,” jelas Pak RT.
“Oh, saya baca beritanya. Jadi, kalian ini teman Rama?”
“Betul, Bu,” jawab Janu singkat tanpa menceritakan bahwa Pinkan, keponakannya, adalah pacar Rama.
Lebih dari pukul sembilan malam akhirnya semua berpamitan kepada tuan rumah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kami semua terdiam, seperti menyimpan sebuah rahasia besar.
Namanya Nyai
Kedatangan keluarga Pinkan ke Malang sebagai rasa simpati atas musibah yang menimpa Rama menjadi motivasi bagi kami untuk bisa segera menemukan Rama. Tapi, walaupun sudah berusaha maksimal rupanya takdir berkehendak lain.
Memasuki malam kedua di rumah Janu, sepulangnya dari rumah Winda akhirnya kami mewujudkan rencana untuk melakukan ritual supranatural. Pak Yuli sudah menunggu kami di kursi teras dengan membawa ubo rampe yang dibutuhkan.
Siang hari tadi ayah Rama dan Pak Yuli berpamitan dan memutuskan untuk pindah ke hotel. Kondisi mentalnya tidak siap untuk menyaksikan kejadian-kejadian di rumah ini tapi Pak Yuli berjanji malam ini akan datang bergabung.
Semua keperluan untuk ritual itu sudah lengkap. Kami tidak berpikir bahwa ini tidak diperbolehkan dalam akidah. Niat kami semata-mata mencari keberadaan Rama di Gunung Semeru, tak peduli cara yang harus ditempuh.
Menjelang tengah malam, rencana itu kami eksekusi. Kami diminta untuk duduk dengan membentuk lingkaran. Pak Yuli yang memimpin memulai dengan mengucapkan semacam mantra-mantra. Ya, Pak Yuli memanggil arwah lewat perantaraan jaelangkung!
Ruangan yang lampunya sengaja dimatikan sudah dipenuhi aroma setanggi. Pak Yuli semakin intens merapal mantra. Hanya butuh beberapa saat saja sehingga kami mendengar lagi suara panggilan dari perempuan itu. Perempuan yang datang ke rumah ini tadi pagi!“
Januuu!”
“Winda?”
Aku dan Janu bergumam hampir bersamaan ketika mendengar suaranya. Ternyata bukan suara Pinkan, walaupun memang mirip. Sesaat kemudian terdengar suara pintu belakang rumah diketuk. Intensitas ketukannya semakin sering dan suaranya semakin keras.
Tok… tok… tok… tok!
“Januuu!”
Tak ada yang berani bergeser dari tempat duduk. Semua merasakan ketegangan dan ketakutan karena tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Baru ketika suara ketukan di pintu berubah menjadi gedoran, Pak Yuli beranjak dari tempatnya.
Suara gedoran pintu semakin keras saja. Kami berempat mengikuti Pak Yuli yang menghampiri pintu dengan setengah berlari. Pukul 01.15 dini hari saat mataku melirik ke arah jam dinding. Waktu yang sempurna, batinku.
Suasana sangat tegang saat dengan pelan Pak Yuli membuka pintu. Suara kunci yang diputar dalam situasi seperti ini menimbulkan aura tersendiri. Kami semua menahan napas menantikan momen selanjutnya. Rio bahkan sampai menutup muka saking takutnya. Dan benar saja. Setelah terbuka, di depan pintu berdiri sesosok perempuan.
Winda?
“Bukan Winda, hanya mirip saja. Tapi sepertinya dia datang dari Gunung Semeru,” jelas Pak Yuli.
Tapi memang wajahnya mirip seperti Winda yang datang pagi tadi. Tidak ada kesan menyeramkan kecuali wajah dan bibirnya saja yang pucat serta gaun putihnya yang sedikit kotor dan lusuh.
“Saya minta maaf sudah mengusik ketenanganmu,” jawab Pak Yuli.
Sedetik kemudian angin berhembus dari arah luar mengiringi perempuan yang seperti melayang masuk ke dalam ruang tengah.
Tubuh Rio gemetar menyaksikan fenomena itu. Kali ini akal sehatnya benar-benar mati, berganti dengan ketakutan yang menyergap. Tangannya berulangkali membuat simbol salib di depan dadanya.
“Bantu kami menemukan Rama,” lanjut Pak Yuli sambil mengikuti perempuan itu.
Beni sudah menyiapkan kertas dan spidol yang diikatkan pada ujung sebilah kayu. Sarana ini dipakai sebagai alat komunikasi dengan mahluk yang sekarang ada di depan kami.
“Namamu siapa?” Tanya Pak Yuli memulai pertanyaannya. Intonasinya lembut, seperti tidak ingin membuat perempuan itu marah.
Hanya beberapa saat setelahnya ujung kayu yg dipegang Beni bergerak. Sementara perempuan itu tampak berdiri di sudut ruangan dengan kepala tertunduk.
“NYAI,” kayu yg ujungnya diikatkan spidol itu menuliskan beberapa huruf di atas kertas.
“Kamu meninggal karena apa?” Tanya Pak Yuli lagi.
Kali ini agak lama ujung kayu yang dipegang Beni tidak kunjung bergerak. Sampai Pak Yuli mengulangi lagi dengan pertanyaan yang sama.
“S E M E R U.”
Kali ini jawaban yang ditunjukkannya melalui tulisan itu tegas dan jelas.
Suasana semakin tegang ketika pertanyaan demi pertanyaan dari Pak Yuli semakin mengarah kepada keberadaan Rama di Gunung Semeru. Ketika ditanyakan apa penyebab hilangnya Rama,
“JJNU YG SALH PRGI!”
Kayu itu bergerak lagi menuliskan sebuah kalimat. Kami mencoba mencerna apa maksud kalimat itu.
“Janu yang salah karena dia pergi. Mungkin itu maksudnya,” kata Beni berbisik.
Janu tersentak, matanya terbelalak ketika tatapan perempuan itu mengarah ke dirinya. Dia nampak ketakutan. Jantungnya berdegup kencang. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya.
“Nggak usah panik, Nu. Dia nggak akan ngapa-ngapain,” kata Beni menenangkan Janu.
“Sekarang, di mana Rama? Kami ingin menolongnya.”
Untuk kesekian kalinya, Pak Yuli menanyakan keberadaan Rama. Tapi dia tidak memberikan jawaban yang diinginkan. Tidak juga melalui pergerakan tubuhnya. Dia hanya tersenyum sambil tangan kirinya digoyang-goyangkan ke kiri dan kanan menyerupai gerakan pendulum.
Pukul tiga dini hari. Artinya sudah satu setengah jam proses itu kami lakukan tapi belum juga dapat jawaban dari perempuan yang mengaku bernama NYAI ini tentang keberadaan Rama di Gunung Semeru.
Napas kami sudah sesak oleh asap setanggi. Tubuh Pak Yuli sudah basah oleh keringat. Dia seperti menggunakan seluruh energinya untuk melakukan ritual ini. Sudah hampir subuh, itu artinya ritual harus segera diakhiri atau konsekuensinya kami harus mengantar NYAI pulang. Ini berbahaya.
“Pulanglah, sudah pagi. Besok datanglah lagi kemari,” kata Pak Yuli.
Perempuan itu akhirnya pergi dengan diiringi hembusan angin. Angin yang entah dari mana datangnya berkelindan dengan asap setanggi mengantarkan kepergian NYAI kembali ke alamnya.
Sosok misterius di makam Pinkan
Usai salat Isya, setelah peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawanya, Pinkan langsung dimakamkan. Hanya sebentar saja jenazahnya disemayamkan untuk disalatkan mengingat darah yang terus merembes dari bagian kepalanya.
Hari kelima setelah pemakamannya, artinya bertepatan dengan 10 hari hilangnya Rama di Gunung Semeru, orang tua Pinkan bersama ayah Winda datang ke Malang. Hubungan Rama dan Pinkan memang sudah lama diketahui oleh orangtua masing-masing. Berita hilangnya Rama juga menjadi duka bagi keluarga Pinkan, itulah makanya mereka datang ke Malang ikut memantau proses pencarian Rama.
Sore hari, orang tua Pinkan datang ke rumah Janu. Mengira kalau ayah Rama juga berada di sana. Sambil menyambut kedatangannya, kami mengucapkan duka cita atas meninggalnya Pinkan. Suasana semakin mengharukan ketika ayah Rama datang.
Kami mendapat cerita dari orang tua Pinkan kalau ada sebuah kejadian yang masih menjadi misteri. Adalah penjaga makam yang pada hari ketiga setelah Pinkan dimakamkan melihat seorang laki-laki yang datang berziarah sejak pagi, dia lama sekali bersimpuh di pusara Pinkan.
Meskipun sempat mengamati, penjaga makam tidak berani menegur karena takut mengganggu kekhusyukan pemuda itu. Walaupun begitu dia tetap mengawasi dari kejauhan sampai akhirnya pemuda itu pergi ketika azan Maghrib terdengar.
“Dari jam enam pagi, Bu. Sampai Maghrib dia duduk bersimpuh di pusara Mbak Pinkan.”
Dengan suara bergetar karena menahan tangis, ibu Pinkan mengatakan bahwa ciri-ciri pemuda yang disebut penjaga makam itu mirip sekali dengan Rama.
Suasana di rumah Janu sore itu benar-benar diliputi kedukaan mendalam. Pihak keluarga Rama pun seolah sudah pasrah jika sampai Rama tidak ditemukan. Mereka menyimpulkan peristiwa yang terjadi di makam Pinkan sebagai pertanda bahwa Rama memang sudah tidak ada.
“Tapi pencarian akan terus kami lanjutkan, apapun hasilnya,” Beni berkata.
Pada kesempatan itu juga Pak Yuli menyampaikan bahwa kami semua sedang berusaha mencari dengan metode tersendiri. Dia meminta tidak ada pihak keluarga yang tersinggung terkait usaha ini. Karena yang datang nanti biasanya adalah arwah orang yang memiliki hubungan erat dengan Rama, begitu penjelasan Pak Yuli.
Pihak keluarga tidak ada yang berkeberatan dan bisa memahami itu semua. Yang penting bisa mempercepat proses pencarian dan keberadaan Rama di Gunung Semeru bisa segera diketahui.
Sementara itu, tanda-tanda ditemukannya Rama masih jauh dari harapan meskipun pencarian semakin intens dilakukan. Kabar dari Ranupani hari itu sudah 10 SRU yang berada di Gunung Semeru dan relawan yang terlibat semakin banyak.
Orang tua Pinkan dan Rama akhirnya memutuskan untuk kembali ke basecamp Ranupani. Supaya bisa merasa lebih dekat dengan Rama, katanya dengan mata berkaca-kaca. Suasana batin kami saat itu sungguh tidak menentu. Bagaimanapun, kehilangan orang yang dicintai bukan perkara mudah untuk diterima.
Dan malam itu bersama Pak Yuli, kami kembali melanjutkan ritual memanggil arwah dengan media jaelangkung.
Siapa yang datang?
Malam ketiga di rumah Janu.
Selesai makan malam, kami menyiapkan lagi peralatan yang semalam digunakan. Seperti malam sebelumnya, ritual itu akan dilakukan lepas tengah malam. Tak ada yang tahu siapa yang akan datang kali ini walaupun tadi malam Pak Yuli sudah meminta supaya NYAI datang lagi.
Sudah hampir jam dua malam tapi tidak ada tanda-tanda ada yang menyambut “undangan” Pak Yuli. Yang kami dengar hanya suara lampu gantung di teras bergemerincing karena tertiup angin.
Kami sudah hampir putus asa ketika tiba-tiba kayu yang dipegang oleh Beni bergerak menuliskan rangkaian kata.
“RAMA MATI”
Siapa yang datang? Semua yang berkumpul di ruang itu bertatapan sambil bertanya-tanya. Mengapa tiba-tiba dia tahu Rama begitu saja?
Asap setanggi berubah semakin pekat, kami semua hampir sesak napas karenanya. Untuk mengurangi kepekatannya, Janu membuka pintu ruang tengah yang terhubung dengan garasi. Tapi, ketika pintu terbuka seketika Janu menjerit lalu pingsan. Aku dan Rio membantu menggotong tubuh Janu yang lemas.
Sekilas mataku memandang ke dalam garasi. Ada orang berdiri di sana. Hanya kepalanya saja yang terlihat, badannya terhalang oleh mobil Jeep tua yang terparkir di dalam garasi itu. Bukan NYAI. Janu lalu dibawa ke kamarnya ditemani oleh Rio, di ruang tengah sekarang hanya ada aku, Beni, dan Pak Yuli.
“Namamu siapa? Asalmu dari mana?”
Pak Yuli yang sekarang duduk di pintu garasi mencoba berkomunikasi dengan entitas yang ada di garasi itu. Dan tak butuh waktu lama ketika ujung spidol di tangan Beny mulai bergerak menuliskan sebuah kata.
“PINKAN”
Semua terkejut melihat jawaban itu tapi kami tetap berusaha untuk menguasai keadaan. Apakah kedatangan Pinkan ini yang jadi penyebab pingsannya Janu. Janu mungkin kaget melihat Pinkan ada di garasi rumahnya, karena di antara kami semua hanya dia yang mengenal Pinkan.
Tak mau membuang waktu lagi Pak Yuli mengajukan pertanyaan selanjutnya.
“Kamu datang ke sini, apakah tahu di mana Rama?”
Kayu di tangan Beni bergerak lagi, tapi kali ini tidak menuliskan sebuah kata, melainkan membuat coretan di atas kertas, seperti sedang menggambarkan sebuah tempat. Sampai di satu titik, kayu itu akhirnya berhenti bergerak.
Beni mencoba menerjemahkan gambar itu tapi dia sendiri kebingungan. Tapi kami menganggap ini sudah cukup sebagai sebuah jawaban tentang keberadaan Rama.
“Baiklah, sudah cukup. Sekarang pulanglah, semoga kamu menemukan kedamaian, kami semua akan selalu mendoakanmu.”
Pinkan pun berlalu dengan diiringi doa dari kami yang ada di ruangan tengah saat itu. Sungguh peristiwa yang sangat emosional, meskipun kami tidak pernah mengenal Rama dan Pinkan secara pribadi.
“Rio! Dia pasti tahu gambar ini,” teriak Beni sesaat setelah kepergian Pinkan.
Mendengar namanya disebut Rio keluar dari kamar Janu dan menghampiri kami. Janu sudah siuman walaupun masih terlihat sangat kaget, dan benar saja, dia mengkonfirmasi yang dilihatnya di garasi sebelum pingsan tadi adalah Pinkan.
Untuk kesekian kalinya Rio membuat tanda salib di depan dadanya ketika disodori sebuah gambar oleh Beni. Rio memang seorang Katolik yang taat. Selain aktif di Mapala, dia adalah salah satu pengurus muda-mudi Katolik di Paroki tempat gerejanya berada.
“Ini gambar topografi Gunung Semeru yang digambar terbalik!” Kata Rio sambil mengamati gambar itu tanpa mengedipkan mata.
“Ya Tuhan. Ini jalur lahar Gunung Semeru, Ben,” kata Rio lagi, kali ini ada nada pesimis dalam ucapannya.
Kami semua terduduk lemas mendengar keterangan dari Rio, sangat mustahil bisa mengevakuasi seseorang yang berada di aliran lahar Gunung Semeru. Selain kontur tanahnya yang rapuh, letupan dari kawah yang sewaktu-waktu bisa terjadi sangat membahayakan evakuator.
“Kenapa Rama bisa sampai ke sana? Tempat itu jauh dari lokasi dia terakhir bertemu dengan Janu,” keluh Beni.
“Di gunung, apa saja bisa terjadi, Ben. Kita juga tidak tahu kenapa Anna dan Friska tiba-tiba saja ada di Arjuno waktu itu,” sahutku dibarengi anggukan Beni dan Rio.
Kami menyimpulkan keberadaan Rama yang tersesat sampai ke jalur lahar itu menyebabkan tim SAR tidak berhasil menemukan keberadaannya. Tak ada yang berani memasuki kawasan itu, pun tak yang menduga ada pendaki yang bisa berjalan sampai ke sana. Tidak mungkin hal itu dilakukan saat seseorang sedang berada dalam keadaan sadar dan terbebas dari pengaruh entitas lain.
Sudah masuk hari ke-12 pencarian Rama. Seperti dugaan kami semalam, hari ini pun belum ada tanda ditemukannya Rama. Hanya kami yang berani menyimpulkan bahwa Rama sebenarnya sudah meninggal. Tapi kami tidak mau memberitahukan kepada keluarganya, tidak etis rasanya, apalagi apa yang kami lakukan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hari ke-14 sore hari, operasi SAR pencarian pendaki yang hilang atas nama Rama di Gunung Semeru resmi dihentikan. Keluarga tidak akan melakukan perpanjangan, semua sudah mengikhlaskan kepergian Rama. Malam hari, seluruh rombongan keluarga yang ada di Ranupani tiba di rumah Janu.
Janu sendiri yang meminta mereka datang untuk beristirahat di rumahnya. Berkali-kali dia meminta maaf kepada ayah Rama karena telah meninggalkan Rama saat itu. Tidak marah, ayah Rama justru memeluk Janu.
“Sudah, Nu. Kamu nggak salah. Semua sudah menjadi takdir Rama,” kata ayah Rama.
“Iya, Om. Saya juga sedih sekali kehilangan sahabat saya, Rama dan Pinkan,” jawab Janu masih sambil memeluk ayah Rama.
Aku, Beni, Rio, dan Pak Yuli hanya bisa tertunduk sedih menyaksikan pemandangan itu. Tak ada yang menduga pencarian Rama akan berjalan sedramatis ini. Rio bahkan sampai menangis, dia teringat peristiwa serupa pernah menimpa sahabatnya yang meninggal saat mendaki ke Gunung Salak.
Setelah seminggu lebih kami di Malang, akhirnya kami berpamitan kepada Janu dan keluarga Rama. Perpisahan paling mengharukan yang pernah dirasakan.
“Terima kasih, kalian sudah banyak membantu. Mampirlah ke rumah kalau ke Jakarta,” kata ayah Rama dan Janu saat kami berpamitan.
Sampai di rumah, Rio kami bertiga mencoba membahas lagi rangkaian peristiwa yang terjadi selama proses pencarian Rama. Termasuk banyaknya kejanggalan yang terjadi selama di Gunung Semeru maupun di rumah Janu.
“Kata temen di kampusku, Nyai adalah salah satu penunggu Gunung Semeru. Dia itulah yang dilihat oleh Janu sedang digendong oleh Rama di Oro-Oro Ombo,” kata Rio.
“Tumben, sejak kapan kamu percaya cerita seperti itu, Yo?” Tanya Beni.
Rio hanya mengangkat bahunya sambil berkata, “Asu!”
Tamat
BACA JUGA Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno