Apa yang kamu lakukan saat usiamu baru 20-an tahun? Masih suka nongkrong? Masih suka main? Masih suka jalan-jalan?
Oh, jika kamu tanyakan hal ini pada Agus Wahib Sabara dan Muhammad Mustain Dzul Azmi, maka kamu tak akan menemukan jawaban-jawaban umum.
Alasannya sederhana. Baik Agus Wahib maupun Dzul Azmi sudah meninggalkan gemerlap dunia anak muda karena dipasrahi mengasuh pondok pesantren pada usia mereka yang belum genap 26 tahun.
Bahkan sebelum menyebut nama Agus maupun Azmi di acara resmi, nama mereka saat ini sudah dilabeli dengan gelar prestisius: “Kiai Haji”.
Karena kebetulan Mojok kenal akrab dengan keduanya, Mojok diizinkan untuk njangkar menyebut pakai nama kecil mereka di tulisan ini. Normalnya sih, keduanya akan disebut begini dalam setiap surat undangan: K.H. Agus Wahib Sabara dan K.H. M. Mustain Dzul Azmi.
Agus Wahib Sabara (39 tahun) saat ini mengasuh Pondok Pesantren Darul Quddusis Salam di Desa Bener, Tengaran, Kabupaten Semarang. Sudah sejak 2007, Agus mengelola pesantren ini dan sekarang masih istikamah mengasuh 124 santri.
Sedangkan Dzul Azmi (33 tahun), mengelola Asrama 27 Al-Furqon, Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, sejak tahun 2013. Saat ini Dzul Azmi sudah dipasrahi mengasuh 220 santri.
Dalam obrolan saya dengan keduanya, kamu akan bisa mendapat kesan bahwa seorang kiai pada dasarnya juga manusia biasa. Punya ketakutan, kekhawatiran, dan kadang segudang ide nakal.
Usia berapa kamu diminta untuk mengasuh pondok pesantren?
Agus Wahib: Usia sekitar 25 lebih, jelang 26 tahun.
Dzul Azmi: (Umur) 25 tahun, Mas. Setahun setelah lulus kuliah, atau habis balik dari Jogja.
Kuliah di mana dulu? Jurusan apa?
Agus Wahib: Syariah, UNSIQ Wonosobo.
Dzul Azmi: Sosiologi UIN Sunan Kalijaga. Lama banget kuliahku. Salah satunya biar nggak langsung disuruh pulang untuk ngasuh pondok. Hehe.
Pernah kepikiran buat nolak jadi kiai?
Agus Wahib: Waktu MTS (setara SMP). Ngerasa nggak siap dan nggak pantas mimpin pondok pesantren. Tapi seiring waktu, dengan tambah umur ya jadi berdamai dengan keadaan. Cuma “kepergian” Bapak (pengasuh sebelumnya) terlalu cepat jadi (kayak) akselerasi untuk memantaskan diri.
Dzul Azmi: Sudah disiapkan sejak awal, Mas. Nggak tahu ya. Soalnya Ayah sudah mengarahkan sejak kecil. Lagian juga aku udah sadar suatu hari nanti bakal balik ke Jombang (buat ngasuh pondok).
Gimana tanggapan temen-temenmu ketika tahu kamu mendadak jadi kiai begitu?
Agus Wahib: Responsnya beda-beda. Ada yang tidak berubah juga. Dalam artian, status kiai nggak bikin mereka jaga jarak, jadi tetep gasak-gasakan.
Meski ada juga mereka yang jadi sungkan, ewuh, dan jaga jarak. Tadinya bahasanya ngoko jadi kromo alus, dan kalau manggil ada embel-embel “yi” atau “yai”.
Dzul Azmi: Kalau teman mondok biasa aja sih, Mas. Mungkin karena mereka tahu kalau aku di rumah ada pondok. Jadi temen-temen mondok paham kalau aku yang bakal nerusin ngasuh.
Cuma kalau temen-temen pondok pasti pada nanya. Gimana sih rasanya ngasuh pondok? Ya gitu-gitu.
Kalau temen kampus, ya kaget. Soalnya aku di kampus itu, istilahnya, low profile. Bukan mahasiswa kritis. Lebih ke pendiam malah. Wajar kalau mereka nggak yakin aku ngasuh pondok. Lah modelku kan dulu sering nongkrong, dolan-dolan.
Bahkan kemarin aku diminta kampus untuk ngisi kayak nulis riwayat hidup untuk buku kisah inspiratif alumni FISHUM.
Padahal waktu kuliah itu aku biasa aja anaknya. Nggak dikenal dosen, tapi tahu-tahu disuruh ngisi, disuruh nulis. Alasannya cuma karena aku di sini ngasuh pondok.
Ya agak kaget sih, dulu aku kan mahasiswa yang nggak terlalu eksis. Padahal kalau dipikir-pikir inspirasi apanya, kuliah aja 7 tahun. Haha.
Apa kekhawatiran terbesarmu ketika sadar jadi kiai pengasuh pondok pesantren begini?
Agus Wahib: Ya ada semacam kekhawatiran kayak… bisa kah menjaga kualitas pesantren ini seperti zamannya Bapak? Bisakah aku mengembangkan pesantren ini?
Tapi itu dulu, sekarang sih lebih ke pasrah ke Allah, yang penting sekarang berusaha sebaik-baiknya merawat santri-santri dan nggak musingin omongan orang.
Selain itu, kekhawatiran serangan gaib sih. Haha.
Kayak banyak santri yang kesurupan terus nggak bisa mengatasi. Sering juga malam-malam ada letusan di atas genteng dan suara benda-benda yang dilempar ke atas.
Aku baru tahu kalau itu serangan gaib setelah mengikuti pelatihan praktisi Jam’iyyah Ruqyah Aswaja di LDNU. Alhamdulillahnya, masih banyak pertolongan dari Allah waktu itu. Ya wajar, dulu itu kan maju perang tapi nggak punya senjata. Haha.
Dzul Azmi: Tanggung jawab ngasuh anak-anak santri sih, Mas. Apalagi kalau ada santri yang anak kiai juga. Beban sampai sekarang sih.
Apalagi sebenarnya masih merasa nggak pantas ngasuh santri. Meski lambat laun harus terbiasa.
Ini pun masih urusan sama santri, Mas. Belum kalau terjun ke masyarakat. Bebannya jauh lebih besar. Sebagai teladan, rujukan, cakupannya lebih luas.
Kalau gitu, apa yang menguatkanmu untuk tetep kuat pegang tanggung jawab ini?
Agus Wahib: Mungkin motivasi dan nasihat dari orang-orang dekat, terutama Ibu. Ibu sering bilang, “Peninggalan Bapak ini dirawat sebisanya. Nggak harus kayak bapakmu. Diuri-uri semampumu.”
Meski ya di sisi lain jadi terus berproses memantaskan diri. Masih nambah ilmu dengan ngaji lagi di sela-sela ngasuh santri. Kadang juga masih jadi santri kalong (santri yang nggak nginep di pondok) di beberapa kiai dan pesantren.
Dzul Azmi: Amanah orang tua sih, Mas. Ya sebagai wadah buat belajar dan ngamalin ilmu.
Sebagai kiai yang masih muda, perubahan terbesar apa yang berhasil kamu lakukan di pesantrenmu?
Agus Wahib: Relatif sih ya, kalau aku sih ngerasa belum melakukan hal yang luar biasa. Mungkin cuma soal pola pengasuhan santri. Sekarang lebih kolektif dan cair kalau dibandingkan dulu yang cenderung sentralistik, yang semua keputusan dari Bapak.
Untuk sekarang ada musyawarah dan kompromi, santri-santri juga jadi punya kebebasan untuk berkreasi dan mengembangkan diri. Santri juga diikutsertakan dalam mengelola pondok. Kayak adanya website pondok dan medsos pondok yang dikelola santri.
Dzul Azmi: Aku sih modelnya santai, Mas. Apa adanya. Jadi sama anak-anak ya biasa aja, meski anak-anak ya tetep aja hormat.
Misal nonton bola, kan aku itu suka bola kan ya, aku pengin nobar. Ya udah nobar. Anak-anak aku ajak nobar bola. Ngajinya aku liburin. Haha. Kadang aku juga ngadain turnamen PES. Di asrama. Ya buat hiburan anak-anak aja.
Anak-anak juga didorong untuk kreatif, seperti membuat konten video di YouTube, aku buatkan sanggar teater, kelas menulis, kelas musik, kelas videografi dan tim futsal. Minat bakat anak-anak aku support pokoknya.
Ada peristiwa lucu karena jadi kiai muda nggak?
Agus Wahib: Mungkin urusannya sama masyarakat sih. Ketika dapat undangan dari luar desa, di surat undangan ada label “K.H.”-nya, tapi begitu sampai lokasi sering nggak dikenal.
Mungkin karena nggak pakai surban atau nggak dikawal oleh santri ndalem (seperti kiai pada umumnya). Padahal aku kan sering datang sendirian. Kadang yang ngundang mikirnya kiai yang datang itu sepuh, berwibawa, bewajah teduh gitu. Makanya kadang juga disuruh duduk di kursi hadirin (di belakang).
Sebaliknya, kalau acara di desa sendiri sering dikelompokkan ke orang-orang sepuh dan tokoh-tokoh desa. Kalau ketahuan duduk di belakang ya sudah pasti “diseret”.
Pernah waktu itu lagi asyik ketemu temen masa kecil di kursi belakang… eh, ternyata ketahuan terus disuruh duduk di depan. Padahal lagi enak-enaknya ngobrol.
Dzul Azmi: Mungkin soal wali santri sih. Jadi ada wali santri mau daftarin anaknya, awal-awal aku ngasuh itu, tanya mau ketemu pengasuhnya.
“Pengasuhnya mana?” nanya ke aku.
“Ya saya ini pengasuhnya.”
Terus wali santri pada kaget, mungkin karena mereka mikir, “Lah kok masih muda?”
Hal apa yang nggak bisa dilakukan ketika jadi kiai kayak sekarang? Dan hal apa yang masih bisa dilakukan?
Agus Wahib: Kalau dari segi kebebasan, mungkin sekarang perlu banyak pertimbangan. Pergi dari rumah lebih dari tiga hari (kecuali pondok libur) aja jadi sulit karena ada tanggungan ngajar ngaji rutinan dengan santri sama masyarakat.
Nongkrong dan bercandaan bebas juga cenderung dikurangi. Kalau dari segi pakaian sih ya tetap sama (kayak sebelum jadi kiai), sewajarnya aja. Nggak ada juga keinginan untuk nunjukkin diri ini kiai.
Soalnya, sampai saat ini, aku nggak anggap aku ini kiai, cuma seseorang yang “terjebak” ke dalam status kiai.
Kalau hal yang bisa aku lakukan ya masih banyak. Status kiai ini tidak aku anggap membelenggu juga sih. Cuma di persoalan jaga sikap dan cara bicara aja. Menjaga muru’ah kiai-kiai lainnya. Ya jaga diri jangan sampai jadi kiai yang “oknum” aja.
Dzul Azmi: Ini kayak nongkrong sama temen-temen di warung-warung gitu. Atau nonton bola, nonton Juventus misalnya kan biasanya dini hari, ya nggak bisa soalnya kan harus ngimami salat subuh terus.
Kalau futsalan masih bisa sih, Mas. Tapi sama temen-temen akrab waktu kecil aja bisanya. Soalnya kalau selain itu, sama guru-guru pondok atau ustaz-ustaz pondok misalnya, ya pasti pada sungkan (jadi nggak seru mainnya).
Pernah merasa “tak pantas jadi kiai” nggak? Gimana tuh cara menghadapinya?
Agus Wahib: Bukan pernah lagi, tapi sampai sekarang masih merasa kayak gitu. Tapi ya mau bagaimana lagi, kan kategori aku ini kiai nashab, jadi kiai karena Bapak seorang kiai.
Hikmahnya ya aku rasa aku jadi lebih cepat dewasa. Terpacu untuk ngaji dan menuntut ilmu lagi. Belajar berkomunikasi di depan umum. Padahal aku aslinya pemalu dan malu-maluin. Bisa sering ketemu orang-orang ‘alim jadi bisa banyak belajar.
Nggak bisa bayangin kalau Bapak masih sugeng sekarang. Mungkin saat ini aku masih suka main-main orangnya. Masih suka ngobrol ngalor-ngidul, kayak gimana caranya maburke manuk doro misalnya.
Dzul Azmi: Sampai sekarang masih merasa nggak pantas jadi kiai sih. Apalagi ketika awal banyak yang meragukan dan nggak yakin bisa ngasuh pondok. Ya lihat modelanku yang dulu lebih sering main-main ya wajar, Mas.
Kalau cara menghadapinya ya pandangan meragukan itu aku jadikan motivasi untuk terus belajar dan membuktikan.
BACA JUGA Mengajar Ngaji dan Santrimu Waria Semua dan rubrik Sungguh-sungguh Liputan (Susul) Mojok lainnya.
[Sassy_Social_Share]