Di Jogja, antrean orang berburu vaksin ada di mana-mana. Sebagian rela antre dini hari demi mendapatkannya. Ini tak lepas mulai dibukanya kebijakan vaksin untuk masyarakat umum dan menjadi syarat untuk bepergian.
***
Sekitar dua minggu yang lalu, saya mengikuti sebuah kegiatan secara offline, selang beberapa hari ternyata beberapa teman dinyatakan positif dan saya harus menjalani karantina mandiri.
Tak berhenti disitu, beberapa hari setelahnya saya mendengar kabar dari teman sesama mahasiswa juga ikut terinfeksi virus ini atau menjadi kontak erat. Kekhawatiran makin menjadi mengingat banyaknya teman yang menjadi anak rantau.
Dana yang mepet untuk sekadar membeli kebutuhan pokok sehari-hari, apalagi harus membeli vitamin, buah-buahan, dan penunjang kekebalan imun lainnya. Belum lagi dana yang dikeluarkan untuk melakukan tes secara mandiri. Hadeh!
Namun ada satu yang patut kita syukuri, dibalik tingginya angka Covid di Indonesia, program vaksinasi massal untuk umum banyak dilakukan di beberapa fasilitas kesehatan atau lokasi- lokasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Masyarakat, termasuk mahasiswa berbondong- bondong mendapatkan jatah vaksin, tak terkecuali para mahasiswa.
Selalu kehabisan kuota, hingga antre pagi buta
Malam minggu di hari pertama PPKM saya habiskan dengan bercengkrama bersama dua teman kuliah melalui Google Meet. Biasanya, saya dapat dengan mudah bertemu mereka berdua di kampus, ngobrol berjam-jam sambil makan ayam geprek langganan, tapi sekarang keadaan mengharuskan adanya batas dari layar laptop masing-masing. Obrolan diawali dengan Giot (21), salah satu mahasiswi rantau dari sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
Jika ditanya asal mana, Giot pasti akan menyebut Kota Medan. Padahal, untuk menuju rumahnya harus menempuh perjalanan darat sekitar 8 jam dari Kota Medan. “Rumahku sebenernya di Kabupaten Humbang Hasundutan, tapi gak banyak yang tahu. Bilang Medan aja biar cepet,” kekeh Giot.
Berhari-hari lamanya Giot mencari informasi vaksin, kehabisan kuota harian lalu besoknya datang lagi dan habis lagi. Melalui pendaftaran online pun juga ia lakoni, sering mendapat informasi pendaftaran melalui link, tapi saat di klik ternyata formulir sudah tutup. “Dapet informasi belum ada 5 menit, tapi udah tutup lagi formulirnya,” ujarnya.
Pernah suatu pagi, dirinya langsung mendatangi lokasi diselenggarakannya vaksin massal di salah satu mall di Kabupaten Sleman. Setelah melewati perjalanan sekitar 2 km membelah Jl. Magelang bersama abang Go-Jek, rupanya mall tersebut sudah ramai diserbu para warga yang juga ingin vaksin. “Pokoknya rame banget! Kayak gak ada harapan, tapi tetep aja aku coba antre sampe siang. Eh, gak dapet,” ucap Giot.
Banyaknya lokasi vaksinasi massal diiringi dengan tingginya minat dari masyarakat membuat kuota vaksinasi tiap harinya cepat terpenuhi dan ludes hanya dalam beberapa jam. Bagi Giot dan orang-orang yang bukan ber-KTP Yogya, merupakan perjuangan tersendiri mendapatkan vaksin karena kuota yang terbatas.
“Kalau gak salah kemarin, kuota untuk KTP non-Jogja sekitar 50 orang,” ucap Giot. Meski sempat kesulitan mencari vaksin, perempuan berambut pendek ini menjadi salah satu orang yang beruntung. Sehari setelah tak mendapat kuota vaksin, keesokan harinya ia kembali lagi bersama abang Go-Jek yang berbeda.
Berangkat lebih pagi sekitar pukul 06.30 WIB, akhirnya ia bisa masuk ke antrian vaksin dan mendapat kuota pada hari itu juga. “Seneng banget! Karena hari itu ternyata hari terakhir vaksin di mall tersebut. Antrinya berjam-jam, suntiknya gak ada 5 menit.”
Berbeda dengan Fanny (22), dirinya yang asli Kabupaten Sleman, sempat sempat kelabakan mencari informasi vaksin yang terus penuh. Ia juga mengalami penolakan sana-sini karena kehabisan kuota. Namun, dirinya dimudahkan karena memiliki KTP Yogya. “Aku dapet, tapi temenku yang luar Yogya ga dapet. Padahal dia yang ngantriin KTP-ku,” ucap Fanny sambil tertawa kecil.
Satu pekan lalu tepatnya hari Jumat (2/6) ia berencana untuk mengantre bersama seorang teman di salah satu rumah sakit. Tetapi ternyata tepat pada hari itu juga dirinya memiliki jadwal ujian, padahal mereka berdua berencana untuk mengantre pagi-pagi buta sekitar jam 03.00 WIB.
“Yasudah, akhirnya temenku berangkat sama temennya yang lain. Aku titip KTP soalnya kebijakan RS-nya boleh bawa dua KTP tiap orang,”
Tapi, keberuntungan hanya berpihak pada Fanny. Setelah ‘diantrekan’ hingga matahari terbit, hanya Fanny lah yang bisa mendapatkan kuota vaksin. “Akhirnya temen aku pulang karena nggak dapet jatah, dan aku vaksin keesokan harinya.”
Demi skripsi, kami rela rebutan vaksin!
“Tapi sebenarnya, aku gak berencana buat ambil vaksin bulan ini,” lanjut Fanny yang dibalas anggukan dari Giot. Ternyata ketika melihat antrian yang sangat ramai, kedua mahasiswi itu sempat mengurungkan niatnya untuk berburu vaksin dalam waktu dekat.
“Lah? Terus kenapa kamu kok vaksin sekarang?”
Cengiran dari Giot berubah menjadi senyum malu-malu. “Alasannya sama kayak kamu,” ujarnya. Gelak tawa langsung keluar dari mulut saya.
Seharusnya, saya dan Giot akan berangkat ke pulau seberang pada pertengahan Juli untuk menyelesaikan perskripsian duniawi.
Tapi apa daya, nasib tak berpihak pada kedua mahasiswi yang ingin disegerakan lulus ini. Berdasarkan Instruksi Mendagri No. 15/2021 tentang PPKM Darurat untuk Daerah Jawa dan Bali, seluruh pelaku perjalanan domestik yang menggunakan kendaraan pribadi ataupun transportasi umum harus menunjukan kartu vaksin minimal dosis pertama.
“Karena ada aturan wajib vaksin saat perjalanan jauh, langsung cari vaksin demi skripsi,” ucap Giot. Kalau dipikir-pikir, memang benar kata orang, drama perskripsian ini ada-ada saja. Menjadi mahasiswa tua tak hanya harus siap pikiran, tapi yang terpenting adalah mental dan kesabaran.
Jika banyak orang berkonflik dengan dosen pembimbing karena sulit ditemui, kami damai- damai saja dengan dosen pembimbing tercinta. Tapi, jelas tidak bisa damai dengan pandemi ini! Yasudah, namanya keadaan harus diterima walaupun keberangkatan pengambilan data kami diundur, sampai waktu yang belum ditentukan. Kami vaksin buat skripsi ya, bukan buat wisata.
Kekhawatiran perihal skripsi di tengah pandemi rupanya juga dirasakan oleh Fanny. Ia tertawa mendengar cerita saya dan Giot. “Ternyata kita bertiga senasib!” celetuknya.
“Covid-nya makin tinggi, langsung buru-buru cari vaksin aja. Soalnya aku juga masih skripsian di laboratorium, riskan,” kata Giot.
“Padahal rencanaku, aku gak ngebet banget pengen vaksin sekarang. Tapi, lama-lama takut juga karena ada varian baru ditambah aku juga harus ngurus skripsian,” tambah Fanny.
Catatan dari Peta Persebaran Varian SARS-CoV-2 yang dapat diakses melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Balitbang Kemenkes) menunjukan sekiranya terdapat enam varian virus Covid-19 yang ditemukan di Indonesia per tanggal 6 juli 2021.
Provinsi yang memiliki paling banyak varian tersebut adalah DKI Jakarta sebanyak lima, sedangkan pada provinsi lainnya rata-rata hanya ditemukan tiga varian virus yaitu Alpha, Beta, dan Delta.
Mereka yang ikut berjasa di balik vaksinasi gratis
Namanya, Muhammad Fawwas Adiasya (21). Saat ini aktif menjadi relawan yang tergabung dalam Duta Perubahan Perilaku Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional Bidang Perubahan Perilaku di Kota Yogyakarta.
Pria yang saya panggil Mas Asya itu menceritakan, banyak masyarakat yang mulai khawatir dengan tingginya tingkat penyebaran covid-19 saat ini. “Warga udah pada tanya cara vaksin gimana dan dimana, pokoknya pengen cepet vaksin,” ujar Mas Asya.
Bagi warga, relawan seperti Mas Asya dan orang-orang yang terjun langsung ke lapanganlah menjadi sumber informasi andalan. Mengedukasi warga terkait dengan pentingnya vaksin hingga mereka secara sadar mencari fasilitas vaksin terdekat. Sayangnya, mencari vaksin tak secepat membeli gula yang selalu tersedia di warung tetangga.
Demi vaksin, mereka harus menunggu sekitar 2-3 hari untuk mendapat panggilan. “Tapi biasanya, saya langsung ngoyak-ngoyak warga yang mau vaksin, tiap ada jadwal ya dateng aja. Siapa tau bisa vaksin dadakan di hari itu juga,” ujar Mas Asya.
Setiap melakukan edukasi, Mas Asya selalu mewanti-wanti masyarakat bahwa vaksin itu penting, walau tak dipungkiri, adanya vaksin belum menjamin terlindung dari virus Covid-19. “Memang bukan 100% menghindarkan, tapi mengurangi efeknya,” ucapnya.
Obrolan yang kami lakukan melalui whatsapp call ini sempat terputus. Entah karena sinyal Mas Asya hilang, atau buruknya koneksi wifi di rumah saya. Beberapa detik setelah terputus, saya mencoba menghubunginya kembali. “Halo mas?”
“Eh-iya, gimana?” suaranya terdengar lagi.
“Hmm kalau pendapat mas tentang adanya konspirasi vaksin ini gimana, mas?” pertanyaan refleks keluar dari mulut saya dibalas tawaan renyah di ujung sana.
“Wah! Saya gak kober mbak, ngurus yang begitu. Gak mau vaksin yaudah, kita prioritasin dulu yang mau. Toh, stok nya juga terbatas harus gentian,” Mas Asya menghela napas. “Kerjaan kami banyak, harus standby 24 jam tanpa kenal jam kerja,” lanjutnya.
Benar, menjadi relawan covid-19 seperti Mas Asya memiliki beban yang sangat berat. Harus siap fisik, batin, hingga mental menghadapi virus yang menyerang siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Tak hanya mengurus perihal vaksin, sudah berbulan-bulan ini dirinya berkutat pada segala hal tentang Covid-19, termasuk mengantarkan para korban Covid hingga ke liang lahat.
Menjadi bagian dari relawan sudah menjadi tanggung jawab yang secara sadar ia emban. “Bagi saya, hidup nggak hanya persoalan hubungan dengan Tuhan. Tapi juga sesama manusia,” ucapnya.
Banyak cerita menginspirasi dari Mas Asya yang ternyata memiliki umur satu tahun lebih muda dari saya. Walau lebih muda tapi kegigihannya jauh berada di atas saya. Saat mengobrol, rupanya relawan yang masih berkuliah tahun ketiga di Universitas Islam Indonesia itu sedang melakukan isolasi mandiri karena terinfeksi Covid- 19.
“Yah, saya biasanya ngurusin covid sekarang kena deh! Kayaknya emang disuruh rehat dulu,” gelak tawa Mas Asya membuat saya tersenyum miris.
Setelah puas mengobrol dengan Mas Asya, saya langsung menghubungi salah satu orang yang sering dicari-cari selama beberapa minggu terakhir, namanya Amelia Putri (19). Dirinya mendapat cap sebagai si penyebar informasi vaksin oleh orang-orang sekitarnya.
‘Channel orang dalam’ yang ia miliki digunakan untuk membantu orang lain. “Emang banyak temen yang kerja di faskes gitu, begitu dia ngasih info ke aku. Ya, aku sampein ke orang- orang juga,” ujarnya.
Kecepatan Amel dalam menyebarkan informasi melalui media sosial memang patut diandalkan. Saya sendiri pernah mencobanya. Ketika hari pertama kami saling menyimpan kontak satu sama lain, satu status whatsapp muncul. Rupanya poster tentang diadakannya vaksin gratis pada salah satu lokasi di Yogyakarta. Tanpa pikir panjang, saya ikut menscreenshot status tersebut, lalu mengunggahnya di akun whatsapp. Benar saja, beberapa chat masuk dari teman yang intinya begini:
“Wih! Makasih banget, akhirnya dapet kuota pendaftaran vaksin!”
Rupanya, informasi tersebut benar-benar baru dan belum tersebar secara luas sehingga kuota pendaftaran masih tersedia. Baru setelah beberapa jam, beberapa akun instagram mengunggah poster yang sama seperti milik Amel, padahal jika sudah sampai ke instagram, saya yakin seribu persen kuota langsung habis dalam hitungan menit. “Pantes aja, kamu sering dicari orang ya? Cepet banget informasinya!” Amel tertawa mendengar ucapan saya.
Amel mengaku, dirinya secara sukarela membantu orang lain untuk mendapatkan informasi vaksin. Tidak di bawah komunitas atau lembaga manapun, melainkan sukarela secara pribadi. Ia malah senang jika ada orang lain yang ikut membantu dan bertukar informasi dengan dirinya.
Kegiatan ini ia lakoni kurang lebih dari tiga hingga empat minggu yang lalu, saat angka Covid-19 sedang naik-naiknya dan banyak orang berbondong-bondong mencari vaksin. “Kebetulan sih, ketika pemerintah membuka vaksin untuk umum, eh malah angka covid emang lagi naik jadi banyak orang yang cari. Kalau sebelumnya kan prioritas lebih ke lansia,” ujarnya.
Perempuan asal Yogyakarta ini mengaku, pernah didatangi oleh tetangganya ke rumah dan menunggu Amel hingga mendapat informasi vaksin lagi. Ia menceritakan, awalnya tetangganya tersebut tidak terlalu tertarik dengan program vaksinasi, namun setelah pemerintah mengatakan kartu vaksin menjadi syarat perjalanan jauh, si tetangga langsung gelagapan karena banyak fasilitas vaksin yang sudah terpenuhi kuotanya.
“Pokoknya seharian itu saya ditungguin sampe nemu infonya, kalau gak salah dari pagi apa ya?” ucap Amel sambil tertawa lagi. Perempuan satu ini memang benar- benar memiliki hobi tertawa.
Jangan jadi abai karena ada vaksin
Data vaksinasi yang ditampilkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) per tanggal 9 Juli 2021 pukul 12.00 WIB, menunjukkan di Provinsi DIY jumlah penerima vaksin pertama sebanyak 869,246 sedangkan penerima vaksin kedua sebanyak 399,847. Jika melihat data tiap kota/kabupaten, wilayah yang memiliki jumlah penerima vaksin pertama dan kedua terbanyak yaitu Kabupaten Sleman dengan persentase 38,10 % dan 20,12 % dari target provinsi.
Jumlah penerima vaksin yang masih akan terus bertambah setiap harinya ini menjadi sebuah angin segar bagi beberapa orang, salah satunya Asiska Danim Indranata (29). Ia seorang psikolog yang setiap harinya melakukan praktik di Puskesmas Prambanan. Secara pribadi, Siska memang merasa sedikit aman dan terlindungi dengan adanya vaksinasi. “Tapi, merasa aman itu kadang gak tepat ya? Malah bikin abai, jadi mungkin lebih tepatnya ya…aman tapi tetap waspada,” ujarnya di awal pembicaraan kami.
Dipandang dari kacamata psikologi, kehadiran vaksin ini belum bisa dikatakan berdampak secara signifikan terhadap masyarakat. “Kalau signifikannya kita bicara pada data ya. Cuma, untuk data atau penelitian tentang itu saya belum menemukan,” ucap Siska.
Namun, Siska menambahkan setidaknya kehadiran vaksin dapat memberikan sebuah harapan bagi masyarakat. Dengan adanya harapan mampu memberi potensi untuk mengurangi rasa takut, kekhawatiran, dan kecemasan yang berlebih.
BACA JUGA Sempak Terbalik, Wangsit Nyi Mblenduk dan Statistik di Judi Bola dan liputan menarik lainnya di Mojok.