Traffic Jam sah menjadi duta galau bagi anak muda Kota Solo. Mini album Lika-Liku (2025) menjadi semacam anthem untuk mengantar para pendengarnya menghayati pesan kesedihan, tapi sambil berdansa riang.
***
Entah angin apa yang bertiup di Klaten pada Senin (2/5/2025) kemarin. Tiba-tiba di pertengahan perjalanan Jogja-Solo, saya ngide memutar lagu-lagu Traffic Jam di mobil.
Kalau boleh jujur, sebelumnya saya belum pernah mendengarkan karya band beranggotakan lima anak muda Solo ini. Namun, karena mendapat mandat menjadi LO mereka untuk suatu acara, saya merasa kudu “melakukan riset”.
Konon, Traffic Jam sedang naik daun. Dalam beberapa bulan terakhir, panggung mereka tak ada habisnya. Mulai dari panggung gigs di coffee shop, acara pensi anak sekolah, sampai panggung besar sekaliber Hardcore Romance Tour-nya Pamungkas dan konser tunggal di Lokananta.

Nggak cuma naik daun, beberapa kawan di Solo juga menyebut kalau Traffic Jam digandrungi anak muda. Lebih spesifik lagi, Gen Z. Istilah kerennya: mereka menjadi duta galau bagi anak muda di Solo.
Sebelumnya, saya tahunya Senja Dalam Prosa, band indie-rock-sastra yang lagu-lagunya menjadi anthem patah hati anak muda Solo. Makanya, ketika ada duta lain bernama Traffic Jam, saya pun tertarik buat membuktikan segalau apa karya mereka.
Mini album yang bercerita banyak
Saya memutuskan memutar EP Lika-Liku yang baru saja dirilis empat bulan lalu, pada Februari 2025. Cover mini album ini memampang potret lima personelnya: Anisa dan Bintang (vokal), Ernest (gitar), Rovega (keyboard), dan Billy (bass), dengan latar penuh warna. Terlihat cheerful!
Pertanyaan pertama yang terlintas di benak saya: “di mana letak galaunya?”

Track pertama berjudul “Paparapapaya”. Ia menjadi semacam intro pembuka cerita. Saya tak benar-benar tahu apa arti kata “Pa para pa pa ya” yang terdengar seperti mantra untuk membuka ritual.
Yang jelas, mantra ini dirapalkan dengan penuh kesenangan. Jauh dari kesan galau sebagaimana diceritakan kawan-kawan saya. Ditambah paduan musik R&B malah menambah warna cerah dari lagu ini.
Lagu kedua, “Semestaku”, nuansanya juga tak berbeda jauh. Ia bercerita tentang orang paling berharga, yang mereka sebut “semesta”, lengkap dengan pujian-pujian ala anak muda yang tengah jatuh cinta.
“Nggak ada galau-galaunya,” pikirnya, masih membayangkan di mana letak sedihnya.
View this post on Instagram
Sialnya, memasuki lagu ketiga, keempat, dan kelima, secara berturut-turut, pendengar benar-benar diajak meresapi kegalauan. Nomor “Tak Lagi Sama”, memberitahu saya seperti apa rasanya cinta sebelah tangan.
Track empat, “Benar Milikku?” memberitahu saya seperti apa rasanya menjalin hubungan, tapi rasanya tak saling memiliki. Belum sempat ambil napas, track “Usai” terputar. Ia menjadi semacam pelengkap kesedihan. Setelah kamu ragu dengan hubunganmu, akhirnya hubungan itu benar-benar usai.
“Damn! Ini sih banyak yang relate!”
Mini album ini kemudian ditutup dengan “Untuk Apa?”. Mengulang mantra pa para pa pa paya, lagu ini menjadi semacam refleksi bagi naik turunnya kehidupan.
Traffic Jam menyanyikan kegalauan dengan penuh kegembiraan
Ada yang unik dengan EP Lika-Liku Traffic Jam. Lirik sih boleh galau, tapi musikalitas yang mereka bawakan tetap penuh keceriaan. Dari track awal sampai akhir, jika lirik dihilangkan kemudian yang tersisa hanya iringan instrumental saja, ia cocok menjadi anthem dansa anak-anak muda.
Namun, lirik-lirik kemudian mengubah segalanya. Seolah, pendengar diajak buat berdansa riang, tapi sambil menghayati petikan-petikan syair penuh kegalauan.
Anisa, sang vokalis yang paling banyak terlibat dalam penulisan lirik, menyebut ada pengalaman pribadi dalam lagu yang Traffic Jam bikin. Cinta tak berbalas, merasa ragu dengan hubungan, sampai akhirnya terpaksa mengakhiri hubungan, adalah isu yang sering dialami anak muda.
“Aku pikir, hampir semua anak muda mengalami fase itu. Galau karena cinta bertepuk sebelah tangan, merasa ragu dengan pacar, sampai akhirnya putus dan mempertanyakan pilihan. Yang pernah muda pasti pernah merasakan,” ujarnya, yang Mojok temui di akhir show mereka yang digelar di Taman Balekambang, Solo, Selasa (3/5/2025).
Sementara Bintang, gitaris akustik yang juga berperan sebagai vokal, mengaku bahwa untuk meluapkan kegalauan, tak melulu harus dengan nada penuh kesedihan. Musikalitas Traffic Jam, yang amat cheerful, baginya bisa menjadi contoh bahwa “pesan galau” tetap bisa sampai dengan cara yang menyenangkan.
View this post on Instagram
“Kami bermain dengan musik kami, dengan gaya kami. Dan pesannya tetap sampai ke pendengar,” ungkapnya.
Siap menebar pesan lain ke anak muda
Sebelum merilis EP Lika-Liku, Traffic Jam sudah hadir dengan beberapa single. Ada “Tell a Story”, lagu berbahasa Inggris yang mereka rilis tak lama setelah band terbentuk pada 2020. Kemudian “Terpaku Dalam Bayang” pada 2021.
Traffic Jam sempat vakum, tak merilis karya baru lagi, terutama karena pandemi Covid-19. Awal 2025 ini, mereka menggebrak dengan mini album yang melanjutkan kegalauan dari dua single awal mereka.
“Warna musik kami sejak awal tidak berganti. Makna lagu-lagu yang kami bawakan pun juga demikian,” kata Bintang.
Terdekat, mereka bakal merilis single baru, berkolaborasi dengan musisi Solo lain yang lekat dengan karya-karya penuh kegalauan, Man Osman. Untuk tanggal pastinya, masih mereka rahasiakan.
“Dalam kolaborasi, kami akan tetap mempertahankan warna musik Traffic Jam, namun berusaha menggabungkan dengan warna musisi lain agar menghasilkan sesuatu yang baru,” kata bintang.
Karya-karya Traffic Jam sendiri sudah bisa dinikmati di berbagai platform digital.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kafe Bukuku Lawas: Surganya Para Pecinta Kopi dan Buku Klasik di Solo atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.