Kematian misterius terjadi pada satu keluarga di sebuah desa di Rembang, Jawa Tengah. Di kalangan masyarakat setempat, tidak sedikit yang mengendus pola ganjil di balik kematian satu keluarga tersebut.
Kepada Mojok, seorang saksi hidup bercerita perihal dugaannya mengenai “sesuatu” di balik kematian satu keluarga itu.
***
Rumah kosong itu berada di daerah genengan (tanah yang agak tinggi) di bagian timur Desa M, Rembang, Jawa Tengah. Ada perkebunan dengan rumput dan pepohonan rimbun di bagian belakang rumah tersebut. Begitu juga pada sepetak tanah yang berada di lereng atasnya.
Hanya ada satu rumah lain yang berjarak tak terlalu jauh dari rumah kosong itu. Yakni rumah Mbah Lasiman*, tetangga yang sekaligus merupakan kakak sambung dari mendiang si pemilik rumah.
Mbah Lasiman yang usianya sekitar 60-an ini lah orang yang paling kredibel untuk bercerita tentang kengerian di balik kematian misterius satu keluarga pemilik rumah tersebut.
Suara rintihan yang terdengar mengiris hati
Seturut Mbah Lasiman, ada beberapa orang desa yang mengaku bahwa, di malam hari, selalu terdengar suara rintihan perempuan dari dalam rumah tersebut. Rintihan yang terdengar sangat mengiris hati karena seolah menyiratkan kepedihan yang teramat sangat.
“Ada juga yang mengaku sering melihat seekor ular hijau yang keluar-masuk rumah. Mbuh (entah) ular penampakan atau ular dari perkebunan belakang,” ujar Mbah Lasiman memulai ceritanya saat saya temui belum lama ini.
Kata Mbah Lasiman, sudah menjadi asumsi umum bahwa di malam hari rumah kosong itu memang seolah mengeluarkan aura yang kelam dan mengerikan.
Meskipun pintu rumah itu selalu terbuka dan lampu-lampunya selalu menyala, tapi kesan ngeri tetap saja menyeruak. Barangkali karena residu dari apa yang pernah terjadi pada satu keluarga mendiang si pemilik rumah.
“Yang jelas, ular hijau memang ada hubungannya dengan kematian terakhir dari keluarga ini. Nanti saya ceritakan. Kita urutkan dulu kejadiannya (kronologinya),” tutur Mbah Lasiman.
Awalnya adalah keluarga kecil yang harmonis di Rembang
Mengenai apa yang pernah terjadi pada satu keluarga pemilik rumah itu, sebenarnya sudah sering Mbah Lasiman beberkan pada banyak orang di Desa M, Rembang. Sebab, ia lah saksi hidup sekaligus orang yang bersinggungan langsung dengan keluarga pemilik rumah itu.
Menurut Mbah Lasiman, rumah itu dulu yang menempati adalah Sutinah* dan suaminya, Atmuji*, serta dua anak laki-lakinya, Nur Rohman* dan Saifudin*.
Keluarga kecil itu semula tampak harmonis. Mereka terlihat hidup ayem meski bukan dari kalangan berada. Sehari-hari, Atmuji bekerja sebagai buruh serabutan. Sementara Sutinah jualan sembako di pasar.
Namun, ketika kedua anak mereka sudah menginjak usia SMP, situasi tiba-tiba berubah secara drastis. Suara bentakan, tangisan, adu mulut, suara gebrakan pintu/meja, malah makin sering terdengar dari rumah Sutinah.
“Waktu itu saya tidak tahu-menahu, sebenarnya ada masalah apa dengan keluarga Sutinah. Walaupun Sutinah ini masih keluarga saya, tapi urusan rumah tangga kan saya tidak boleh ikut campur, enggak pantes. Beda lagi kalau memang saya dilibatkan,” kata Mbah Lasiman menggambarkan situasi yang terjadi pada keluarga Sutinah saat itu.
Kematian demi kematian di tahun-tahun berikutnya
Meski berstatus sebagai kakak sambung Sutinah, tapi Mbah Lasiman memang menahan diri untuk tidak masuk terlalu jauh dalam urusan rumah tangga mereka. Hingga suatu hari, Atmuji menghilang dari rumah tersebut.
Mbah Lasiman dan beberapa orang desa yang tahu soal ketidakharmonisan rumah tangga Sutinah sempat iseng-iseng bertanya, “Ke mana Atmuji, kok sudah berhari-hari tak kelihatan di rumah?”. Dengan ketus Sutinah selalu menjawab, “Minggat!”. Hanya itu jawaban Sutinah. Tak pernah ada keterangan yang lain,
Lalu di tahun-tahun setelah “minggat”-nya Atmuji, kejadian demi kejadian nahas mulai menimpa Sutinah dan dua anaknya. Secara bergiliran, Sutinah dan dua anaknya mati dalam proses yang sama-sama misterius.
Baca halaman selanjutnya…