Tidak semua orang bisa punya cara mewah untuk menghadapi hari yang buruk. Mungkin, sebagian orang bisa menenangkan diri dengan secangkir kopi mahal, liburan singkat, atau sekadar rebahan sambil menonton film favorit. Namun, bagi banyak perantau, terutama mereka yang bekerja di pabrik-pabrik, tak ada kemewahan semacam itu.
Sebab, di perantauan hidup tak pernah benar-benar mudah. Gaji seringkali hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk hidup dengan layak. Upah bulanan datang dan pergi, serta habis di minggu kedua. Untuk bayar kos, listrik, makan, dan kiriman ke orang tua.
Sementara tekanan datang dari segala arah. Atasan yang selalu menuntut, target kerja yang tak pernah berkurang, dan hingga teman toksik yang ada di mana-mana.
Namun, di antara kebisingan mesin, tumpukan barang, hingga bentakan bos yang tak kenal belas kasihan, banyak perantau–terutama pekerja pabrik–menemukan satu ruang rahasia yang memberi mereka jeda: toilet pabrik.
Di tempat sempit itulah, banyak hal terjadi. Mulai dari doa, ocehan, hingga air mata yang jatuh diam-diam, pelan, tanpa saksi.
Lima menit yang menenangkan bagi perantau
Ana (23) datang ke Semarang empat tahun lalu setelah lulus SMA di Purbalingga. Ia bekerja di sebuah pabrik garmen yang memproduksi pakaian untuk merek luar negeri.
Setiap hari, sejak pukul tujuh pagi hingga pukul lima sore, Ana duduk di depan mesin jahit. Hidupnya diatur oleh peluit atasan, jam kerja, dan hitungan target: 200 potongan kain per jam.
Ana bukan tipe orang yang suka bercerita. Ia lebih mudah berbicara lewat media sosial daripada berbicara langsung dengan orang-orang. Di dunia nyata, ia merasa kekurangan teman. Bukan karena tak ada yang mau, tapi karena ia selalu merasa tak cukup menarik untuk didengarkan.
Hubungan dengan orang tua pun biasa saja. Malah bisa dibilang dingin, formal, dan cuma membicarakan soal kebutuhan. Ia tinggal di kos kecil bersama adiknya yang kuliah di salah satu universitas negeri di Semarang. Keduanya jarang berbicara, kecuali saat ortu menelpon adiknya untuk menanyakan kuliahnya.
“Kalau lagi nggak kuat sama hidup, aku biasanya izin ke belakang,” kata perantau ini saat bercerita kepada Mojok, Selasa (4/11/2025). “Bukan buat buang air. Kadang cuma duduk, ngelamun. Kadang nangis.”
WC itu tak lebih besar dari bilik berukuran dua langkah kaki. Kata Ana, dindingnya lembap, bau karbol menyengat, dan lampunya redup. Namun, di situlah Ana menemukan ruang yang tak bisa ia temukan di mana pun: ruang untuk diam.
“Aku kadang nyalain flush biar nggak kedengeran kalau nangis,” imbuhnya.
Tangisnya jarang lama, mungkin cuma lima menit. Namun, lima menit itu cukup untuk membuat dadanya lega. Setelahnya, ia akan membasuh wajah dengan air, menarik napas panjang, lalu kembali duduk di depan mesin jahit. Dunia terus berjalan seolah tak terjadi apa-apa.
Menangis di WC pabrik bikin para perantau “tetap waras”
Di pabrik, menangis adalah hal yang tak punya tempat. Semua orang harus terlihat kuat, cepat, dan tangguh. Tapi di balik deru mesin, ada banyak tubuh yang lelah, hati yang retak, dan pikiran yang tak sempat beristirahat.
Makanya, bagi perantau seperti Ana, WC menjadi tempat berlindung dari dunia yang selalu menuntut produktivitas tanpa pernah memberi kesempatan bernapas. Sebab, sekali saja wajah terlihat murung, atasan bisa menegur dengan nada curiga. Sekali saja gerakan melambat, dianggap menurunkan tempo kerja tim.
“Di kos, aku nggak mungkin nangis karena ada adikku. Sementara kalau aku nangis sambil motoran, dikira orang gila. Makanya WC di pabrik itu tempat terbaikku,” ungkapnya.
Tubuhnya memang cuma terlihat duduk seharian, tapi pikirannya terus berlari. Ia harus mengingat ritme mesin, mengatur potongan kain, menahan kantuk, mengabaikan rasa nyeri di punggung, dan memastikan tidak salah jahit.
“Tak ada waktu untuk lelah, apalagi sedih,” ujarnya.
Oleh karena itu, bagi Ana, tangisan di WC itu bukan kelemahan, tetapi cara sederhana untuk menjaga agar dirinya tetap waras.
Setidaknya satu dari empat pekerja pernah menangis di toilet
Bagi sebagian orang, WC hanyalah tempat buang air. Tapi bagi sebagian pekerja, terlebih lagi perantau, WC adalah satu-satunya ruang pribadi yang tersisa di dunia yang padat. Toilet pabrik memang tidak pernah dibikin untuk karyawan menangis, tapi di sanalah manusia bisa sejenak menutup pintu dan mengunci diri dari dunia luar.
Bahkan, menurut survei daring dari MyNavi, hampir satu dari empat pekerja di Jepang pernah bersembunyi di bilik toilet untuk sekadar menangis dan melepaskan emosi. Alasan mereka menangis diam-diam beragam, mulai dari tekanan pekerjaan hingga sulit berhadapan dengan atasan yang keras.
Bagi warga Twitter sendiri, menangis di toilet kantor memang dianggap menjadi mekanisme menumpahkan emosi dalam sunyi. Di kanal curhat pekerja seperti @workfess, misalnya, ada yang menulis “Nangis di toilet kantor is another level of pain”.
“Karyawan tidak bercerita, tapi diam-diam nangis di toilet kantor,” tulis salah satu akun, yang diamini oleh netizen lain.
Dalam bahasa psikologi, menangis adalah mekanisme alami tubuh untuk melepaskan hormon stres, seperti kortisol. Sialnya, di sistem kerja modern, menangis sering dianggap tanda kelemahan, sesuatu yang harus disembunyikan. Maka, WC menjadi tempat orang bisa menangis tanpa dianggap tidak profesional.
Nangis di toilet kantor is another level of pain:”””) Work! pic.twitter.com/SMc1XYPFUw
— WORK (@worksfess) June 23, 2022
Memutar lagu di WC tempat kerja bisa menenangkan batin
Cerita lain datang dari Rere (27), seorang pekerja pabrik elektronik di Batam. Sudah enam tahun ia merantau dari Padang. Berbeda dengan Ana, Rere “terlihat” lebih ceria. Ia sering jadi penghibur di antara rekan kerja. Namun, teman-teman dekatnya tahu, setiap hari, di jam kerja, ada saatnya Rere pasti menghilang sebentar.
“Kalau di jam-jam sore gitu, aku pasti ngilang sebentar. Teman-temanku sudah hafal,” katanya.
Rere biasanya akan membawa ponselnya, menyelinap diam-diam ke bilik pojok, memasang headset, lalu menekan tombol play. Lagu yang selalu ia dengarkan biasanya “Manusia Kuat” milik Tulus.
“Aku nggak tahu kenapa, tapi tiap denger lagu itu, kayak semua rasa campur jadi satu,” kata Rere. “Sedih, capek, rindu rumah.”
Lagu itu menjadi semacam ritual kecil. Selama tiga menit dua puluh enam, ia akan menunduk, memejamkan mata, dan membiarkan air mata turun tanpa suara. Kadang ia menyandarkan kepala ke dinding dingin WC, mencoba menenangkan napasnya di antara lirik-lirik lembut.
Secara detail, Rere tak berkenan membagikan keluh kesah dan masalah yang ia alami. Namun, ia menyebut, “lelahnya hari bisa diatasi dengan bengong dan mendengarkan lagu di toilet tempat kerja.”
Begitu lagu selesai, ia segera membasuh muka dengan air keran. Membetulkan kerudung, menatap pantulan wajahnya di cermin buram, lalu menarik napas panjang. Semua itu berlangsung kurang dari lima menit.
“Kalau udah denger lagu itu, terus nangis, rasanya kayak ngereset diri,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Aturan di pabriknya memang cukup ketat, yakni tidak boleh main HP saat jam kerja. Oleh karena itu, bagi perantau ini, mendengarkan lagu sambil menangis di WC pabrik menjadi detoks bagi hari-harinya yang melelahkan.
***
Bagi sebagian orang, menangis di WC tempat kerja mungkin terdengar lucu, bahkan aneh. Namun, bagi para perantau seperti Ana dan Rere, bilik sempit itu adalah saksi hidup mereka di perantauan.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Suara Ibu di Telepon Selalu bikin Tenang usai Hadapi Hal-hal Buruk dan Menyakitkan di Perantauan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












