Berbisnis kos di Jogja, konon, menjadi sesuatu yang menjanjikan. Ibarat kata, “cukup ongkang-ongkang uang bakal terus mengalir”. Bagaimana tidak, sebagai kota pelajar, tiap tahun Jogja kedatangan ratusan ribu mahasiswa dari berbagai kampus.
Artinya, kebutuhan akan kos selalu ada. Dengan demikian, bisa diasumsikan bisnis ini tidak akan pernah mati karena bakal selalu ada yang mencari.
Sayangnya, berbisnis kos tak seindah dugaan netizen. Pada kenyataannya banyak masalah kerap dialami para pemilik kos. Tingkat stresnya pun tak jarang melebihi para penguni yang selama ini digambarkan sebagai orang-orang penuh penderitaan.
Misalnya, baru-baru ini Mojok mewawancarai Alim (25), pemilik kos yang menjadi narasumber liputan “Anak Kos Hoarding Disorder Paling Bikin Pengelola Kos Jogja Stres, Kamar Rusak, Sampahnya 30 Kantong sampai Bau Busuk”.
Alim bercerita, betapa shock dia saat menjumpai kamar salah satu penghuni kos penuh dengan tumpukan sampah. Ada plastik berserakan, bekas bungkus makanan di mana-mana, hingga botol-botol berisi air kencing. Kepada Mojok, Alim pun menduga kalau bekas penghuninya mengalami gangguan hoarding disorder.
Sialnya, itu cuma fenomena gunung es. Selain masalah penghuni yang punya kelainan “menimbun barang sisa” itu, ada masalah lain yang selama ini menjadi momok bagi para pemilik kos di Jogja.
#1 Bekas tempat bunuh diri, bertahun-tahun nggak laku sampai bikin rugi
Pengalaman tak mengenakan pertama pernah dialami Fidelia (28). Pengelola kos di Jogja yang diperuntukkan bagi mahasiswi ini harus gigit jari karena bertahun-tahun kosnya nggak laku.
Penyebabnya satu: karena bekas penghuninya pernah ada yang bunuh diri.
“Sekitar 2017 lalu. Mahasiswa perempuan dari kampus swasta. Kami nggak tahu soal penyebab bunuh diri, Mas, karena perkara sepenuhnya dah dilimpahkan ke keluarga,” jelasnya, saat dihubungi Mojok, Selasa (16/7/2024) malam.
Jelas, Fidelia bersedih karena ada penghuninya yang meninggal di kos. Namun, ia juga kesal karena akibat kejadian itu, kosnya jadi dijauhi.
Fidelia menjelaskan, ada 16 kamar di kosnya. Pada 2017, semua penuh. Akan tetapi, sejak ada yang bunuh diri, satu per satu penghuninya pergi. Hingga akhirnya beberapa tahun ke depan nyaris tak ada yang berani ngekos di tempatnya. Dari desas desus yang beredar, kosnya menjadi angker.
“Pandemi itu parah sih. Sama sekali nggak ada yang sewa. 2022 pas kos lain sudah mulai penuh, tempat saya kosong, Mas,” keluh pemilik kos di Jogja ini.
“Maksudku, kejadiannya kan sudah 2017. Beberapa kamar sudah renov juga. Tapi gara-gara desas desus entah siapa yang nyebarin, kosku jadi nggak laku.”
Hingga saat ini, dari 16 kamar yang ia sewakan, baru 6 yang terisi. Meski gosip miring tadi mulai mereda, tetap saja itu sangat berpengaruh pada penghasilannya.
#2 Kumpul kebo jadi tanggung jawab pemilik kos di Jogja
Pada Minggu (9/6/2024) lalu, Mojok juga berbincang dengan Sarwendah* (41), pemilik kos pasutri yang berlokasi di Maguwoharjo, Sleman, Jogja.
Selain menceritakan keuntungan bisnis kos pasutri ketimbang kos mahasiswa pada umumnya, perempuan ini juga tak menyangkal kalau ada beberapa masalah yang kerap terjadi.
Paling sering, kata pemilik kos di Jogja ini, adalah pasangan yang mengakali identitas. Meski sudah melakukan cross-check, Sarwendah mengaku pernah kecolongan.
“Ngakunya sudah pasutri, ternyata belum. Entah gimana mereka bikin identitas palsunya,” ungkapnya. “Ketahuan gara-gara banyak yang bersaksi mereka berdua ini masih mahasiswa. Pas saya sidang, memang belum nikah.”
Sarwendah mengaku tak membawa perkara tersebut ke meja hukum. Namun, mau tak mau memang ia kudu mengusirnya.
Dan, yang di luar dugaan dia, akibat kejadian ini kos yang dikelola Sarwendah jadi kena cap negatif. Karena hidup di lingkungan yang menurutnya “agamis”, kejadian itu bikin kosnya dilabeli “LV”, “tempat kumpul kebo”, “tempat maksiat”, dan sejenisnya.
“Meskipun nggak terlalu berpengaruh ke penghasilan, tapi jujur cap negatif kayak begitu bikin sakit hati, Mas. Padahal kan itu bukan sepenuhnya salah saya sebagai pemilik kos.”
#3 Tak bisa sembarangan turunkan atau naikan harga. Bisa disemprit satu kelurahan
Sarwendah sendiri memiliki empat saudara yang semuanya berbisnis kos di Jogja. Dua anak paling bontot, termasuk dirinya, “kejatah” lahan kos di Maguwoharjo. Sementara kakak-kakaknya tersebar di kawasan Condongcatur.
Hanya dirinya yang menyewakan kosnya buat pasangan suami istri alias pasutri. Pertimbangannya selain daerahnya didominasi perantau non-mahasiswa, perawatan kos pasutri jauh lebih mudah.
Mengingat keluarga besarnya berbisnis kos, Sarwendah jadi tahu betul kalau para pengelola tak bisa seenaknya menurunkan atau menaikan harga.
“Salah-salah bisa digeruduk kita, Mas. Sembarangan ngasih harga, disemprit satu kelurahan,” kata dia.
Sarwendah menjelaskan, para pemilik kos di sebuah kawasan umumnya sudah punya kesepakatan soal harga. Harga-harga ini umumnya ditentukan berdasarkan luas dan tipenya, apakah khusus putra/putri, pasutri, atau campur.
“Misalnya begini, Mas, daerah A kelas kos 3×3 buat mahasiswa itu disepakati range 500-600 ribu. Kami nggak peduli pengelola ngasih fasilitas tambahan apa enggak. Yang jelas harganya nggak boleh kurang atau lebih dari itu,” jelasnya. “Kalau kita ngasih kemurahan atau kemahalan, bisa ngerusak pasar.”
Sebenarnya, hal ini bagi Sarwendah amat menyulitkan. Sebab, beda penyewa, beda juga perlakuan mereka pada kos yang disewa. Dan, sudah jelas, ini berpengaruh pada maintenance.
“Kakakku pernah mengeluh, kelakuan cewek-cewek di kosnya yang dulu-dulu bikin rusak WC, jadinya mampet. Karena salurannya dibikin paten ya harus rombak banyak buat perbaikan. Itu perawatan habisnya hampir 8 juta lho, tapi dia belum bisa naikin harga meski udah rugi banyak,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA Derita Tertipu Kos Campur Bebas Berkedok Kos Pria Muslim di Jogja, 5 Tahun Kerap Dengar Tangis dan Rintih Saat Malam
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News