Tidak ada kecurigaan saat seorang Chief Marketing Officer (CMO) sebuah startup di Jakarta memberi tawaran kerja. Sampai akhirnya, gaji tak kunjung turun hingga empat tahun kemudian.
***
Fanisa (bukan nama sebenarnya), semula adalah seorang freelancer desainer grafis. Singkat cerita, suatu kali di tahun 2021, dia “dipertemukan” dengan seorang CMO startup asal Jakarta.
CMO itu menawari Fanisa proyek freelance. Karena angkanya cocok untuk ukuran freelance, Fanisa ambil tanpa pikir panjang.
“Proyek pertama itu berjalan lancar, sistem kontrak dan gaji aman. Dia (si CMO) bikin aku percaya sama dia. Chemistry mulai kebangun di kerjaan,” ungkap perempuan asal Bandung tersebut, Jumat (7/2/2025) lalu.
Kerja ekstra di startup Jakarta, tapi gaji nggak ada
Proyek pertama tersebut ternyata bukan dari startup milik CMO yang Fanisa maksud. Baru setelah proyek itu lancar, karena merasa cocok dengan kinerja Fanisa, CMO itu menawari Fanisa join kerja di startup Jakarta milik si CMO. Sebuah startup yang bergerak di bidang pengembangan diri/bootcamp.
“Sebulan aku jalanin, ternyata tekanannya cukup ekstra. Sering kali kerja di luar jam kerja. Meeting sampai jam 1 malam. Aku memutuskan untuk berhenti dan ternyata aku nggak digaji di bulan pertama,” ucap Fanisa.
Tak butuh waktu lama setelah Fanisa berhenti, CMO startup Jakarta itu kembali “mendatangi” Fanisa. Kembali menawarinya proyek freelance dengan posisi sebagai desainer grafis.
Menimbang pengalaman buruk sebelumnya, Fanisa tentu saja tak langsung mengiyakan. Akan tetapi, karena kali itu negosiasi salary-nya jelas, Fanisa menerima tawaran si CMO lagi.
Gaji dirapel 2 bulan
Proses negosiasi salary itu memang berlangsung meyakinkan. Membuat Fanisa agak terperdaya, sehingga terlanjur menaruh percaya pada CMO startup Jakarta tersebut.
“Sistem payment-nya dua bulan sekali, kliennya product nugget. Kontraknya empat bulan,” terang Fanisa.
Rinciannya, salary per satu bulan yang Fanisa terima adalah Rp1,5 juta. Karena cair dua bulan sekali, maka per dua bulan dia menerima Rp3 juta.
Sialnya, dan ini yang menjadi pelajaran bagi Fanisa, saat proses negosiasi sebelumnya Fanisa luput meminta surat kontrak. Alhasil, Fanisa menjadi korban tidak bertanggungjawabnya startup tersebut terhadap pekerja.
“Dua bulan pertama, aku dibayar penuh. Dua bulan berikutnya, pembayaranku di-hold sama si CMO startup Jakarta ini, dengan alasan katanya si klien belum payment dan dia lagi push klien buat bayar,” jelas Fanisa.
“Lalu aku sampaikan itu sama temenku yang satu proyek. Ternyata mereka tetap dapat salary. Aku tanya timku yang lain, ternyata sama, mereka semua dibayar. Cuma aku yang nggak,” sambungnya.
CMO startup Jakarta tak kasih gaji hingga 3 tahun kemudian
Si CMO sebenarnya menjanjikan akan membayar Fanisa di bulan depan. Setelah ditunggu, nyatanya tak kunjung dibayar juga.
“Aku terus follow-up dia. Awal-awal dia bales minta maaf dengan alasan berbeda-beda. Dia bilang klien belum bayar lah, uang lagi diputer dulu ke proyek lain lah,” gerutu Fanisa.
“Sampai akhirnya dia sama sekali nggak bales chat aku hingga hari ini,” imbuhnya. “Padahal aku cuma mau hak atas kerjaku dibayar.”
Karena tak kunjung ada kejelasan, Fanisa memutuskan berhenti berhubungan dengan startup Jakarta itu. Toh syukurnya, pada 2022 dia mendapat kerjaan fulltime yang lebih baik. Pekerjaan yang dia jalani hingga sekarang.
Empat tahun berlalu begitu saja. Dan si CMO sama sekali tidak menunjukkan iktikad bakal membayar hak atas apa yang telah Fanisa kerjakan. Alhasil, pada 2024 lalu, Fanisa sempat iseng menghubungi istri si CMO.
Tentu sayang juga jika mengikhlaskan uang hasil kerja keras tidak dibayarkan dengan semestinya. Maka, Fanisa meminta si istri CMO agar suaminya itu bertanggungjawab: menuntaskan pembayaran salary Fanisa.
“Istrinya cuma satu kali balas, minta maaf, dan bilang sudah follow up ke suaminya,” kata Fanisa. Tapi ya tidak ada yang berubah. Gaji Fanisa tetap tak dibayarkan.
Sebuah plot twist
“Ada plot twist-nya, sih. Setelah proyek yang melibatkan aku, ternyata temanku diajak lagi si CMO di proyek lain. Kalau sebelumnya temenku ini dibayar, di proyek setelahnya nggak dibayar,” beber Fanisa.
Pola proyek yang startup Jakarta itu lakukan sama: setiap ada proyek, minta karyawan freelance ngajak teman sekalian. Setelah proyek kelar, si karyawan freelance tidak dibayar. Yang dibayar adalah teman yang diajak. Begitu seterusnya.
Fanisa adalah teman dari Diana yang sebelumnya juga berbagi cerita serupa kepada Mojok. Keduanya sama-sama asal Bandung, sama-sama korban ketidakjelasan sistem penggajian di dua startup berbeda.
Sama motifnya dengan Diana, Fanisa membagikan ceritanya kepada Mojok dengan harapan: para calon pekerja—yang membaca laporan ini—tetap teliti dalam menerima setiap tawaran pekerjaan. Terutama bagi perempuan. Kepolosan perempuan biasanya jadi sasaran empuk startup-startup tidak bertanggungjawab.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Keluh Kesah Pekerja di Bandung Punya Bos Banyak Drama, Dipecat H-2 Gajian Gara-gara Abaikan WA Bos yang Tak Masuk Akal atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan