Preferensi orang tua dalam memilih sekolah berangsur-angsur berubah. Sejumlah sekolah negeri di Jogja melaporkan kekurangan siswa. Lantas, ada apa dengan pendidikan kita? Beberapa orang tua di Sanggar Anak Alam (SALAM) menceritakan alasannya menyekolahkan anaknya di sana.
***
Kekurangan siswa menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, khususnya di Jogja. Melansir dari berbagai pemberitaan, sejumlah sekolah mulai dari tingkat SD hingga SMA tak mendapat banyak murid.
Di Kabupaten Gunungkidul misalnya, sebanyak 21 SMPN mengalami kekurangan murid pada Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025. Kondisi itu lebih banyak terjadi di wilayah pedesaan terutama di kapanewon yang jauh dari pusat kota.
Kepala Dinas Pendidikan Gunungkidul, Nunuk Setyowati membeberkan jumlah pendaftar di SMPN kurang dari 20 murid. Padahal, syarat SPMB tahun ini sedikitnya harus ada 20 murid dalam satu rombongan belajar atau maksimal 32 murid.
Tak hanya SMPN di Kabupaten Gunungkidul, SDN di Kabupaten Sleman juga mengalami kondisi serupa. Sebanyak 62 SDN mengalami kekurangan murid pada SPMB 2025. 11 sekolah di antaranya bahkan hanya menerima kurang dari lima siswa.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, Sri Adi Marsanti menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan sekolah kekurangan murid. Salah satunya kecenderungan orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta di Jogja, khususnya untuk jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) dan SD.
“Saya menganalisis, tiap tahun seperti itu, tahun yang lalu juga ada sekitar 60-an SD Negeri yang di bawah 10 dapatnya (murid),” ujar Sri dikutip dari Kompas.com, Kamis (24/7/2025).
Sekolah di Jogja kurang diminati
Sebetulnya, selain sekolah swasta di Jogja, orang tua juga punya pilihan sekolah yang berbasis pendidikan nonformal. Salah satunya Sanggar Anak Alam (SALAM). Sekolah merdeka yang sudah berdiri sejak tahun 1988 di Kampung Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta.
Dalam diskusi merumput edisi perdana: Sekolah Semerdeka Ini & PAUD ala SALAM di Mojok Store, Sleman pada Sabtu (19/7/2025), saya bertemu dengan para orang tua siswa. Salah satunya, Gita yang menyekolahkan anak pertamanya yang berusia empat tahun di Taman Anak SALAM.
“Dulu anak saya pemalu sekali, nggak mau ditinggal waktu awal-awal sekolah,” ujar Gita.
Alih-alih meninggalkan anaknya di hari pertama sekolah, para fasilitator–sebutan guru di SALAM, mengizinkan Gita untuk menunggui anaknya. Setelah dua minggu, anaknya baru bisa ditinggal. Perubahan itu membuat Gita bangga, karena anaknya jadi lebih percaya diri.
“Waktu itu dia bilang ‘udah ibu pulang aja’, padahal sebelumnya dia sama sekali nggak berani ditinggal,” kata Gita.
Dari sana, ia semakin percaya bahwa SALAM mampu membentuk karakter anaknya menjadi lebih baik. Tak sampai di situ, Gita pun makin yakin karena di bandingkan sekolah di Jogja lainnya, SALAM sangat menghargai proses siswa.
“Mungkin di sekolah lain, si anak tetap harus ditinggal di hari pertama tapi di sini saya jadi belajar kalau menunggu anak di sekolah itu nggak papa banget. Dampaknya, membuat anak saya diterima. Tidak merasa bersalah. Dan seiring waktu, dia jauh lebih ekspresif mengungkapkan isi pikirannya,” ujar Gita.
Baca Halaman Selanjutnya
Peran orang tua sebagai teman diskusi












