Nyaris tak ada kemewahan yang bisa didapat selama tinggal di Trucuk, kecamatan di bagian tenggara Klaten yang berbatasan langsung dengan Bayat, Kalikotes, Cawas, dan Ceper. Hal itulah yang bikin Muhammad Bimas (22) malas buat pulang ke sana, meskipun jarak antara rumah dan kosnya bisa ia tempuh hanya 40 menit dengan mengendarai sepeda motor.
Saya dengan Bimas sudah hampir dua tahun tinggal di kos-kosan yang sama. Makanya, saya tahu kalau dia adalah tipe mahasiswa yang jarang pulang kampung. Dalam dua tahun terakhir saja, jumlahnya pulang ke rumah bisa dihitung jari. Bahkan mungkin jauh lebih sedikit ketimbang keluh-kesahnya tentang Trucuk itu sendiri.
“Enggak ada apa-apa di sana. Mau nyari tempat yang asyik, jauh. Dari mana-mana jauh dan kadang susah sinyal juga,” kata mahasiswa UNY ini, Kamis (21/43/2024), menceritakan alasannya jarang pulkam di sela-sela santap sahur kami.
Tapi sebenarnya Kecamatan Trucuk sendiri bukan tempat yang asing bagi saya. Sebelum mengenal Bimas yang banyak berkeluh-kesah mengenai sulitnya hidup di sana, saya sudah dua kali berkunjung ke Trucuk.
Pertama, pada 2017 lalu, saya mendatangi dua dukuh di sana, Sumber dan Ngrejo, karena kebutuhan tugas kuliah. Kedua, pada 2022 lalu, saat saya liputan buat tempat kerja yang lama tentang keluarga miskin Trucuk yang tinggal di sebuah gubuk reyot. Pada akhirnya, keluh kesah Bimas soal Trucuk membangkitkan memori lama saya soal kecamatan paling miskin di Klaten tersebut.
Ada 47 ribu orang miskin di Trucuk, paling banyak se-Klaten
Selain Bimas, saya juga sempat berbincang dengan warga Klaten lain, Khonsa Thaqiya (22). Perempuan ini merupakan caleg muda asal PKS, yang pada Pemilu 2024 lalu ikut bertarung di pileg DPRD Klaten. Khonsa, yang tempat tinggalnya di Kalikotes–berbatasan langsung dengan Trucuk–juga mengakui betapa miskinnya kecamatan tersebut.
Melansir data resmi p3ke.kemenkopk.go.id, pada 2023 lalu jumlah keluarga yang menyandang kemiskinan di Klaten mencapai 198.696 jiwa. Fyi, nyaris 10 persen di antaranya ada di Trucuk.
Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sendiri membagi data kemiskinan di Klaten menjadi beberapa kelompok alias desil. Kategori desil 1 = sangat miskin, desil 2 = miskin, desil 3 = hampir miskin, dan desil 4 = rentan miskin. Di atas desil 4 artinya berkategori mampu.
Nah, setelah saya lihat, di Trucuk sendiri ada lebih dari 13 ribu keluarga miskin. Untuk detailnya, ada 3.123 keluarga di desil 1, dan 3.966 keluarga di desil 2 terdapat. Sementara itu di desil 3 ada 3.966 keluarga hampir miskin dan di desil 4 terdapat 2.954 keluarga.
Adapun untuk angka individu, Trucuk mempunyai 47.654 jiwa yang berada dalam garis kemiskinan. Angka tersebut lah yang bikin Trucuk dinobatkan sebagai kecamatan paling miskin di Klaten.
Sangat sedikit pemuda Trucuk yang lanjut kuliah
Khonsa tak ingin mengomentari lebih jauh soal kehidupan sosial warga Trucuk. Sebab, meskipun tempat tinggalnya berdekatan, dia sangat jarang berinteraksi langsung dengan orang-orang Trucuk.
Namun, jika ia coba membandingkannya, sekilas memang terlihat perbedaan yang kontras antara Trucuk dengan kecamatan lain di Klaten.
“Bukan bermaksud gimana-gimana, ya, Mas. Tapi sekilas memang dari tampilan luar saja, ketika masuk Desa Kalikebo di Trucuk, misalnya, kita udah jarang banget jumpain rumah-rumah gede. Lantainya pun juga belum pakai ubin,” jelas perempuan yang aktif mengajar di Ponpes Hidayah Klaten ini.
Yang ia tahu juga, tingkat pendidikan di Trucuk juga masih mengkhawatirkan. Kata Khonsa, rata-rata pemuda asli sana hanya tamat SMA. Jelas, ini jauh berbeda dengan kecamatan lain, misalnya, Kalikotes, yang banyak pemudanya kuliah ke Jogja atau Solo.
Berdasarkan data BPS 2022, tercatat memang tak ada pemuda lulusan sekolah di Trucuk yang melanjutkan kuliah. Kebanyakan mereka, yang merupakan lulusan SMK Negeri 1 Trucuk–satu-satunya sekolah jenjang SMA/SMK di sini–langsung lanjut kerja.
Bimas sendiri sebenarnya adalah kasus unik. Boleh dibilang, ia adalah sedikit dari orang Trucuk yang bisa kuliah. Itupun, Bimas bukan asli Trucuk alias hanya pendatang. Masa kecilnya hingga SMA dia habiskan di Lampung.
Hidup dalam stigma malas dan kriminal
Ketika saya berkunjung ke Trucuk pada 2017 lalu, satu hal yang paling saya ingat adalah stigma malas dan kriminal yang tersemat pada warganya. Bahkan, hal ini sudah berjalan sejak 1980-an. Tapi sekali lagi, yang namanya stigma benar atau tidaknya tetap bikin susah warga lain yang kena getahnya.
Hendro (53), misalnya, salah satu warga Dukuh Sumber yang cukup terganggu dengan stigma tersebut. “Orang sini dibilangnya kalau ke sawah itu siang-siang karena orangnya males,” kata dia. “Sama kalau ada maling, gali, yang kabur, pasti orang-orang langsung nunjuknya juga warga sini, Mas,” sambungnya.
Padahal, hal tersebut tidaklah benar. Setengah abad Hendro hidup di Trucuk, belum sekalipun ia melihat tetangganya malas-malasan atau berbuat kriminal. Yang ada, orang-orang di sana tetap berusaha survive di tengah keterbatasan. Salah satunya dengan memproduksi kasur kapuk.
Menikmati masa tua dengan membuat kasur kapuk
Setiap harinya, warga di Sumber dan Ngrejo membuat banyak produk dari kapuk. Ada yang bikin kasur ranjang, kasur lantai, bantal, dan guling. Produk-produk ini biasanya mereka pasarkan ke kota-kota tetangga, seperti Jogja, Solo, sampai ke Wonogiri.
“Kalau nunggu musim panen padi, ibu-ibu di sini sudah bikin kasur sejak subuh. Bapak-bapak yang tugasnya jual. Ada yang pakai motor ada juga yang dipikul,” kata Hendro. “Lantas malas dari mana, orang kami kerja sejak subuh.”
Hendro juga mengakui, melalui aktivitas kerja ini orang-orang Trucuk pada akhirnya bisa menikmati masa tua mereka. Membuat kasur kapuk bersama teman-teman seusia mereka, sambil ngobrol seharian, tanpa perlu pusing memikirkan stigma orang. Menurut Hendro, kemewahan ini tak bisa dirasakan semua orang.
“Miskin uang itu bisa dicari. Yang susah ketemu itu ya senang di masa tua begini, Mas. Ngumpul bareng yang lain sambil melakukan hal berguna. Jarang ada orang yang diberi nikmat begini,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News