Bagi para pekerja Jogja, Dukuh Sanggrahan, Kelurahan Condongcatur, Sleman, adalah ironi. Saya, yang sudah empat tahun tinggal di padukuhan tersebut, bahkan dapat mengatakan kalau tempat ini punya dua sisi.
Dari luar, ia memang tampak sebagai kawasan yang maju. Lengkap dengan bangunan tempat hiburan yang mewah, mal, dan kantor instansi pemerintah daerah.
Namun, di balik dinding-dinding kos yang berdiri di padukuhan ini, ada banyak kisah muram dari para pekerja. Kisah muram mereka adalah gambaran nasib buruh di Jogja yang tak seindah citra tempat wisatanya.
Kompleks kos di Condongcatur yang didominasi para pekerja
Bicara soal Condongcatur, bisa dibilang ia menjadi salah satu kelurahan paling maju di Kabupaten Sleman. Kampus top, tempat hiburan ternama, hingga kantor instansi pemerintah, berdiri di kelurahan seluas 950 ribu hektar ini.
Kelurahan ini terbagi menjadi 18 padukuhan. Membentang dari Dukuh Pringwulung di ujung selatan, berbatasan dengan Sapen Demangan, hingga ke Dukuh Tiyasan di batas paling utara.
Dari 18 padukuhan di Kelurahan Condongcatur, terdapat Dukuh Sanggrahan, tempat saya dan ratusan pekerja lain ngekos. Lokasinya paling luas, dan berada di tengah-tengah. Ia terbelah oleh Jalan Ringroad Utara.
Di sebelah selatan jalan arteri tersebut, terdapat Pakuwon Mall, mal termegah di Jogja, dan Marriott Hotel. Sementara di seberang utara ringroad terdapat Kantor Polda DIY dan Jogja International Hospital (JIH).
Waktu habis di tempat kerja, upah tak seberapa
Salah satu cerita paling susah saya cerna datang dari Thoriq (23), seorang pekerja FnB di Pakuwon Mall yang sudah 2 tahun menjadi buruh di tempat ini. Meski sudah dua tahun kerja di sana, statusnya masih freelance. Gajinya pun dihitung per shift.
“Sekarang 85 ribu per shift. Dulu awal-awal sampai hampir setahun cuma 60 ribuan,” kata pekerja yang sudah dua tahun ngekos di Sanggrahan, Condongcatur ini kepada Mojok.
Sialnya, meski digaji amat kecil, jam kerjanya kerap overtime. Paling parah terjadi pada bulan puasa lalu. Saat itu ia bekerja dari pukul 11 siang sampai pukul 10 malam.
Kini, jam kerjanya kembali normal. Meskipun, normal dalam kamus bekerja Thoriq adalah 9-10 jam kerja. Biasanya, ia masuk pukul 1 siang dan baru bisa pulang ke kos jam 10 atau 11 malam.
“Seandainya ada opsi lain yang bisa kupilih, pasti aku resign dari sini. Masalahnya sekarang cari kerja susah,” kata lelaki asal Temanggung ini. Cerita Thoriq sendiri pernah Mojok muat dalam tulisan berjudul “Cara Terbaik Buat Melihat Sisi Buruk Manusia adalah Kerja di FnB”.
Kini, pekerja yang tingkal di kos-kosan berukuran 2×3 meter di Sanggrahan Condongcatur itu, mengaku masa mudanya habis buat bekerja. Lima hari kerjanya, habis di Pakuwon Mall.
Saat weekend, ada kalanya ia masih harus meminta shift tambahan buat uang makan. Sebab, gaji bulanannya kerap hanya mentok buat bayar kos dan transferan ke orang tua di kampung.
Pasutri yang hidup mengkis-mengkis sampai takut punya anak
Kisah muram lain datang dari Devi (21). Bersama suaminya, ia tinggal di kos-kosan pasutri yang lokasi juga berada di Dukuh Sanggrahan, Condongcatur–tepat di belakang kantor Polda DIY.
Sebenarnya, Devi merupakan akamsi Jogja. Rumahnya ada di Jogoyudan. Namun, karena tak mungkin tinggal di rumah orang tua yang sudah sesak, ia memilih menyewa kos di Condongcatur bersama suaminya.
Baca halaman selanjutnya…