Di dalam kos yang kira-kira berukuran 4×5 meter tersebut, “cambukan” kehidupan silih berganti menghampirinya. Duit yang selalu pas-pasan, tagihan paylater yang makin menggunung, dan segudang masalah lain.
Namun, kalau ditelusuri, muara dari masalah tadi sebenarnya cuma satu: gaji yang kecil. Devi dan suaminya bekerja di Pakuwon Mall. Dua-duanya bekerja sebagai buruh FnB, di tempat yang sama, dan dan gajinya sama pula.
“Kalau digabung pokoknya sebulan nggak nyampai 5 juta,” ujarnya tertawa.
Akibat kondisi ekonomi yang masih sangat labil ini, bahkan Devi pernah declare ingin childfree saja. Pernyataannya ini pernah Mojok muat dalam liputan berjudul “Mendengar Penyesalan Gen Z yang Nikah Muda: Jangan Buru-Buru Kawin Kalau Gajimu Masih Setara UMR Jogja”.
Menurutnya, punya anak dalam kondisi perekonomian keluarga yang amat kacau, hanya akan bikin sang anak menderita di dunia. “Jahat banget kalau kamu ngasih dunia yang berantakan ke anakmu yang nggak berdosa itu,” kata perempuan yang sudah setahun lebih tinggal di Condongcatur ini.
Sanggrahan Condongcatur dan tempat jujugan debt collector pinjol
Selama tinggal di Sanggrahan, Condongcatur, saya juga kerap menjumpai para debt collector (DC) menggedor pintu kos buat menagih utang. Kebanyakan adalah utang pinjol.
Thoriq, yang sudah dua tahun tinggal di kawasan ini, setidaknya pernah tiga kali menjumpai hal tersebut. Meski tak bersinggungan langsung, tentunya ini membawa ketakutan pada dirinya.
“Dulu ada anak satu kos didatangi DC. Aku ditanya-tanya tapi ya nggak tahu apa-apa. Tetep kena marah dan sampai sekarang masih trauma sama kejadian itu,” ungkapnya.
“Sekarang apa-apa nyalahin mentalitas anak muda, dibilangnya suka ngutang. Padahal kalau gaji mereka dapat gaji yang cukup, ya mereka nggak perlu ngutang di pinjol dong.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News