Tak jauh dari Pasar Ngasem, Jogja ada sebuah angkringan di atas bangunan bersejarah kraton. Tepatnya di Pendopo Ndalem Pakuningratan. Berbeda dengan warung angkringan biasa yang kerap menggunakan gerobak kecil dan tenda di pinggir jalan, angkringan ini justru memanfaatkan pendopo Jawa untuk disulap menjadi area makan.
***
Mulanya, saya dipaksa teman untuk pergi ke angkringan Pendopo Ndalem Pakuningratan di Jalan Sompilang Ngasem 12, Kadipaten, Kraton Jogja. Waktu itu saya tidak mood bepergian karena beberapa minggu terakhir perut saya sedang tidak karuan menanti datang bulan.
Apalagi harus sepeda motoran di malam hari karena angkringan tersebut baru buka dari pukul 18.00 WIB hingga 00.00 WIB. Ya, namanya juga angkringan. Namun, saat teman saya bilang ada angkringan yang menjual minuman teh dari daun-daun camellia sinensis, saya jadi tergiur.
Dan benar saja, saya terkesima melihat berbagai teh rempah yang dijual di sana. Cocok untuk penderita asam lambung seperti saya yang kurang bisa menikmati kopi.
Di tengah lagu-lagu Jawa yang tersiar di seantero ruangan pendopo, saya sedikit kikuk saat memesan teh-teh yang berjejer di dalam toples. Ada teh raket, teh dandang, teh poci, teh kepyur, teh pecut, teh kepala djenggot, teh impala, teh cap botol, teh jawa, dan masih banyak lagi.
Saking banyaknya, saya jadi bingung memilih. Selain itu, kalau boleh jujur saja, itu adalah pertama kali saya mengunjungi angkringan teh dengan konsep prasmanan alias ambil sendiri. Jadi bisa dibayangkan betapa kagoknya saya saat disuruh meracik teh sendiri.

Melihat kebingungan saya, para penjaga angkringan pun menyapa saya dengan ramah. Mereka memberitahu saya cara meracik teh dengan benar, serta menawarkan wedangan lain yang bisa dicicipi. Dari situlah kami banyak mengobrol.
Belajar meracik teh di angkringan Pendopo Ndalem Pakuningratan Jogja
Ines (51), salah seorang penjaga angkringan Pendopo Ndalem Pakuningratan, Ngasem, Jogja menyarankan saya agar mengambil beberapa macam bubuk teh. Bisa satu sampai tiga rasa untuk kemudian dicampur di dalam gelas. Saya pun memilih teh gardoe, teh kepyur, dan teh jawa yang masing-masing saya ambil satu sendok teh.
Jujur, jenis teh tersebut saya pilih asal karena sama sekali belum pernah mencicipi ketiganya. Hanya saja, gambar dari nama-nama tehnya cukup menarik minat saya untuk mencoba.
“Karena biasanya kalau lebih dari tiga sendok, rasanya bakal pahit tapi tergantung selera juga Mbak. Bayarnya seikhlasnya,” kata Ines di mana kalimat terakhir itu membuat saya sedikit terkejut.
Ines sendiri sebetulnya tidak paham cara meracik teh di awal ia bekerja sebagai penjaga angkringan di Pendopo Ndalem Pakuningratan, Ngasem, Jogja. Perempuan asal Temanggung yang sudah bekerja selama tiga tahun itu mengaku belajar dari pengalaman.

“Istilahnya waktu itu saya kepepet karena tidak ada tenaga yang bisa membantu, tapi dari proses mengamati pelanggan yang sudah jago membuat teh saya akhirnya paham dan jadi bisa,” kata Ines.
“Tapi walaupun tahu caranya, saya juga harus tahu komposisinya. Karena komposisi itu kan nomor satu ya. Kalaupun tahu komposisinya tapi nggak tahu takarannya, rasanya bakal kurang pas,” lanjutnya.
Setelah racikan sudah jadi, saya menunggu di tempat duduk sambil mengamati salah satu penjaga lain yang menuangkan air panas ke dalam gelas saya. Ia juga menawarkan gula pasir atau gula batu untuk menambah rasa manis.
Sementara itu, Ines biasa membaca buku di pintu masuk samping dekat radio jika belum ada pelanggan lagi yang datang. Di tengah sesi menunggu, saya melihat-lihat menu Dhaharan di sisi depan pendopo.
Jenis-jenis teh yang murah meriah
Selain jenis-jenis teh yang berada di dalam toples, ada menu Patehan seperti teh, teh jahe, teh lemon, teh rosela, jeruk, lemon, kopi, kopi susu, tape, tape susu yang dibrandol dari harga Rp5 ribu sampai Rp11 ribu.
“Teh rosela ini agak pahit tapi banyak khasiatnya. Kami juga punya wedang mawar khusus untuk malam Jumat saja,” jelas Ines.

Lalu, ada menu Cekokan seperti setup nanas, setup jambu, jahe, jahe lemon, jahe sere, jahe telang, jahe rosela, jahe tape, jahe susu, hingga kunir asem yang dijual mulai dari harga Rp8 ribu hingga Rp11 ribu.
Ada juga menu Pendhapa yang isinya campuran dari bahan rempah-rempah. Misalnya, teh pakoeningratan yang merupakan teh rempah khas ndalem pakoeningratan dengan gula batu. Harganya cuman Rp9 ribu.
Lalu ada wedang pendhapa yang terdiri dari jahe, sereh, kayu manis, cengkeh kapulaga, dan bunga lawang seharga Rp11 ribu. Jika ingin menambah susu, pembeli hanya perlu menambah Rp2 ribu.
Selain itu, ada wedang uwuh yang terdiri dari jahe, daun cengkeh, dan secang. Sementara, wedang secang terdiri dari jahe, sereh, kayu manis, cengkeh, kapulaga, kayu secang. Harga wedang uwuh hanya Rp9 ribu sedangkan wedang secang seharga Rp10 ribu. Bisa juga menambah susu.
Terakhir, menu Pendhapa menyajikan bir jawa. Dengan uang Rp11 ribu kamu bisa menikmati minuman tersebut yang terdiri dari jahe, sereh, kayu manis, cengkeh, kapulaga, kayi secang, dan perasan lemon.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Jogja Tercipta dari Kenangan dan Teh di Angkringan, bukan Kopi di Kafe Tongkrongan atau baca juga liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












