Jalanan pantura Surabaya-Semarang (terutama menuju Semarang) yang brutal menjadi santapan sehari-hari pengendara motor plat K (Kudus, Pati, Rembang, Blora, Purwodadi).
Orang luar daerah pantura kerap kali mengeluhkan kondisi jalanan pantura. Selain banyak yang rusak, juga karena ngeri-ngeri sedap lantaran keberadaan truk-truk tronton hingga bus-bus yang melaju dengan ugal-ugalan.
Akan tetapi, pengendara motor plat K punya cara pandang lain terhadap jalanan pantura. Di tengah segala kebrutalan jalan pantura, para pengendara motor plat K justru memberi perasaan lega dan beragam pelajaran hidup.
Pantura, jalan pulang pengendara motor plat K
Saya akan memulainya dari diri saya sendiri. Umur saya memang masih muda: 25 tahun. Tapi sebagian besar hidup saya memang habis di luar kampung halaman (Rembang).
Setelah bertahun-tahun di Surabaya, kini sudah satu tahun setengah saya merantau di Jogja.
Saya memang lebih sering naik bus untuk perjalanan pulang pergi—entah Rembang-Surabaya atau Rembang-Jogja. Meski begitu, beberapa kali saya memilih menggunakan motor plat K saya.
Setelah lama merantau di Surabaya dan terbilang jarang pulang, belakangan saya menyadari kalau di lubuk hati terdalam, saya menimbun rasa bersalah pada ibu di rumah. Karena saya telah absen menemaninya di masa tuanya.
Perasaan itu akhirnya membuat saya lebih gampang kangen dengan rumah. Maka, selama di Jogja, saya selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Rembang tiap sebulan sekali. Saya biasanya memilih rute agak panjang: Jogja-Semarang terlebih dulu, baru kemudian lanjut menyisir pantura: Semarang-Rembang.
Jalanan pantura rasa-rasanya memang lebih menyiksa. Akan tetapi, di antara jalanan rusak, truk tronton, dan bus yang ugal-ugalan, ada perasaan lega menyelinap di tengah hati. Jalan pantura menjadi penanda bahwa saya sedang dalam perjalanan menuju rumah—sebagai sebaik-baik tempat untuk kembali.
Rutukan dan syukur pengendara motor plat K di pantura
Sama seperti saya, Gandika (24)—yang juga berasal dari Rembang—lebih banyak menghabiskan hidupnya di perantauan. Dia bahkan sejak lulus SMK sudah berpindah dari satu kota ke kota lain untuk bekerja.
Bedanya, Gandika nyaris tidak pernah menggunakan bus. Dia lebih senang menggunakan motor. Kendati jalanan pantura yang brutal nyaris merenggut nyawanya karena diserempet truk hingga tersungkur di aspal, sebagaimana dia ceritakan dalam tulisan, “Kengerian Motoran saat Malam di Jalan Pantura, Hati-hati Saja Tak Cukup kalau Tak Mau Celaka”.
“Jalanan pantura itu cocok untuk merenung. Kalau dari Surabaya, aku biasanya berhenti di Tuban. Kalau dari Semarang, biasanya berhenti di Kudus atau Pati. Nah, pada momen berhenti itu aku selalu bisa bernapas lebih lega atas situasi yang kuhadapi,” ujar Gandika, Selasa (24/6/2025) malam WIB.
Gandika kadang memilih berhenti di minimarket. Bukan untuk membeli minum, karena biasanya dia sudah membawa botol plastik yang sudah dia isi dengan air galon di kosan.
Dia juga tidak memilih duduk di kursi besi yang disediakan minimarket. Tapi justru selonjoran dan bersandar di area parkiran sembari menyesap satu sampai dua batang rokok Djarum Super yang kerap menyertai di saku jaketnya.
“Sebatang, dua batang, sambil melihat lalu-lalang jalan. Itu membuat aku sadar, ternyata di dunia ini yang harus kerja keras untuk diri sendiri dan orang rumah bukan cuma aku. Tapi banyak. Aku seharusnya nggak punya alasan untuk menye-menye atas takdir hidupku,” ucap Gandika.
Sebab, sering kali Gandika merutuki nasibnya sendiri. Merasa bernasib sangat buruk sehingga harus loncat dari satu daerah ke daerah lain untuk bekerja.
Setelah batinnya merasa lebih legawa, rokok Djarum Super yang dia sesap terasa jauh lebih nikmat. Lalu dia merasa punya energi besar untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Berlatih sabar dan ringan tangan
Pemuda dari Rembang lain, Baid (24), sama belaka dengan Gandika. Berkelana untuk bekerja sejak lulus SMA. Pindah dari satu kota ke kota lain dengan motor plat K andalannya.
Di pantura, motor plat K teramat sering bernasib apes. Misalnya, ban jebluk usai menerjang jalanan berlubang, velg penyok pun pernah dia alami.
Kadang kala situasi itu membuat Baid kesal sendiri. Apalagi kalau bengkel atau tambal ban masih jauh. Lebih-lebih jika tengah dalam kondisi hujan deras. Maka sumpah serapah atas kondisi jalan pantura akan keluar beruntun dari mulutnya.
“Kalau nemu bengkel, aku biasanya hanya menatap motorku sambil melamun, sambil ngudud dulu lah. Dari situ baru bisa tenang. Terus merenung, harusnya aku lebih sabar dan nggak kagetan. Kan ya sudah biasa kayak gitu di pantura. Untung cuma ban jebluk atau velg penyok. Toh aku masih diberi keselamatan sama Tuhan,” ucapnya.
Renungan itu membuat seluruh emosi dalam dirinya lenyap seketika. Sisanya, sembari menunggu motor plat K andalannya dibereskan, Baid akan menghabiskan berbatang-batang rokok Djarum Super. Meresapi sehisap demi sehisap, batang demi batang, dengan kondisi batin lebih siap melanjutkan perjalanan.
Masih banyak orang baik di jalanan
Baik Gandika maupun Baid senada. Mereka mengaku kerap bertemu orang-orang baik kala menghadapi situasi tidak menyenangkan di jalanan pantura.
Misalnya Gandika. Saat tersungkur di aspal pantura, orang-orang langsung sigap menolongnya. Memastikan kondisi Gandika tidak amat buruk.
“Aku kalau bocor terus nuntun, entah kenapa ada saja orang yang nolong. Ada yang bantu mencarikan tambal ban, ada yang menemani saya mendorong, bahkan pernah kehabisan bensin ada yang sukarela nyetep dengan jarak lumayan jauh,” sementara begitulah pengakuan Baid.
Pas sudah sampai pom bensin, orang yang membantu nyetep tadi langsung pamit melanjutkan perjalanan. The real orang tulus kalau kata Baid.
“Itu mengajariku juga akhirnya. Misalnya lagi jalan, terus lihat ada orang motornya mogok atau bannya bocor, aku nggak bakal berpikir dua kali untuk membantu,” sambung Baid.
Sembari membantu, Baid biasanya bertukar cerita dengan orang yang dia bantu. Baid tak akan pelit-pelit membagi rokok Djarum Super-nya juga. Lalu segala kesal dan lelah atas situasi buruk di jalanan pantura pelan-pelan menguap untuk kemudian tidak bersisa sama sekali.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Orang Plat K Harus Hadapi Banyak Derita kalau Merantau di Semarang, Benar-benar Penuh Drama atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












