Stigma banyak orang di Jogja mengenai orang dari Indonesia Timur didominasi oleh keburukan. Cap tukang bikin onar, premanisme, tukang minum, dan serentetan tindakan amoral lainnya disematkan tanpa pandang bulu.
***
Setelah berbuka puasa pada Kamis (6/3/2025) malam WIB, saya singgah ngopi di TEKO.SU, Kledokan, Caturtunggal, Sleman. Street coffee yang mengusung slogan “Rumah untuk tumbuh dan pulang” yang dirintis oleh Freddy Bataona untuk menyambut para perantau yang ingin menemukan jati diri.
Malam itu terlebih dulu saya berbincang dengan Jack Bataona (21) mengenai suka-duka orang Indonesia Timur yang merantau ke Jogja, sambil menunggu Bang Freddy–begitu saya memanggil Freddy Bataona–datang.
“Baru satu tahun aku di Jogja, dan ketika awal aku menginjakkan kaki di sini, aku mencoba bergaul dengan berbagai orang selain dari Timur. Sayangnya, aku kerap kali dijauhi di kemudian harinya karena mereka tahu aku orang NTT (Nusa Tenggara Timur),” ujar Jack.
“Dan bukan hanya dijauhi. ketika aku bilang pekerjaanku di Jogja adalah barista, mereka menanggapinya dengan aneh: ‘Orang Timur kok jadi barista, seharusnya jadi debt collector’. Seolah orang Timur hanya bisa kerja kasar,” sambungnya.
Ah, padahal bagi Jack dan orang-orang Timur lainnya, mereka merantau ke Jogja satu di antaranya adalah karena suasana guyub rukun yang ditawarkan Kota Pelajar ini. Namun, mereka malah hidup dalam bayang-bayang stigma dan diskriminasi.
Orang Timur yang enggan membaur di Jogja
“Aku memaknai Timur itu lebih dari sekadar geografis apalagi soal kulit. Bagiku Timur sama dengan solid. Karena memang solidaritas lah yang kami pegang teguh, dan kami bangga dengan ke-Timuran ini,” beber Jack.
Akan tetapi, di sisi lain, Jack tidak memungkiri bahwa ada saja orang Timur yang terkesan enggan beradaptasi dengan lingkungan baru. Mereka hanya berkumpul dengan sesama orang Timur, berperilaku seperti di tempat sendiri. Siingkatnya: budaya Timur dibawa ke daerah lain. Alhasil, perbedaan budaya itulah yang kerap kali menimbulkan konflik.
“Sebelum sampai ke Jogja, aku sudah tahu ada sentimen negatif di kota ini kepada orang Timur. Itulah sebabnya aku langsung beradaptasi. Misalnya, aku tidak tidak membawa logatku yang keras ketika berbincang di sini. Tapi siialnya aku tetap dijauhi,” tutur Jack. Karena orang Timur sudah kadung dapat cap buruk.
Di tengah obrolan hangat bersama Jack, Bang Freddy (31) pun tiba dan langsung mengikuti obrolan kami. Bang Freddy membeberkan alasan kenapa orang Timur seolah “enggan” bergaul dengan yang lain.
Asing di negeri sendiri
Bang Freddy juga asal NTT. Dia merantau ke Jogja sejak 2010 untuk melanjutkan SMK, mengikuti jejak saudaranya yang sudah merantau terlebih dahulu untuk kuliah di Jogja.
“Di kelas pertanyaan yang sering teman-teman Jogja lontarkan itu, ‘Kamu pasti minumnya (alkohol) kuat ya?’, ‘Kamu pasti jago berantem ya?’. Entah dengan nada sinis maupun bercanda,” ungkap Bang Freddy.
Sialnya lagi, pertanyaan serupa tidak hanya dilontarkan oleh para siswa, tapi juga guru. Pernah ada guru yang ngeyel bahwa di tempat Bang Freddy, orang-orang masih menggunakan kuda sebagai moda transportasi.
Si guru keukeuh merasa pernyatannya itu benar. Padahal Bang Freddy sudah menjelaskan bahwa memang sebagian daerah di NTT masih ada yang menggunakan kuda, tetapi tidak dengan tempat tinggal Bang Freddy. Tetapi guru tersebut tidak menghiraukan jawaban Bang Freddy.
Sampai akhirnya Bang Freddy berseloroh kepada gurunya, “Ini yang orang Timur aku atau Bapak,sih?!”
Bang Freddy mencoba merefleksikan diri, kenapa pertanyaan-pertanyaan remeh sering dilontarkan mengenai Indonesia Timur? Kenapa kita saling asing di negeri sendiri? Salah satu hipotesis Bang Freddy adalah kurikulum pendidikan Indonesia terlalu terfokus kepada Jawa.
“Di sekolah, aku belajar sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, tapi hanya sedikit kutemukan yang membahas tentang Indonesia Timur. Bahkan sejak kurikulum, pendidikan kita tidak merata,” ucap Bang Freddy dengan nyala di matanya.
Ketimpangan pendidikan yang gila
Ketika orang Indonesia Timur melanjutkan pendidikan ke tanah Jawa–termasuk ke Jogja–mereka tidak mulai dari nol, tapi minus. Begitu kira-kira Bang Freddy menggambarkan.
Sekalian untuk menggambarkan betapa aksesibilitas dan infrastruktur di Timur tidak sebegitu diperhatikan pemerintah sebagaimana di Jawa.
Dari pengalaman Bang Freddy di NTT, untuk belajar komputer saja, satu komputer bisa dikerubungi lebih dari tiga orang.
Contoh lain, meskipun NTT dan Papua sama-sama Indonesia Timur, tetapi ketimpangan pendidikan di sana terlihat parah sekali. Apalagi yang daerah pegunungan Papua.
“Kau bayangkan, di daerah pegunungan Papua, ada loh orang yang tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk sepeda. Itu kan gila. Setimpang itu pendidikan di Indonesia Timur,” kata Freddy.
Ayah Bang Freddy merupakan seorang guru di NTT. Gambaran betapa tidak mudahnya menjadi guru di sana: masih ada guru yang harus jalan belasan kilometer untuk mengajar dengan gaji yang tidak seberapa. Paling ratusan ribu perbulan.
Maka dari itu, selama pemerintah tidak fokus memperbaiki pendidikan di Timur, selama itu pula permasalahan orang Timur akan terus ada.
Solusi alternatif atas persoalan masalah orang Timur di Jogja
Bang Freddy pernah menanyakan ke orang-orang Timur yang merantau di Jogja, tentang mengapa mereka seolah “enggan” bergaul selain dengan orang Timur di Jogja. Begini kira-kira jawabannya:
“Kami insecure, kami seolah dipandang berbeda, padahal satu negara. Bukan kami malu dengan kulit hitam atau rambut ikal kami, tapi kami malu karena kami tertinggal (pendidikan).”
“Kami sulit untuk mengejar, pada akhirnya kami merasa asing. Untuk mengobati itu, kami akhirnya hanya berkumpul sesama Timur untuk saling menguatkan.”
Berbekal jawaban itu, Bang Freddy bertekad untuk mengubah stigma orang Timur menjadi baik. Langkah awal yang dia lakukan adalah orang Timur harus berani bergaul, tidak hanya dengan sesama orang Timur.
Itulah sebabnya Bang Freddy mendirikan TEKO.SU dalam rangka membuka ruang kolektif, ruang pertemuan bagi orang-orang yang merasakan hal serupa, yakni tersisihkan.
“Di TEKO.SU aku menerapkan aturan, kita tidak boleh membawa budaya Timur yang tidak sejalan dengan norma di sini, misalnya mabuk. Karena TEKO.SU adalah ruang belajar, kolaborasi, dari mulai FnB, seni, dan literasi. Berkembang menjadi lebih baik adalah cara untuk orang Timur tidak lagi insecure dan perlahan memudarkan stigma buruk,” pungkas Bang Freddy.
Penulis: Rizky Benang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Suara Hati Orang Madura yang Didiskriminasi di Surabaya, Tapi Lebih Dihargai Orang Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
: