Belakangan jagat media sosial ramai pemberitaan driver ojek online (ojol) di Surabaya yang menggelar aksi unjuk rasa di sebuah hotel. Melansir dari Suara Surabaya, unjuk rasa tersebut berlangsung di depan Apartemen Puncak Kertajaya, Keputih, Sukolilo, Surabaya, Jumat (15/3/2024) pagi WIB.
Dalam aksi yang melibatkan 550 diver ojol tersebut, driver ojol di Surabaya menyampaikan setidaknya dua tuntutan penting. Pertama, driver ojol meminta agar pihak apartemen menggratiskan parkir 10 menit.
Kedua, para ojol meminta adanya slot parkir khusus ojol di area apartemen. Dengan begitu, ojol Surabaya bisa parkir dengan tanpa khawatir motornya hilang.
“Kalau tidak, maka para driver memboikot order selama belum ada jaminan keamanan bagi motor ojol,” ujar Daniel Lukas Rorong selaku Humas Perhimpunan Driver Online Indonesia (PDOI) Jawa Timur.
Untuk diketahui, unjuk rasa tersebut terjadi lantaran sebelumnya sudah sering terjadi motor ojol hilang jika parkir di luar apartemen. Karena jika parkir di dalam, para ojol wegah terkena tarikan parkir padahal durasi masuk apartemen untuk mengantar pesanan customer pun cuma berkisar 5-10 menitan.
Ojol Surabaya dituding rebut rezeki orang
Dodik (24), teman saya yang driver ojol di Surabaya, mengaku tak tahu menahu secara detil perihal ramainya unjuk rasa para ojol di apartemen tersebut. Sebab, ia sendiri memang lebih sering mengantar-jemput penumpang di area Wonokromo dan sekitar.
Namun, Dodik mengamini bahwa selama ini ojol Surabaya sering kali berhadapan dengan situasi-situasi merugikan.
“Selain urusan kena tarif parkir yang lagi ramai itu, ojol Surabaya juga selama ini mendapat cap sebagai perebut rezeki orang,” kata Dodik.
Dodik berkata demikian karena adanya fakta bahwa ojol saat ini dianggap sebagai perebut rezeki ojek pengkolan hingga sopir angkot Surabaya.
Musuh besar sopir angkot dan ojek pengkolan
Pada Rabu (24/2024), saya sempat berbincang dengan Arifin (50), salah satu sopir angkot Surabaya yang masih terus mengaspal meski sudah semakin sepi penumpang. Dari dulu yang bisa dapat Rp200 ribu per hari, kini Arifin mengaku hanya mendapat paling banter Rp80 ribu. Itu pun sudah sangat ngoyo.
Satu di antara yang menurut Arifin mengurangi penumpang sopir angkot Surabaya dan ojek pengkolan adalah keberadaan para ojol di titik-titik mangkalnya angkot dan ojek pengkolan di Surabaya, dengan regulasi yang jika ditimbang ternyata lebih menguntungkan para ojol.
Misalnya di Terminal Bungurasih. Memang sudah ada pembagian wilayah antara ojol Surabaya dan ojek pengkolan. Ojol mendapat jatah di area luar terminal (Halte Gudang Garam), sementara ojek pengkolan di area dalam.
Namun, lokasi yang cukup berdekatan memungkinkan para penumpang yang turun dari bus memilih langsung menuju Halte Gudang Garam ketimbang naik ojek dari dalam terminal. Artinya, sama saja, pembagian wilayah tersebut tak berdampak apa-apa pada ojek pengkolan.
Hal serupa pun terjadi di Stasiun Wonokromo, yang mana di Stasiun Wonokromo juga menjadi tempat ojek pengkolan, becak motor (bentor), hingga sopir angkot untuk mencari penumpang. Tapi semuanya kalah dari dominasi ojek online.
“Belum ojol nakal yang narik penumpang tanpa aplikasi. Di Bungurasih dan Stasiun Wonokromo banyak yang seperti itu,” keluh Arifin.
“Padahal seharusnya yang nggak aplikasi itu bagian kami,” imbuhnya mengeluhkan ojol Surabaya yang selain mencari penumpang lewat aplikasi tapi juga main nakal tanpa aplikasi.
Ojol Surabaya merasa nelangsa
Dari Dodik, saya mendapa penuturan dari ojol lain yang merupakan teman Dodik, namanya Taufik (30). Sudah bukan barang asing lagi selentingan-selentingan yang menyebut ojol Surabaya sebagai perebut rezeki ojek pengkolan dan sopir angkot.
Bagi Taufik, rasanya tentu nelangsa. Sebab, dalam bekerja sebagai ojol di Surabaya, para ojol tentunya tak hendak mencari musuh, melainkan ingin mencari rezeki untuk menghidupi anak-istri.
“Namanya orang kerja, apapun kan kami usahakan, pokoknya yang berpeluang ada uangnya,” tutur Taufik.
“Nah kebetulan sekarang zamannya serba online, jadi ya harus ngikutin. Kalau mau jadi tukang ojek, maka jadinya ojek online,” sambungnya. Dan itu, kata Taufik, bukan berarti merebut rezeki orang lain.
Karena zaman berubah, cara kerja atu aktivitas pun ikut berubah. Dari yang semula naik ojek pengkolan atau angkot, kini jadi lebih memilih naik ojol karena menurut orang-orang lebih praktis dan efisien, selain juga soal pertimbangan harga.
Sama seperti Dodik, Taufik mengaku tak ikut unjuk rasa di depan Apartemen Puncak Kertajaya, meski sebenarnya ia sudah dengar bakal ada unjuk rasa.
“Memang nggak ikut. Tapi ya tetap nelangsa sama temen-temen ojol di Surabaya. Terzalimi karena parkir, masih dapat tuduhan merebut rezeki orang pula,” tutur Taufik.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Royal Plaza Surabaya, Mal Tempat Orang Kaya Tertawa di Atas Penderitaan Orang Miskin
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News