Malpraktik dari seorang dukun bayi/beranak membuat seorang perempuan muda harus menderita sakit serius. Pilihan ke pengobatan tradisional ketimbang ke fasilitas kesehatan itu akhirnya berbuah sesal belaka. Karena harus menjalani hari demi hari dengan konsekuensi buruk yang terus membayangi.
Diagnosis ngawur seorang dukun bayi/dukun bernak?
Usai terjatuh dari motor, Sofi (29), panggil saja begitu, mengeluhkan rasa nyeri di perutnya. Apalagi jika digunakan untuk jongkok. Ia lantas berobat ke seorang dukun bayi di desanya di Rembang, Jawa Tengah.
Alasannya memilih berobat ke dukun bayi karena pemahaman yang sudah terlanjur subur di lingkungannya: Bahwa dukun bayi/dukun beranak bisa mengobati keluhan-keluhan di dalam perut perempuan.
“Oh ini wadah bayinya merosot,” ujar si dukun bayi. Sofi percaya saja, sehingga membiarkan si perempuan tua itu mengurut-urut perutnya. Meski rasanya amat sakit.
Lebih dari sekali Sofi berobat ke perempuan tua itu. Hasilnya, perutnya memang berangsur lega. Walaupun masih ada sisa-sisa nyerinya.
Namun, kesembuhan itu tak berangsur lama. Setelahnya, nyeri di perut Sofi malah terasa makin melilit. Lebih menyiksa ketimbang sebelumnya. Dari situ ia lantas mencoba beralih ke bidan di puskesmas setempat.
“Ternyata ditemukan benjolan. Besar kemungkinan sel kanker, kata si bidan seperti itu,” ungkapnya bercerita dengan tubuh dan suara lemas, Minggu (26/10/2025).
Takut pada alat-alat dan tindakan medis, menghambat kesembuhan diri
Dari si bidan, Sofi diminta berobat ke RSUP Dr Kariadi Semarang. Fasilitas kesehatan di Rembang memang belum memadai untuk penyakit-penyakit serius.
Oleh karena itu, sudah menjadi kelaziman jika pasien tidak bisa ditangani di Rembang sendiri, maka akan dirujuk ke Semarang.
Sialnya, Sofi tumbuh di lingkungan dengan persepsi bahwa setiap yang dibawa ke Semarang, maka sudah di tahap serius. Karena sudah serius, maka tindakan medis yang diambil juga akan serius. Dalam konteks kanker, ada dua kemungkinan: operasi dan kemoterapi.
“Aku nggak mau kalau kemo. Takut kenapa-kenapa,” ungkap Sofi. Obrolan dengan Sofi memang terjadi sebelum di dibawa ke Semarang.
Beberapa saudara Sofi—yang lebih muda dan melek medis—mencoba memahamkan Sofi: Kalau takut kenapa-kenapa, harusnya bukan ke dukun bayi yang secara medis punya tingkat risiko tinggi. Ini kok malah takut kenapa-kenapa pada dokter.
Saudara Sofi juga menegaskan bahawa sekarang alat-alat sudah canggih. Yang paham penyakit ya dokter. Jika Sofi menolak datang ke rumah sakit, itu malah akan mengambat kesembuhannya sendiri.
Percaya air doa
“Sudah dikasih air doa. Katanya kalau minum nggak akan terjadi apa-apa,” kata Sofi.
Tentu pemahaman Sofi—yang didukung oleh lingkungannya—membuat saudara-saudaranya tadi amat alot untuk memberi pemahaman perihal pentingnya tindakan medis.
“Boleh percaya dengan air doa. Dan memang orang Islam wajib percaya dengan kekuatan doa. Tapi, Gusti Allah itu kan sifatnya banyak, salah satunya Maha Penyembuh. Nah, perantara penyembuh itu ya dokter,” ucap salah seorang saudara Sofi yang enggan disebut namanya.
Apalagi, lanjut saudara Sofi, sampai ada embel-embel “Setelah minum tidak akan terjadi apa-apa.” Bagi saudara Sofi, itu adalah kalimat yang bahaya sekali diucapkan. Sebab, tanpa didasari dengan kajian medis. Hanya hasil terawangan.
Salah kaprah dukun bayi dan terawangan “orang pintar”
Setelah melalui bujuk rayu yang sangat alot, akhirnya Sofi dan orang tuanya sepakat untuk ke Semarang. Awalnya dengan catatan: Hanya periksa, bukan untuk operasi. Catatan yang juga membingungkan bagi saudara Sofi yang turut mengantar.
“Keputusan dokter, itu harus operasi. Tapi nggak bisa langsung, justru harus kemoterapi dulu untuk mengeringkan luka dalam. Ada bagian usus yang retak,” jelas saudara Sofi menirukan penjelasan dokter.
Dugaannya, usus retak dan beberapa luka di area rahim Sofi adalah imbas dari salah kaprah tindakan si dukun beranak tempat Sofi berobat sebelumnya. Saudara Sofi merasa amat jengkel sekali waktu itu.
Pertama, karena memercayakan sesuatu bukan pada ahlinya. Kedua, dalam situasi seperti itu pun, Sofi masih bersikukuh enggan operasi. Sebab, jika operasi pengangkatan rahmin dilakukan, maka ia terancam tidak punya anak lagi.
“Padahal si bidan sudah bilang, ikuti apa pun saran dokter,” kata si saudara Sofi.
“Tapi keputusan harus diambil cepat. Jika nggak dioperasi malah makin bahaya. Jadi setelah alot ngasih pemahaman, diputuskan untuk ambil operasi dan kemoterapi,” sambungnya.
Pada akhirnya, kini Sofi dan keluarganya harus dibayangi kemungkinan-kemungkinan buruk. Hanya sesal yang tersisa dari upaya pengobatan sebelumnya (lebih percaya dukun bayi dan air doa ketimbang medis).
Profesi tua yang menyimpan bahaya
Penelitian berjudul “The Choice of Delivery Place in Indonesia: Does Home Residential Status Matter?” menyebut, kondisi lingkungan memang sangat berpengaruh bagi pilihan seseorang dalam menggunakan fasilitas kesehatan.
Sebanyak 80,3% perempuan yang tinggal di rumah sendiri dengan otoritas kuat, memilih melahirkan di fasilitas kesehatan. Sementara itu, proporsi perempuan yang tinggal bersama orang tua, mertua, atau kerabat sebesar 34,5%: Memilih pengobatan secara tradisional.
Maka, jika lingkungan lebih berpegang pada pengobatan tradisional sebagai tindakan krusial seperti berobat atau bersalin di dukun bayi, si perempuan pada akhirnya mengikuti sistem tradisional yang sudah berlaku tersebut.
Persoalannya, sejumlah jurnal dan penelitian menyebut, berobat secara tradsional memiliki tingkat risiko lebih tinggi. Bahkan kematian.
Dukun bayi memang menjadi salah satu profesi tertua di Indonesia. Sudah banyak orang (orang tua-orang tua pendahulu kita)yang lahir dari tangan dukun bayi.
Namun, keberadaan dukun bayi tersebut tidak lepas dari kondisi zaman yang di masa lalu peralatan medis memang belum sememadai sekarang. Dengan begitu, ketika alat-alat medis makin canggih, perempuan lebih disarankan periksa di fasilitas kesehatan alih-alih ke pengobatan tradisional.
Penelitian berjudul “Initiation of Traditional Birth Attendants and Their Traditional and Spiritual Practices During Pregnancy and Childbirth in Ghana” dari Lydia Aziato dan Cephas N. Omenyo menyarankan, pendampingan oleh tenaga medis tetap perlu dilakukan meski sebuah keluarga masih percaya pada kemagisan dukun bayi. Bahkan seharusnya, medis lah yang menjadi jujukan utama.
Bahkan, dukun bayi pun kini disarankan untuk mengikuti pelatihan secara medis. Sebagai antisipasi terjadinya malpraktik atau hal-hal tidak diinginkan lainnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Ketika Menolak Bayi Perempuanku Dikhitan: Mereka Bilang Aku Ibu Egois atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












