Beberapa laki-laki di Surabaya memilih untuk tidak belajar naik motor meski sudah berumur 26 tahun. Mereka merasa nyaman ke mana-mana dengan transportasi umum. Hanya saja kadang kerepotan kalau hendak ngajak jalan gebetan, karena bingung mau jalannya pakai apa.
***
Laju zaman yang cepat membuat sebagian besar orang di Indonesia akhirnya memiliki kendaraan pribadi. Yang paling umum adalah motor. Memiliki motor sendiri tentu akan membuat seseorang menjadi lebih praktis dalam mobilitas sehari-hari. Mau ke mana saja tinggal tancap gas.
Dengan begitu, orang-orang di zaman sekarang pun secara tak langsung dituntut untuk bisa mengendarai motor. Meski ada orang yang merasa nyaman naik ojek (misalnya ojek online (ojol)) atau transportasi umum lain, tapi setidaknya ia sudah punya salah satu basic skill life tersebut: naik motor. Artinya bisa naik motor, tapi memang lebih milih naik ojol.
Namun, ada saja orang-orang di zaman sekarang yang tak bisa naik motor, bahkan enggan untuk berlatih atau belajar mengendarai transortasi roda dua itu. Di usia menjelang 30 tahun, mereka masih menyimpan rasa tidak percaya diri untuk berlatih dan membawa motor sendiri.
Tak bisa naik motor dianggap pecundang
Tahun 2024 ini umur Nizar baru saja bertambah menjadi 26. Tapi ia masih tak bisa naik motor dan enggan berlatih.
Perantau di Surabaya itu sehari-hari lebih sering naik ojol untuk pulang pergi tempatnya ngajar di sebuah sekolah swasta di Surabaya. Sementara untuk mobilitas sehari-hari di kos, misalnya untuk keluar cari makan, ke minimarket dan lain-lain, ia akan jalan kaki.
Rutinitas tersebut ternyata sudah ia jalani sejak kuliah pada 2017 hingga lulus pada 2022 lalu. Pulang pergi kampus pun ia memilih jalan kaki, meski jaraknya terbilang jauh.
“Kira-kira 2,5 kilo lah kalau jalan kaki ke kampus,” kata Nizar kepada Mojok, Selasa (21/5/2024).
Di awal-awal kuliah, ia sering mendapat tumpangan dari beberapa temannya. Tapi seiring waktu ia selalu menolak ajakan tersebut. Pasalnya, Nizar mulai mendengar kata-kata dari temannya yang membuatnya tak nyaman.
“Dulu mengira akau nggak punya motor, mangkanya mereka kasih tumpangan karena mungkin kasihan,” tutur Nizar.
Nizar mengaku punya motor di rumah. Kalau ia bisa dan mau, mungkin sudah sejak awal kuliah di Surabaya ia akan pakai motor sendiri. Masalahnya Nizar tak bisa mengendarainya. Ia pun sampai saat ini masih enggan belajar/berlatih. Sejak mengetahui fakta tersebut, beberapa teman Nizar justru menganggap Nizar sebagai laki-laki pecundang.
“Cowok nggak bisa naik motor aneh, sih. Terus misalnya mau kencan gimana? Jalan kaki?” Itu mungkin salah satu ucapan dari teman Nizar yang ia anggap cukup mengganggu.
Trauma jatuh dari motor
Jauh sebelum kuliah di Surabaya, Nizar mengaku sudah pernah mencoba berlatih naik motor. Tepatnya di kampung halamannya di Blitar, Jawa Timur. Kira-kira saat ia masuk kelas 2 SMA. Saat itu ia berlatih bersama bapaknya.
Nizar memang sempat bisa. Lalu karena dianggap sudah bisa, pada suatu hari Nizar diminta untuk mengantarkan ibunya ke satu tempat.
Sial bagi Nizar hari itu. Ia dan ibunya jatuh. Memang tidak terlalu parah. Tapi melihat ibunya lecet dan berdarah, Nizar merasa bersalah.
“Dari situ mulai takut bawa motor lagi. Apalagi boncengin orang. Jadi ya sudah lebih suka naik ojol atau jalan kaki,” ungkap Nizar.
Sejauh ini Nizar tidak merasa kerepotan. Ia merasa nyaman-nyaman saja naik ojol atau jalan kaki untuk mobilitasnya di Surabaya. Di rumahnya (di Blitar) pun ia kalau ke mana-mana juga ada adik yang siap mengantarkan.
“Ada lah yang tanya, kalau aku kelak punya pacar atau bahkan istri apa nggak bakal kerepotan?” sambung Nizar. Perantau Surabaya itu enteng saja menjawabnya. “Ya cari istri yang bisa naik motor aja. Nanti bonceng dia.”
Tak bisa naik motor, ajak gebetan jalan kaki
Selain Nizar, ada juga Badrus (23), saat ini masih kuliah di salah satu kampus negeri di Surabaya.
Berbeda dengan Nizar, ketidakbisaan Badrus naik motor lebih karena ia memang berasal dari keluarga kurang mampu. Yatim pula. Sehingga sejak dulu ia tidak punya akses untuk belajar naik motor.
“Alhamdulillah dapat KIP Kuliah kan. Nah aku nyoba nabung tipis-tipis buat beli motor sendiri. Dan itu akan jadi motor pertama yang kebeli di keluargaku,” tutur Badrus.
Sebenarnya sejak dulu ada saja saudara jauh maupun teman-temannya di Madura yang menawari Badrus belajar naik motor. Bahkan di masa-masa kuliah pun teman-temannya di Surabaya juga ada saja yang dengan sukarela menawari Badrus berlatih.
Hanya saja Badrus merasa tidak enak. Kalau ada jatuh-jatuhnya nanti kan malah repot kalau kata Badrus. Sehingga ia memilih menunggu punya motor sendiri saja. Jadi kalau belajar bisa leluasa dan tak khawatir kalau ada apa-apa.
“Ya aku merasakan sih zaman sekarang nggak bisa naik motor itu repot. Apalagi aku laki-laki. Kayak kurang laki aja kalau nggak bisa naik motor,” keluh Badrus.
Badrus sempat punya pengalaman tidak enak karena tidak bisa naik motor. Pada awal-awal masa kuliahnya di Surabaya, ia sempat PDKT dengan seorang mahasiswi di jurusannya yang juga berasal dari Madura.
“Aku ajak lah doi jalan. Doi nangkapnya jalan berarti ya muter-muter Surabaya naik motor. Tapi aku ngjaknya jalan kaki berdua aja keliling daerah kosan,” beber Badrus.
Singkat cerita, sejak hari itu si cewek asal Madura tersebut mulai menjauh dari Badrus. Bahkan Badrus menjadi bahan sindiran dan olok-olok di geng si cewek. Sejak saat itu, Badrus mulai terpantik untuk bisa naik motor sendiri. Hanya saja untuk tahap awal ia masih mengusahakan beli motornya dulu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.