Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Ragam

Kelas Menengah Dipaksa Terima Nasib Saat Kelas Bawah Dianakemaskan

Aisyah Amira Wakang oleh Aisyah Amira Wakang
15 Oktober 2024
A A
Kualitas Tersembunyi Sinetron Indosiar yang Diketawain Kelas Menengah Terdidik

Kualitas Tersembunyi Sinetron Indosiar yang Diketawain Kelas Menengah Terdidik

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Jika diibaratkan delman, hidup sebagai kelas menengah laiknya kuda yang menarik dokar sambil membawa penumpang. Mereka terlihat paling kuat, meski aslinya paling menderita.

Begitu pula kelas menengah. Mereka terlihat mampu memenuhi kebutuhannya, padahal juga harus ngos-ngosan menyambung hidup. Mereka harus memutar otak sendiri karena tidak bisa bergantung pada siapapun, termasuk negara.

Bagi para konglomerat, mereka sudah selesai dengan urusan kebutuhan harian. Bagi menengah ke bawah, dalam kesulitan mereka, setidaknya ada jaring sosial seperti bantuan sosial (bansos), yang bisa diperoleh. Sementara bagi kelas menengah? Mereka hanya bisa meratapi nasib.

Seperti yang kita tahu, pemerintah memang punya banyak program bansos. Namun, kebanyakan untuk keluarga kelas ekonomi ke bawah, misalnya, Program Kartu Indonesia Pintar (KIP), Jaminan Kesehatan Nasional, Bantuan Pangan Non Tunai, dan sebagainya.

Selain itu, penerima bansos pun masih wajib memenuhi syarat tertentu. Salah satunya, harus terdaftar di pangkalan data utama Kementerian Sosial atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Untuk masuk daftar tersebut, penerima bansos wajib punya surat keterangan tidak mampu. Hal ini yang sulit dipenuhi oleh kelas menengah.

Kelas menengah yang dianaktirikan

Menjadi masyarakat kelas menengah terasa berat bagi Ihza (23). Sebagai anak pertama dari dua saudara, Ihza terbiasa mengandalkan dirinya tanpa bergantung pada orang lain, apalagi kepada pemerintah. 

Bagi keluarga kelas menengah seperti dia, mengharapkan bantuan dari pemerintah adalah kesia-siaan. Ihza merasa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak pernah berpihak pada kelompok kelas menengah.

“Kelompok menengah atas punya cukup banyak aset yang bisa membuat mereka stabil dengan guncangan yang mungkin terjadi, kaum menengah ke bawah punya bantuan dari pemerintah, lah kita (kelas menengah)? Ngang ngong!” kata dia.

“Perlu disadari, dengan kita bisa survive, belum tentu aman. Banyak yang bisa survive tapi tetep menggos-menggos (sesak nafas),” lanjutnya.

Tahun 2014-2019, Ihza menempuh pendidikan sekolah. Saat itu dia merasa belum mengalami kendala yang berarti, sebab ibunya masih punya penghasilan tetap sebagai karyawan pabrik. Beruntungnya dia juga lolos tes akademik untuk sekolah negeri.

Semasa kuliah di salah satu politeknik di Surabaya, Ihza tak terlalu ambisius untuk mencari bantuan pendidikan, misalnya KIP-Kuliah. Toh, program itu hanya untuk warga kelas menengah ke bawah.

“Ya, rasanya kayak dianaktirikan. Padahal kalau dibilang butuh, ya butuh. Tapi kami juga merasa (kondisi ekonomi) tidak separah itu,” ucapnya kepada Mojok, Minggu (13/10/2024).

Namun, dia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut banding uang kuliah tunggal (UKT) tiap semester. Dengan begitu, UKT-nya lebih murah, dan uang khusus untuk dana pendidikan bisa digunakan untuk kebutuhan lain.

PHK mengubah kasta

Ihza mulai mengalami kegusaran saat kondisi ekonomi keluarganya mulai tak seimbang. Ibunya sebagai penopang biaya hidup keluarga justru mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia sadar, tak banyak bantuan untuk masyarakat kelas menengah.

Iklan

Merujuk data Badan Pusat Statistika (BPS), jumlah kelas menengah terus menurun dalam lima tahun terakhir. Tahun 2021, jumlah kelas menengah sebanyak 53,83 juta orang. Mereka turun kelas, sehingga jumlah kelas menengah tahun 2024 hanya 47,85 juta orang. Artinya, hampir 9,5 juta orang yang tergolong kelas menengah turun menjadi kelas bawah.

Menurut ekonom Perbanas Institute, Dradjad H. Wibowo, faktor penurunan kelas itu karena kurangnya atau hilangnya penghasilan, dan atau bertambahnya tanggungan keluarga. Selain itu, kemungkinan lain karena ada anggota keluarga yang di-PHK, sehingga masuk menjadi tanggungan mereka. 

“Bisa juga karena orang kehilangan pekerjaan bergaji tetap, lalu pindah ke pekerjaan dengan penghasilan tidak tetap. Kondisi ini yang sekarang banyak terjadi,” ucap Dradjad saat dikonfirmasi Mojok, Selasa (15/10/2024).

Hal itu yang dialami oleh keluarga Ihza. Ketika ibunya kehilangan penghasilan tetap, ibunya beralih sebagai pekerja wiraswasta, yakni membuka usaha laundry rumahan. Awal mula membuka laundry, Ihza membantu ibunya dengan membuatkan flyer, lalu menyebarkannya ke orang-orang sekitar melalui media sosial.

Beruntungnya, keluarga Ihza masih bisa dikatakan “mampu” sebab ibu dan ayahnya punya usaha kos dengan tiga kamar. Jika ditotal, penghasilan kedua orang tuanya sekitar Rp 5-6 juta per bulan. Sangat mepet untuk membiayai kebutuhan sekolah anak bungsu mereka yang bersekolah di SMA swasta. 

Usaha kelas menengah mencukupkan kebutuhan

Kondisi yang serba mepet membuat Ihza harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhannya. Salah satunya dengan berhemat. Bukan pelit, tapi dia memang sering pikir-pikir untuk membeli makanan, baju, atau barang. 

Sebagai keluarga kelas menengah, membeli kebutuhan dasar saja perlu banyak pertimbangan. Apakah barang itu penting dan mendesak? Apakah itu hanya keinginannya semata? Adakah yang lebih murah dengan kualitas cukup?

Ihza sendiri bekerja sebagai staf social media manager di salah satu perusahaan F&B di Surabaya. Penghasilannya sekitar Rp3-3,5 juta. Meskipun gajinya tak sampai UMR, setidaknya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dia tidak perlu pusing membayar tempat tinggal atau makan, karena masih bersama orang tua.

Agar tidak memberatkan kedua orang tuanya, Ihza merasa perlu menyisihkan gajinya ke sang ibu. Dia juga berusaha melakukan pekerjaan rumah sebelum atau sesudah pulang bekerja, seperti menyetrika, menjemur pakaian, menyapu, memasak, dan membantu tugas sekolah adiknya.

Kebijakan pemerintah yang terasa sia-sia

Ihza merasa program bantuan dari pemerintah kurang menjangkau semua orang. Kalaupun ada kebijakan yang meringankan untuk kelas menengah, sosialisasinya tidak semasif bantuan untuk kelas ekonomi ke bawah.

“Bantuan itu hanya khusus untuk orang-orang yang niat, mau mencari dan membutuhkan,” ucap Ihza.

Menurut dia, pemerintah seharusnya sudah melakukan pertimbangan di awal jika ingin memberikan bantuan. Pemerintah bisa mengkategorikan kebutuhan masing-masing kelas dengan sistem yang adil, sehingga kelas menengah punya peluang untuk berusaha dan diapresiasi. 

Sebagai contoh, dalam sistem penerimaan siswa baru seharusnya pemerintah melaksanakan tes dengan adil. Pemerintah bisa memberikan bantuan atau beasiswa kepada siswa yang berprestasi untuk masuk sekolah negeri.

Selain itu, Ihza berharap ada kebijakan dari pemerintah yang juga memikirkan kondisi masyarakat kelas menengah. Bantuan itu, bisa jadi tidak sebanyak yang diberikan untuk kelas bawah, tapi harus tetap ada. 

“Kita juga butuh support yang baik untuk bisa hidup ‘layak’. Nggak melulu dengan bantuan yang dikasih tiap bulan, cukup biaya atau pengeluaran yang masuk akal, dan kesempatan buat ada di posisi yang lebih baik, sepertinya cukup,” ujar Ihza.

Pemerintah juga bisa gencar melakukan publikasi dan sosialisasi, seperti yang dilakukan untuk kelas bawah. Serta tak lupa, mengalokasikan dananya dengan optimal. 

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Kutukan Paling Mengerikan di Dunia Adalah Menjadi Warga Kelas Menengah di Indonesia!

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 15 Oktober 2024 oleh

Tags: bantuan sosialgaji di bawah UMRKelas MenengahPHK
Aisyah Amira Wakang

Aisyah Amira Wakang

Artikel Terkait

nelangsa korban PHK Michelin dan Blibli. MOJOK.CO
Ragam

Ekonomi Masyarakat Belum Pulih Sejak Pandemi Covid, Kini Makin Menderita karena PHK di “Negeri Konoha”

5 November 2025
Realitas pekerja swasta di Jogja: sudah gaji kecil, resign kena denda, bertahan malah kena PHK tanpa pesangon MOJOK.CO
Ragam

Risiko Dobel-dobel Jadi Pekerja Swasta di Jogja: Gaji Kecil untuk Kerjaan Nggak Ngotak, Resign Kena Denda kalau Bertahan Malah Di-PHK

14 Oktober 2025
Kelangkaan BBM di SPBU Shell: bayang-bayang PHK bikin nelangsa pikirkan nasib ibu, berat pindah merek lain karena ragu MOJOK.CO
Aktual

Kondisi SPBU Shell bikin Nelangsa Pikirkan Nasib Ibu, Takut “Risiko” kalau Pindah Pertamina

18 September 2025
lulus SMK kerja jadi pedagang burger keliling. MOJOK.CO
Ragam

Menepis Gengsi Jadi Pedagang Keliling usai Lulus SMK, meski Selalu Dihina yang Penting Bisa Bantu Ekonomi Keluarga

8 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
bapakmu kiper.MOJOK.CO

Fedi Nuril Jadi Mantan “Raja Tarkam” dan Tukang Judi Bola di Film Bapakmu Kiper

17 Desember 2025
Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Kuliah di universitas terbaik di Vietnam dan lulus sebagai sarjana cumlaude (IPK 4), tapi tetap susah kerja dan merasa jadi investasi gagal orang tua MOJOK.CO

Kuliah di Universitas Terbaik Vietnam: Biaya 1 Semester Setara Kerja 1 Tahun, Jadi Sarjana Susah Kerja dan Investasi Gagal Orang Tua

15 Desember 2025
Atlet panahan asal Semarang bertanding di Kota Kudus saat hujan. MOJOK.CO

Memanah di Tengah Hujan, Ujian Atlet Panahan Menyiasati Alam dan Menaklukkan Gentar agar Anak Panah Terbidik di Sasaran

19 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.