Bagi banyak orang, KA Bengawan cuma terlihat seperti deretan gerbong ekonomi dengan harga tiket murah. Kursi tegak, deru mesin berisik, dan durasi perjalanannya yang lama, ibarat menjadi “ujian” bagi setiap penumpangnya.
Namun, bagi Dona (24), kereta rute Solo-Jakarta ini adalah penyelamat. Di balik segala keterbatasannya, KA Bengawan menjadi kereta yang mengangkut mimpi, menuntaskan “misi” genting, hingga merajut rindu.
***
Atas permintaan narasumber Mojok, Dona, tulisan ini akan ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Kata dia, “agar lebih personal” dan “emosinya lebih dapet”.
Nyaris tak bisa kuliah karena keterbatasan biaya
Enam tahun lalu, Stasiun Purwosari menjadi titik awal sebuah obsesi yang nyaris nggak kesampaian. Jujur, waktu pengumuman kelulusan SMA, harapan saya untuk kuliah itu seperti benang yang hampir putus.
Kena gesekan sedikit saja, ambyar!
Perlu diketahui, beberapa kampus swasta di Solo sudah menawari beasiswa. Namun, jumlahnya nggak besar: paling mentok cuma keringanan 50 persen biaya kuliah. Itupun dengan syarat seabrek yang ribetnya minta ampun.
Bagi saya, yang cuma anak petani kurang mampu di Klaten, tawaran tadi tetap saja memberatkan. Kalau dihitung lagi, ortu masih harus mengeluarkan biaya besar tiap semester. Belum lagi uang saku bulanan.

“Nggak apa-apa, Nduk. Yang penting kamu bisa kuliah,” kata Bapak kala itu. Saya melihat matanya tulus. Namun, di balik tatapannya itu, saya melihat beban yang siap dia pikul.
Tidak. Tidak. Lebih baik saya tidak kuliah kalau itu malah bikin Bapak menderita.
Diterima di UNJ, kampus nun jauh di sana
Saya pun bertekad untuk memperjuangkan beasiswa negara. Waktu itu, pada 2019, namanya masih Beasiswa Bidikmisi. Selain biaya kuliah sudah ditanggung negara, tiap bulan pun saya masih diberi uang saku Rp650 ribu. Kalau dapat ini, paling tidak saya sudah bisa meringankan beban ortu.
Alhamdulillah, saya lolos. Pengumuman dapat Bidikmisi ini bersamaan dengan diterimanya saya di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) via jalur SNBT (dulu SBMPTN).
Ini kabar gembira sekaligus sedih. Bagaimana tidak, kuliah nun jauh di sana tentu butuh biaya tambahan untuk ngekos. Apalagi biaya hidup di Jakarta juga tak murah. Pun, itu sekaligus jadi pengalaman pertama saya jauh dari orang tua.
Pikiran saya terbelah saat itu. Antara mau lanjut, atau berhenti saja di tengah jalan.

Kalau boleh jujur, saya memang seperti “berjudi”. Pada pilihan pertama dan kedua di SNBT, saya memilih prodi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Pertimbangannya karena paling dekat dengan rumah. Sementara pilihan ketiga, saya memilih UNJ dengan pertimbangan tingkat persaingannya kecil.
Dari perjudian ini, ternyata keberuntungan saya malah jatuh di pilihan ketiga. Sebuah pilihan yang sebenarnya berat untuk diambil.
“Kesempatan begini tidak datang dua kali, Nduk,” kata Bapak saya kala itu, meyakinkan untuk tetap mengambil UNJ.
Bapak rela ngutang demi mengantarkan anaknya ke Jakarta
Untuk melepas saya merantau, Bapak rela mengantar. Kata dia, untuk memastikan saya baik-baik saja dan selamat sampai tujuan.
Kala itu, kami memutuskan berangkat menggunakan KA Bengawan dari Stasiun Purwosari, Solo. Pertimbangannya: biaya paling murah, paling aman juga. Kalau pakai bus, malah lebih mahal dan biasanya saya mabuk darat.
Malam itu kami berangkat. Di antara hiruk pikuk penumpang, Bapak mencoba membuat saya nyaman duduk kursi tegak.
Sepanjang perjalanan semalam suntuk itu, saya tak berhenti memandangi bapak yang terlelap setelah seharian bekerja di sawah. Saya tak bisa lupa dengan batik tua andalannya, yang bahkan cuma ia pakai di hari-hari besar, seperti kondangan atau lebaran. Saya pun merasa, Bapak menganggap perjalanan malam itu juga menjadi hari besar.
Pendek cerita, setelah melewati 10 jam perjalanan di KA Bengawan, kami akhirnya sampai di Stasiun Pasar Senen pagi buta. Jakarta yang riuh langsung menyambut kami.
Di sana, saya diperlakukan seperti tuan putri. Tanpa henti, bapak menawari saya untuk makan atau membeli jajanan mahal. Bapak terlihat seperti orang yang habis menang lotre.
Namun, bagian yang bikin saya seperti dipukul: ternyata Bapak rela ngutang ke tetangga demi mengantar saya sampai kos, memastikan selamat sampai tujuan, dan memberi uang saku.Itu bagian yang bikin saya sedih sekaligus terharu.
Perjuangan bapak mengantar saya ke Jakarta ini, tidak akan pernah saya lupakan.
KA Bengawan, penyelamat saya saat bimbingan skripsi
Nggak cuma jadi saksi kasih sayang Bapak, KA Bengawan juga pernah menjadi “pahlawan super” penyelamat skripsi saya. Ada satu momen, saya sedang berada kampung halaman karena ingin fokus mengerjakan skripsi.
Itu adalah akhir 2022, di mana situasi baru saja membaik setelah pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Biasanya, proses belajar mengajar dilaksanakan secara online. Bahkan, ketika pengajuan judul skripsi hingga di tahap seminar proposal pun, semua juga serba online.
Namun, tapi tiba-tiba seorang dosen pembimbing saya memberi kabar dadakan. Beliau ingin bimbingan skripsi secara langsung, di kampus, besok hari.
Dalam situasi tersebut, di kepala saya tak ada pilihan selain KA Bengawan. Kalau kalian mengecek jadwal keberangkatan kereta murah ini sekarang, saya berani jamin sold out untuk beberapa hari ke depan.
Namun, saat itu, entah karena perjalanan ke luar kota sedang sepi karena pandemi atau memang semesta memihak saya. Tiket KA Bengawan masih bisa dipesan.
Malam itu juga saya berangkat. Bermodal sisa-sisa dari uang saku beasiswa Bidikmisi, saya menuju Jakarta dan tiba di sana pagi hari. Dan, yang perlu diketahui, saya melakukan pola seperti ini sampai tiga kali selama masa bimbingan.
Bahkan, pernah suatu kali saya menyelesaikan deadline di dalam kereta. Selama 10 jam perjalanan, saya sebisa mungkin terjaga sambil menatap layar laptop. Mungkin, saya kudu bikin istilah baru: WFT, alias work from train.
Untungnya, skripsi saya selesai tanpa banyak drama. Saya lulus tepat waktu. Dan, KA Bengawan, kereta murah ini, memang harusnya ditulis dalam lembaran ucapan terima kasih skripsi saya.
KA Bengawan adalah obat rindu
Kini, enam tahun berlalu. Saya sudah lulus dan bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Impian Bapak dan Ibu, yang ingin melihat anaknya sukses, sudah jadi kenyataan.
Tapi, di tengah keruwetan ibu kota, ada satu hal yang nggak pernah berubah: KA Bengawan. Bagi saya, ia tak cuma sejarah, tapi obat rindu. Ada kalanya, jika sedang ingin pulang, saya selalu mengusahakan untuk naik kereta dengan gerbong berwarna hijau-oranye.
Bukan karena murah. Jujur, untuk saat ini, saya bisa memesan tiket kereta yang lebih mahal dengan fasilitas yang jauh lebih nyaman. Namun, ada kenangan yang tak bisa saya lupakan dari kereta murah ini.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Coba-coba Naik KA Airlangga Jakarta-Surabaya: Bahagia Tiketnya Cuma Seharga 2 Porsi Pecel Lele, tapi Berujung Tak Tega sama Penumpangnya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












