Sebagai ibu kota Jawa Tengah, Semarang memiliki beberapa julukan. Di antara yang paling ikonik dan populer adalah Kota Lumpia, Kota Jamu, Kota Atlas, hingga julukan “agak keren” pakai bahasa asing seperti Venetia van Java hingga Port of Java.
Namun, bagi beberapa orang asli Semarang, julukan-julukan tersebut saat ini malah terkesan menggelitik jika tersematkan pada Semarang. Seperti misalnya penuturan dari Denis (28), pegawai BUMN asal Semarang yang sempat sewa di kos yang sama dengan saya di Surabaya.
Kepada saya, Denis menguliti ketidakrelevanan antara Semarang dengan julukannya dari sudut pandang warga Semarang sendiri.
“Ada satu julukan dari bahasa asing yang menurutku nggak banget. Malah menggelitik karena nggak sesuai dengan kenyataannya,” ujar Denis, Kamis, (7/3/2024) malam WIB.
Kota Lumpia: tidak sangar dan tidak otentik
Setiap kali ke luar kota dan menyebut bahwa ia dari Semarang, setidaknya ada tiga hal yang Denis tangkap dari persepsi orang luar soal Semarang. Yakni Kota Lama, Lawang Sewu, dan lumpia.
Denis merasa tergelitik jika Semarang diidentikkan dengan lumpia. Meskipun memang pada kenyataannya lumpia menjadi makanan khas dari Semarang. Bahkan Kota Lumpia pun menjadi julukan bagi ibu kota Jawa Tengah ini.
“Memang banyak kota yang kuliner khasnya kemudian jadi julukan. Tapi kalau lumpia, agak menggelitik karena sebenarnya lumpia cuma jajanan biasa,” ujar Denis.
Ia lantas membandingkan dengan kota-kota besar lain yang mirip dengan Semarang. Misalnya Jogja dengan julukan “Kota Gudeg” atau Surabaya dengan julukan “Kota Rawon”.
Di telinga Denis, jika pakai julukan dari kuliner khas, Kota Gudeg atau Kota Rawon terdengar lebih sangar. Sementara kalau Kota Lumpia, bagi Denis malah terdengar “cupu”.
Lebih dari itu, gudeg dan rawon ini memang otentik. Artinya, sepengalaman Denis, orang luar Jogja jika membuat gudeg, pasti cita rasanya jauh dari yang asli orang Jogja. Begitu juga dengan rawon.
Kalau orang luar Surabaya coba-coba membuat rawon, tentu bisa saja. Karena toh resepnya bisa dicari di internet atau YouTube. Tapi soal rasa, pasti beda dengan yang di Surabaya.
“Nah, kalau lumpia ini kayak bukan otentik. Karena banyak orang luar (daerah) yang nggak hanya bisa bikin, tapi kadang malah rasanya lebih enak dari lumpia Semarang,” bebernya.
“Bahkan orang Semarang sendiri ada yang nyebut lumpia Semarang itu bau pesing,” sambungnya. Lebih tidak otentik lagi karena kemunculan lumpia adalah berasal dari kreativitas seorang Tionghoa yang kebetulan menikah dan menetap di Semarang, seperti informasi yang termuat dalam mail.perpus.jatengprov.go.id.
Orang Tionghoa tersebut adalah Tjoa Thay Joe yang lahir di Fujian. Awalnya ia membuat makanan dengan isian daging babi dan rebung. Sampai kemudian ia bertemu dengan Wasih, orang asli Jawa yang berjualan makanan yang hampir mirip dengan yang Tjoa Thay Joe jual.
Hanya saja, makanan milik Wasih memiliki cita rasa manis dengan isian udang dan juga kentang.
Hingga kemudian keduanya menikah dan menciptakan lumpia dengan memadukan olahan khas Tionghoa dengan Jawa. Lumpia sendiri berasal dari dua suku kata bahasa Hokkian, yakni ‘lun’ yang berarti lembek dan ‘pia’ yang berarti kue, alias kue lembek. Seiring waktu, pengucapan lunpia berubah menjadi lumpia.
Venetia van Java: julukan sok keren
Sepintas, bagi Denis, Venetia van Java terdengar sangat keren. Sayangnya, bagi Denis, julukan tersebut saat ini sangat tidak cocok untuk Semarang
Venetia van Java sendiri merupakan julukan dari Kolonial Belanda yang artinya Venesia dari Jawa. Karena di mata orang-orang Belanda zaman dulu, Semarang sepintas memang mirip dengan Venesia, sebuah kota indah di Italia.
Sebab, mirip dengan Venesia, di Semarang juga terdapat kanal-kanal yang melintas di tengah kota. Akan tetapi, perbedaannya jomplang sekali.
“Entah zaman dulu. Tapi sekarang apa ada indahnya anak sungai yang melintas di tengah kota (Semarang) itu? Yang ada isu banjir itu loh,” ujar Denis. “Jadi jauh lah kalau pakai julukan Venetia van Java.”
Adapun kawasan yang mendapat julukan Venitia van Java tersebut antara lain sekitar Kali Plumbon, Kali Siangker, Bandara Achmad Yani, Karangayu, Krobokan, Bandarharjo, Mangkaang, Tugu Muda, Simbang Lima, Genuk, hingga perbatasan Demak.
Denis lalu membandingkan dengan julukan daerah lain yang pakai bahasa asing. Misalnya yang paling dekat adalah Magelang yang berjuluk Nepal van Java. Tepatnya merujuk pada pedesaan di Kaliangkrik yang berada di lereng Gunung Sumbing.
“Kalau merekamnya pakai kamera drone, panorama Kaliangkrik 11-12 kan dengan Nepal,” ungkap Denis sembari meminta saya mencocokkan foto-foto Nepal van Java dengan Nepal yang asli.
Baca halaman selanjutnya…
Tak pantas dapat julukan Kota Atlas