Jebakan keterampilan untuk sarjana yang bermodal ijazah S1
Dampak minimnya lapangan kerja bisa saja berbeda bagi setiap lapisan masyarakat.
Misalnya, bagi yang masih memiliki kemampuan finansial untuk mengasah keterampilan ataupun melanjutkan pendidikan, mungkin masih bisa bertahan.
Tapi kondisi berbeda jelas akan dialami oleh mereka yang tidak bisa mendapatkan penghasilan tanpa bekerja. Termasuk para sarjana yang mengandalkan ijazah S1 yang mereka dapat dari bertahun-tahun kuliah dengan biaya mahal.
Kata Dian, situasi tersebut berisiko memunculkan skill trap atau jebakan keterampilan.
“Mereka terpaksa bekerja di sektor-sektor yang tidak sesuai dengan kompetensi. Biasanya mengambil pekerjaan di bawah kualifikasi yang mereka miliki. Ini memunculkan fenomena skill trap,” terangnya.
60% masyarakat pekerjakan diri sendiri
Fenomena skill trap, jelas Dian, merupakan kondisi di mana seseorang tidak mendapatkan penambahan kompetensi sesuai bidangnya. Skill trap dapat disebabkan oleh tidak adanya wadah yang sesuai untuk melatih dan mengelola kompetensi. Seseorang hanya bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan bertahan hidup.
Fenomena ini, lanjut Dian, cukup menjelaskan tren pekerja informal yang meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 pekerja sektor informal mencapai 74,09 juta orang (57,27% dari populasi). Kemudian meningkat di tahun 2024 hingga 84,13 juta orang (59,17% dari populasi).
“Hampir 60% masyarakat kita bekerja secara self-employed, mempekerjakan dirinya sendiri karena tidak ada lowongan. Kita juga mengenal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Tapi dengan kondisi ekonomi seperti ini, UMKM juga sulit bertahan,” terang Dian.
“Kabur Aja Dulu” jadi solusi?
Atas kondisi dalam negeri yang makin tak pasti, tak heran jika belakangan sempat mencuat #KaburAjaDulu. Sebagai ungkapan rencana meninggalkan Indonesia ke luar negeri demi harapan hidup yang lebih terjamin.
Terlebih, banyak negara lain tengah mengalami kekurangan tenaga kerja akibat ketersediaan populasi angkatan kerja yang minim.
Bahkan, dari laporan-laporan yang masuk ke Mojok, ada banyak mahasiswa yang kuliah di luar negeri—baik S1 (sarjana) maupun S2 hingga S3—setelah tuntas masa studinya memilih menetap di luar negeri. Karena merasa hidupnya lebih terjamin di sana.
Dian melihat “Kabur Aja Dulu”—dalam artian menjadi pekerja migran di luar negeri—menjadi salah satu bentuk solusi. Meskipun tetap bisa diperdebatkan.
Katanya, sejak dulu, pekerja migran telah menjadi opsi menarik bagi berbagai kalangan. Maka, menurut Dian, kondisi negara seperti Hongkong, Taiwan, dan Jepang yang sedang mengalami usia penduduk tua, bisa menjadi kesempatan bagus bagi angkatan kerja Indonesia.
“Pekerja migran dianggap sebagai “pahlawan devisa” juga. Ya karena ada pendapatan negara di sana. Meskipun banyak lowongan yang umumnya low skilled, tapi yang high skilled saya kira juga banyak. Ini bisa jadi opsi yang debatable,” tutur Dian.
Hanya saja, Dian menggarisbawahi, pemerintah tetap harus mengambil andil dalam upaya memaksimalkan pekerja migran. Pemerintah harus mampu mengakomodasi kebutuhan seperti pelatihan, seleksi negara tujuan dan penerima jasa, serta jaminan perlindungan pekerja migran.
Harapan Dian, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang menguntungkan bagi situasi ekonomi dan politik, dan juga menaungi seluruh lapisan masyarakat.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Modal Ijazah SMA Merantau ke Jakarta demi Hidup Lebih Baik Malah Bernasib Sial, Pindah ke Jogja Makin Ngoyo Hidupnya atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












