Homesick menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi perantau. Biasanya homesick dialami bagi mereka yang rindu akan kampung halaman. Mereka bisa sedih, cemas, putus asa, maupun nostalgia. Jika tidak diatasi, dampaknya bisa bertambah buruk.
***
Saya mengikuti diskusi soal fenomena homesick dalam acara Pesta Buku Jogja 2024. Bazar buku itu digelar oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DIY bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) DIY.
Saya mendatangi bazar tersebut pada hari pertama, yakni Senin (11/11/2024). Acaranya sendiri berlangsung selama 10 hari. Tak hanya bazar, acara itu juga menghadirkan talkshow, stand up comedy, kuliner, dan lain sebagainya.
Pada hari pertama, saya mendengarkan bedah buku homesick healing, karya delapan mahasiswa magang di Buku Mojok. Di sanalah saya bertemu Christini Letania Pratami (21), sebagai salah satu penulis buku tersebut. Di sana, Leta (sapaan akrabnya) menceritakan pengalamannya tinggal jauh dari rumah, demi menempuh pendidikan tinggi.
Kehidupan pertama masuk kuliah
Leta merupakan mahasiswa semester enam di Universitas Diponegoro, Semarang. Dia berasal dari Kalimantan Tengah. Baginya, kuliah di Semarang adalah momen pertama dia merantau. Saat itulah, Leta merasa hari-harinya sepi dan tak jarang merindukan rumah.
Sebelum orientasi pengenalan kampus, dia sudah mempersiapkan diri untuk mencari kos. Satu minggu pertama dia merasa biasa-biasa saja, bahkan merasa senang karena masih ada ayahnya yang menemani.
Namun, perasaan sedih muncul ketika hari terakhir ayahnya balik ke Kalimantan usai mengantar Leta. Saat itulah, dia merasa sepi dan harus bisa hidup mandiri.
“Ternyata ada banyak hal yang aku belum tahu sebelumnya, nah aku baru tahu tuh pas kuliah ini,” ucap Leta di acara bedah buku Homesick Healing di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (11/11/2024).
Karena sudah memutuskan jauh dari rumah, mau tidak mau Leta harus bisa beradaptasi. Mulai dari berkenalan dengan orang baru, sampai menghafalkan tempat-tempat di sekitar kos maupun kampus. Meskipun dia sendiri malas keluar rumah, karena tidak punya kendaraan pribadi.
“Jadi aku lebih sering diam di kos. Terus paling jalan-jalan tuh nyari makanan. Nah dari situ aku merasa risih, kayak aduh, kenapa ya sepi banget? Biasanya kalau di rumah ada yang ngajak ngomong atau apa,” kata dia.
Homesick mulai melanda
Rasa sepi hilang ketika kehidupan kampus dimulai. Kegiatan orientasi pengenalan kampus lebih banyak menyita waktu Leta ketimbang merindukan rumah. Di semester-semester awal, dia mulai mencari kesibukan dengan mencoba hal-hal baru bersama teman-temannya.
Namun, perasaan sedih kerap muncul ketika dia sudah semester lima. Dia mengaku homesick karena merasa lelah dengan rutinitasnya.
“Aku mulai merasa kehidupan merantau itu sangat berat, apalagi pas lagi capek-capeknya. Ada tugas organisasi, tugas kuliah, terus pasti ada aja problem lain. Nah, pas kayak gitu kadang langsung ingat Mama,” ucapnya.
Ketika di rumah, ibu Leta menjadi sosok yang paling perhatian. Misalnya, saat Leta lupa dan meninggalkan suatu barang penting di rumah. Kalau tidak diingatkan ibunya, Leta pasti lupa. Dia juga kerap rindu masakkan ibunya.
Homesick juga muncul ketika kondisi tubuh Leta mulai tidak sehat. Biasanya keluarganyalah yang akan mengantar dia ke klinik, membeli obat, atau sekedar membuatkan teh hangat.
Bahkan, ibu Leta sering mengingatkannya untuk minum obat jika Leta mulai menunjukkan tanda-tanda sakit, seperti batuk-batuk kecil. Kenangan itu yang membuat Leta menjadi rindu.
Homesick membuat cemas akan masa depan
Alih-alih menghubungi orang rumah ketika homesick, Leta lebih memilih melakukan hobinya seperti membaca buku, mendengarkan lagu, atau menceritakan masalahnya ke teman-teman terdekat.
“Soalnya kalau aku hubungin orang tua, aku malah jadi kayak makin mau pulang. Sedangkan aku kan nggak bisa sering pulang,” ucapnya.
Akhir-akhir ini, Leta mengaku mulai cemas akan masa depannya. Pertanyaan tentang menjadi manusia seperti apa dia nanti? Bekerja di mana setelah lulus? Apakah pekerjaan itu sesuai minatnya? selalu terngiang dalam pikirannya.
Saat ini, dia memang belum menemukan jawaban pasti. Namun, Leta mencoba membuat jaringan yang positif dan lebih luas dengan orang lain. Dari sana dia mencoba mempelajari pengalaman mereka.
“Setelah mendengar cerita dari banyak kenalan dan curahan hati orang-orang di media sosial, aku percaya semua orang memang punya jalan dan timeline masing-masing,” ucapnya.
Mengurangi homesick
Berdasarkan jurnal berjudul Analisa Struggle Homesick saat Menjadi Mahasiswa Baru Prodi Psikologi UNNES 2023, homesick merupakan keadaan distres yang bisa muncul ketika individu berpisah dari tempat tinggalnya.
Individu yang mulanya dekat dengan keluarga, teman, sahabat, akhirnya merasa kesepian dan rindu akan dukungan sosial mereka. Sebab setelah merantau, mereka jadi jarang mendapatkan itu semua.
Homesick dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi belajar mahasiswa. Dampak yang lebih parah, mahasiswa dapat mengisolasi diri, depresi, gangguan ingatan, penurunan imun tubuh, bahkan diabetes.
Penelitian berjudul Homesickness and Adjustment in University Students mengungkapkan bahwa dukungan sosial bisa mengurangi homesick. Dukungan itu bisa diperoleh dari teman, keluarga, kekasih, atau organisasi.
Christopher A Thurber dan Edward A Walton selaku peneliti membuktikan bahwa mahasiswa yang memiliki teman baik cenderung tidak terlalu homesickness karena dapat mencurahkan isi hatinya. Dukungan sosial bisa membantu orang yang homesick merasa nyaman dan diperhatikan.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Achmad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News