Universitas Brawijaya (UB) Malang menjadi nama kampus yang selalu terngiang di benak ribuan calon mahasiswa di Indonesia. Konon, siapa pun yang berhasil kuliah di sini, merupakan “bibit-bibit unggul masa depan”.
Kalau menurut narasumber Mojok, Fanny (25), “satu kiki sudah melangkah ke arah kesuksesan,” ujarnya, Selasa (10/5/2025) malam.
Anggapan tersebut wajar-wajar saja. Sebab, kampus ini memang terkenal mencetak lulusan yang “siap sukses” di masa depan. Mahasiswa UB Malang, memang terkenal dengan prestasinya.
Tiap gelaran Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS), mahasiswa dari kampus ini selalu nangkring di jajaran atas podium kemenangan.
Maka, tak heran kalau animo calon mahasiswa buat daftar ke kampus ini begitu besar. Pada tahun 2025 saja, jumlah pendaftar SNBP adalah 35.919 orang–hanya 3.739 yang diterima. Sementara dalam UTBK, 20.859 calon mahasiswa tercatat mendaftar di UB Malang.
“Tapi, buat yang ditolak dari kampus ini pun, punya kans yang sama buat sukses. Nggak usah minder,” ujar Fanny. Ia memang satu dari sekian banyak orang yang tertolak dari UB Malang.
Ditolak UB Malang bagai mendapat “vonis mati”
Bagi Fanny, Universitas Brawijaya (UB) Malang adalah cinta pertamanya. Entah bagaimana mulanya, sejak SMA ia sangat mendambakan bisa kuliah di kampus negeri Malang tersebut.
“Nggak tahu kenapa, merasa dekat aja secara emosi dengan Brawijaya (UB). Mungkin juga salah satunya karena banyak siswa di sekolahku yang kuliah di sana, dan hampir semuanya sukses,” kata Fanny.
Maka dari itu, ia mempersiapkan segalanya setelah ditolak UB Malang pada jalur SNBP 2019 (dulu SNMPTN). Fanny begitu intensif mengikuti bimbel, jam tambahan yang diberikan sekolah, hingga aktif dalam kelompok belajar di kotanya.
Saat menjalani SNBT (dulu SBMPTN) pun, dia sangat percaya diri bisa lolos karena persiapannya sangat matang. Saat itu, ia meletakkan S1 Hubungan Internasional (HI) di pilihan pertama dan S1 Ilmu Pemerintahan.
Sialnya, realitas tak selalu sejalan dengan harapan. “Aku masih ingat betul ketika pengumuman SBMPTN keluar, rasanya jantung mau copot. Nggak sanggup bukanya,” kata dia.
“Pas aku beraniin buka, aku lihatnya sambil merem-melek. Waktu yang muncul tulisan ‘Tidak Lolos, kaki lemes banget. Rasanya seperti kena vonis mati.
Fanny begitu terpukul. Cukup lama ia terpuruk dalam kegalauannya. Bahkan, ketika mengikuti seleksi mandiri pun, mentalnya belum benar-benar pulih sehingga mengerjakan soal demi soal dengan kurang maksimal. Ia pun juga gagal di jalur seleksi ini.
Ditolak UB Malang, akhirnya menerima kenyataan kuliah di kampus kurang terkenal
Meski terpuruk, Fanny sadar bahwa hidup harus tetap berjalan. Setelah berdiskusi dengan orang tua, ia memutuskan untuk kuliah di kampus swasta Malang. Bagi Fanny, kuliah di PTS masih menjadi opsi yang lebih baik kala itu ketimbang gap year dan mendaftar lagi ke Universitas Brawijaya (UB) Malang tahun berikutnya.
“Kuliah di universitas kurang terkenal, jurusannya pun masih akreditasi B. Tapi memang ini dipilih karena sesuai passion dan biaya kuliah nggak terlalu mahal,” jelasnya.
Jujur saja, Fanny mengakui bahwa selama empat tahun kuliah di sana, ia dihantui perasaan inferior. Terlebih, teman-teman dekatnya banyak yang lolos UB Malang atau PTN berkelas lainnya.
Tiap kali ngumpul bareng teman-temannya, perasaan rendah diri selalu muncul. Meskipun, ia juga paham bahwa teman-temannya baik; tak ada yang mengungkit atau membeda-bedakan status cuma gara-gara kuliah di kampus tak terkenal.
Fanny menjalani kuliah laiknya mahasiswa normal lainnya. Kuliah, nugas, ngambis, hingga akhirnya menyelesaikan studinya tepat 4 tahun pada awal 2023 dengan predikat cumlaude. “IPK-ku 3,6,” ujarnya.
Ratusan lamaran kerja ditolak
Bagi Fanny, hidup yang sebenarnya baru saja dimulai setelah kelulusannya. Jujur, ia merasa makin inferior. Meskipun ijazahnya berpredikat cumlaude, ia merasa “kecil” karena cuma kuliah di kampus kurang terkenal.
Sementara bursa kerja di kotanya, sudah pasti diisi oleh mereka yang lulusan Universitas Brawijaya (UB) Malang–cinta pertamanya yang tak bisa ia miliki. “Setelah itu yang jelas hidup cuma penuh pengandaian. Ya ‘seandainya aku lolos UB Malang’, ‘seandainya ini, itu,” ujarnya.
Perasaan inferior itu berdasar. Sebab, selama nyaris setahun, Fanny belum mendapatkan kerja tetap. Lamaran-lamaran yang ia sebar melalui Linkedin maupun Glints dan dikirim langsung ke perusahaan, tak ada satu pun yang dibalas.
“Ada kali aku ngirim lamaran jumlahnya 100. Kalau dihitung beneran, mungkin malah lebih,” katanya.
Selama setahun itu juga Fanny kerja serabutan dengan mengerjakan proyek-proyek digital. Beberapa proyek ini ia dapat di situs seperti Fiverr, dan sebagian lagi diberikan oleh teman-teman serta relasinya.
“Namanya freelance, kadang dapat kecil dan besar. Kadang malah nggak dapat sama sekali karena nggak ada proyek.”
Kerja WFH bergaji dolar, dua digit per bulan
Awalnya, Fanny memang berpikir “kuliah di UB Malang adalah jalan menuju kesuksesan”. Makanya, ketika ditolak UB Malang dan berakhir di kampus tak terkenal, dunianya seperti runtuh.
Namun, ia menyadari bahwa Tuhan selalu punya rencana. Selalu ada jalan tak terduga untuk mencapai kesuksesan.
Pada pertengahan 2024 lalu, setelah lebaran, Fanny dihubungi oleh temannya. Teman bilang bahwa klien di luar negeri senang dengan proyek yang ia kerjakan dan hendak menawarinya kontrak kerja.
Awalnya, Fanny sempat ragu. Sebab, semua malah terkesan seperti penipuan.
“Banyak hal yang nggak masuk akal. Terutama soal gaji pakai dolar yang kalau di-rupiah-kan gede banget. Belum lagi kerjanya itu WFH, alias effortless banget.”
Namun, setelah melakukan rangkaian interview, ia yakin bahwa perusahaan tersebut serius meng-hire dia. Tanpa pikir panjang setelah menyelesaikan sejumlah persyaratan administrasi, Fanny resmi kerja di perusahaan asal Amerika Serikat tersebut per Juni 2024.
“Rasanya senang, karena ini seperti harapan banyak orang bisa kerja dengan gaji dua digit,” ujarnya. “Paling repotnya cuma kalau ada meeting aja sih, soalnya waktu sini sama di AS kan kebalik. Jadi sering banget meeting dini hari gitu.”
Fanny membuktikan, ditolak kampus idaman seperti UB Malang, bukan akhir dari segalanya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Cerita Lulusan S2 Kedokteran UB Malang Pilih Jualan Kambing: Karena Penghasilan Dokter Nggak Seberapa, Tapi Beban Kerja Luar Biasa atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.