Film berjudul Keluarga Berkuasa karya Watchdoc menjelaskan bagaimana pembentukan dinasti politik di Indonesia dinormalisasi oleh Joko Widodo (Jokowi). Pejabat terus memperkaya diri dan rakyat selalu merugi.
***
Watchdoc tak berhenti bersuara. Setelah karya mereka, Dirty Vote, sukses bikin gempar masyarakat Indonesia–khususnya kelompok pro-oligarki, kini film baru kembali diproduksi.
Melalui Dirty Vote, Dandhy menyorot dugaan praktik kecurangan yang terjadi pada Pemilu Presiden Indonesia tahun 2024. Kini, melalui film terbarunya, Keluarga Berkuasa, dia dengan berani memotret bagaimana dinasti politik tingkat daerah menggeliat.
Sangat sebuah kebetulan, film ini tayang dua hari menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak berlangsung.
Jokowi: Bapak Politik Dinasti
Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memang bukan lah seorang “pencetus” politik dinasti. Namun, dalam sejarah Indonesia, dialah orang yang dengan terang-terangan menormalisasi pembentukan dinasti politik. Dia dianggap berhasil membuat narasi positif yang terstruktur dan kultural bahwa dinasti politik tak akan merugikan masyarakat.
Tentu, itu bukan pencapaian yang patut dibanggakan. Jika selama masa kekuasaannya dia dijuluki sebagai ‘Bapak Infrastruktur Indonesia’, nyatanya lebih dari itu. Banyak sarjana politik malah melabelinya sebagai ‘Bapak Dinasti Politik Indonesia’. Begitulah gambaran dalam film ini.
Peneliti Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Yoes Kenawas, mengatakan Jokowi telah sukses secara nasional dan terang-terangan mentransfer kekuasaannya kepada anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.
Seperti yang kita tahu, Gibran adalah wakil presiden Indonesia yang sekarang mendampingi Presiden Prabowo Subianto. Dalam proses pemilihan presiden (Pilpres) kala itu, menurut Yoes, rakyat melihat secara langsung bagaimana demokrasi dikebiri.
Kemarahan masyarakat memuncak, tapi sebagai kepala negara Jokowi seolah-olah lepas tangan. Dia nyelimur, tak mau campur tangan. Biar lembaga yudikatif yang bereskan. Sementara, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), kala itu, adalah Anwar Usman, yang tak lain merupakan adik ipar Jokowi alias paman Gibran.
Awal mula pelanggengan dinasti politik
Dulu, Indonesia pernah memiliki Undang-Undang (UU) yang mengatur di mana seseorang tidak bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah, jika memiliki hubungan keluarga dengan kepala daerah sebelumnya. UU ini cukup ampuh dalam meredam terciptanya dinasti politik.
Namun, UU itu kemudian digugat di MK tahun 2015. Siapa yang menggugat? Dialah Adnan Purichta Ichsan, anak dari Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo.
Namanya mungkin tak terdengar asing, sebab Ichsan adalah adalah adik kandung dari mantan Gubernur Sulawesi Selatan sekaligus eks Menteri Pertanian era Jokowi, Syahrul Yasin Limpo. Kakaknya itu telah divonis penjara karena korupsi.
Konyolnya lagi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasal 7 huruf R UU Nomor 8 tahun 2015 menyatakan pencalonan diri seseorang yang memiliki hubungan keluarga, dianggap tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dengan kata lain, calon kepala daerah yang memiliki hubungan saudara bisa maju dalam Pilkada. Dia tak punya kepentingan dengan pemegang suatu jabatan politik tertentu yang sedang atau masih menjabat.
Aturan itu dianggap sudah sesuai dengan hukum dan pemerintahan konstitusional untuk memberikan hak yang sama. Padahal, kata peneliti Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, MK justru tidak mempertimbangkan hak asasi pemilih atau publik.
Akibat putusan MK itu, peluang sipil untuk mendapatkan kompetisi yang adil dan setara, serta bebas dari penyalahgunaan atau politisasi kekuasaan, semakin kecil. Dampaknya? Bisa dilihat setelah putusan itu terlaksana.
Politik dinasti semakin menggurita
Setelah putusan MK diketok, kandidat terafiliasi politik dinasti meningkat dari 12 orang di tahun 2013 menjadi 57 orang di tahun 2015. Jangan lupa, Adnan Purichta Ichsan, yang pertama kali menggugat aturan ke MK berhasil mewujudkan maksud terselubungnya.
Tahun 2016, Adnan berhasil menjabat sebagai Bupati Gowa selama dua periode hingga 2024. Dia melanjutkan kepemimpinan ayahnya yang menjabat tahun 2005 hingga 2015.
Yoes Kenawas mengatakan, tahun 2015 adalah momentum meningkatnya calon pejabat dinasti politik, karena bertepatan dengan banyak pemimpin daerah petahana yang tidak bisa lagi mencalonkan diri. Pemimpin yang sudah dua periode dan tidak bisa menjabat lagi, akhirnya mempromosikan keluarganya.
Jumlah itu meningkat seiring berkembangnya waktu. Tahun 2020, sudah ada 124 kandidat terpapar dinasti politik. 72 diantaranya terpilih sebagai kepala daerah, termasuk Gibhran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang merupakan menantu Jokowi.
Tak hanya menggambarkan kekuasaan Jokowi yang semakin menggurita, film Keluarga Berkuasa juga merangkum dampak dari pembentukan dinasti politik. Yoes berujar, dinasti politik bisa menjadi strategi untuk mempertahankan kekayaan.
“Korupsi tidak hanya dilakukan oleh satu orang tapi beregenerasi. Kekuasaan yang dilakukan kepada keluarga rentan akan perilaku koruptif,” ujar Yoes.
Selain itu, praktik korupsi yang dilakukan bisa menyasar pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, hingga pembajakan sumber daya alam. Dalam filmnya, Watchdoc menunjukkan betapa sengsaranya warga di Maluku Utara dan Mamuju Tengah akibat praktik culas dinasti politik.
Obral izin perusahaan tambang di Maluku Utara
Pada awal film berjudul Keluarga Berkuasa karya Watchdoc, terlihat salah satu warga Halmahera, Maluku Utara yang harus berjuang mencari air bersih, sekadar untuk menikmati teh panas.
Sungai yang mengalir di dekat rumahnya kini tercemar; warnanya hampir mirip seperti susu cokelat. Warga mengaku kondisi air sungai sebelumnya bersih, tapi berubah setelah adanya PT Indonesia Mas Mulia (IMM).
Sebagai informasi, perusahaan di bidang pertambangan emas itu telah membuka lahan dan mengeksploarasi kawasan hulu tanpa memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan. Pertambangan itu juga tidak terlepas dari masalah sengketa lahan.
Namun, Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba tahun 2019 saat itu suka-suka saja memberi izin. Atas titahnya, sudah ada 52 perusahaan di sekitar Maluku Utara yang mendapat izin operasi. 10 di antaranya berada di Halmahera Selatan, daerah di mana dia membentuk dinasti politik.
Abdul Gani Kasuba sendiri menjabat dari tahun 2014 hingga 2024. Mulanya, dia adalah wakil gubernur tahun 2008 hingga 2013. Saat itulah, Abdul Gani bergerak macam kloni Jokowi yang membangun kekuatan politik berbasis kekeluargaan alias dinasti politik.
Adiknya Muhammad Kasuba menjadi Bupati Halmahera Selatan selama dua periode yakni tahun 2005-2016. Karena sudah dua periode dan tidak bisa menjabat, dua keponakan Abdul Gani melanjutkan kepemimpinan Muhammad Kasuba di Halmahera Selatan.
Keponakannya itu bernama Bahrain Kasuba yang menjabat sebagai Bupati Halmahera Selatan tahun 2016-2021. Lalu dilanjut oleh Hasan Ali Bassam Kasuba sebagai Wakil Bupati Halmahera Selatan tahun 2021-2023.
Ketika Bupati Kabupaten Halmahera Selatan Usman Sidik meninggal, Hasan Ali Bassam Kasuba menggantikannya tahun 2023-2024.
Sementara itu, Abdul Gani Kasuba divonis 8 tahun penjara pada tahun 2024. Dia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam perkara suap dan gratifikasi.
Matinya demokrasi di Mamuju Tengah
Kondisi serupa terjadi di Mamuju Tengah. Sungai-sungai kecil dekat di daerah tersebut nampak tercemar. Sementara aliran airnya mengarah ke sungai yang dimanfaatkan warga untuk pengolahan tambak.
Lokasi tambak itu dekat dengan perkebunan dan pabrik pengolahan sawit milik PT Primanusa Global Lestari (PGL). Sebelum perusahaan itu berdiri, masyarakat sudah khawatir dan berdemo menyerukan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi.
Namun, Bupati Mamuju Tengah Aras Tammauni saat itu tak menggubris. Saat turun tangan langsung mengatasi masa aksi, dia keukeuh meresmikan PT PGL. Setelah peresmian tersebut, warga tak berani berbicara.
Aras Tammauni memulai karier politiknya sebagai kepala Desa Tobadak, lalu menjabat sebagai ketua DPRD Sulawesi Barat tahun 2014. Di tahun yang sama, anaknya Arsal Aras terpilih dan menjabat sebagai ketua DPRD Mamuju Tengah tahun 2014-2024.
Aras Tammauni kemudian terpilih sebagai Bupati Mamuju Tengah tahun 2016-2024. Sementara itu, anaknya Amalia Fitri Aras sempat menjadi Ketua DPRD Sulawesi Barat tahun 2017-2019. Tahun 2019-2024 dia menjadi anggota DPRD Sulawesi Barat.
Tak hanya itu, keluarga lain Aras Tammauni seperti Arwan Aras menjadi anggota DPR RI tahun 2019-2024. Di tahun yang sama, Nirmalasari Aras juga menjadi anggota DPRD Mamuju Tengah.
“Bisa dibayangan ketika eksekutif dan legislatif dipegang keluarga, kontrolnya di mana? Yang terjadi adalah kongkalikong,” ujar Titi Anggraini dalam film Keluarga Berkuasa.
“Nah ketika demokrasi tidak ada kontrol, yang terjadi adalah penyalahgunaan, kesewenang-wenangan, praktik koruptif, pembangunan akan stagnan, dan kemiskinan akan semakin buruk,” lanjutnya.
Civil society yang lemah
Di akhir film Keluarga Berkuasa, Watchdoc mendata ada 294 daerah terpapar dinasti politik dari 545 daerah pemilihan. Sisanya, tidak teridentifikasi. Meski dampaknya terlihat di depan mata, pembentukan dinasti politik seolah tak jadi masalah.
Menurut peneliti Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, salah satu faktor pembentukan dinasti politik karena masyarakat Indonesia kurang terdidik. Buktinya, sekitar 57 persen masyarakat Indonesia adalah lulusan SD dan SMP.
“Jadi politik dinasti itu tidak diketahui masyarakat,” ucapnya.
Menurutnya, civil socity di Indonesia memiliki kelemahan yakni tidak punya resource sekuat tim politik dinasti. Tim politik dinasti punya tim sukses, struktur partai, dan jaringan sosial untuk sosialisasi.
“Sementara, energi kita hanya kuat untuk main di Twitter yang hanya 5 persen dari penduduk Indonesia,” ujarnya.
Karena pelanggengan dinasti politik sudah terjadi, Burhanuddin mengatakan masyarakat tentu tidak bisa melarang. Namun, jangan sampai masyarakat memberikan karpet merah atau privilege kepada calon pejabat dinasti politik untuk mendapat banyak keuntungan.
Sementara itu, Titi mengingatkan jangan sampai pembentukan dinasti politik membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan demokrasi. Seperti yang terjadi di Mamuju Tengah, di mana masyarakat takut untuk bersuara.
“Orang menjadi tidak percaya kepada partai politik, tidak percaya kepada pemilihan langsung, maupun insentif atau manfaat dari punya pejabat yang dipilih secara langsung,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 3 Faktor yang Bikin Dinasti Politik Subur di Indonesia
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.