Di Jogja, ada pekerja dan mahasiswa yang memilih tinggal di kos ala kadarnya. Bahkan, dengan bangunan tergolong memprihatinkan yang plafonnya nyaris ambruk pun masih memilih bertahan karena sejumlah alasan.
***
Bisnis kos di Jogja memang begitu menggiurkan. Namun, tidak semua pemiliknya betul-betul merawat bangunan yang jadi investasi untuk disewakan. Barangkali, meski bangunannya sederhana, tingkat permintaan yang tinggi membuatnya tak pernah kehilangan penghuni.
Sebagian penghuni juga bukan tipikal orang yang mudah untuk berpindah tempat tinggal. Bagi mereka, pindah kos cukup menguras energi dan tidak mudah mencari kos yang cocok secara harga dan fasilitas.
Salah satunya adalah Tasya (23), seorang pekerja di Jogja yang tak pernah pindah dari kamar sewaan yang ia tempati sejak masa kuliah pada 2019 silam. Saat itu, ia mengaku menentukan kos bukan karena pilihannya sendiri.
“Dulu pilih kos karena ngikut saudara, dia sudah lebih dulu tinggal di Jogja jadi ya aku ikut saja,” ujarnya kepada Mojok Kamis (14/2/2024).
Tempat yang Tasya tinggali terletak di Caturtunggal, Sleman. Kawasan itu memang penuh kos dan penginapan. Pasalnya, di sekitarnya berdiri sejumlah kampus-kampus kecil hingga besar di Jogja.
Tasya mengajak saya untuk mengunjungi tempat tinggalnya yang cukup tersembunyi di dalam permukiman padat. Dari jalan utama, masuk ke dalam gang yang masih muat untuk satu mobil, lalu masuk lebih dalam ke gang kecil yang hanya bisa dilalui satu motor.
“Harga sewa kos per bulan sebenarnya nggak terlalu murah. Rp500 ribu per bulan, belum termasuk WiFi. Harga segitu mungkin karena lokasinya strategis meski masuk ke dalam gang,” terangnya.
Setia bertahan di kos dengan plafon nyaris ambruk
Saat sampai ke depan bangunan, tampak area parkir di pojok rumah yang lumayan sempit. Hanya muat sekitar enam motor, sesuai dengan kapasitas kamar di kos tersebut.
Hal yang agak mengejutkan terlihat saat saya masuk ke bagian tengah ruangan. Tampak ada tiang bambu menyangga kayu penyambung plafon yang nyaris ambruk. Di sekitarnya, plafonnya memang sudah banyak berlubang.
“Tapi jangan difoto ya,” ujarnya mengingatkan. Ia takut jika dipublikasikan bangunan kosnya.
Kondisi tersebut menurutnya terjadi di masa pandemi. Sebelumnya, kondisi bangunan masih tergolong baik. Pemiliknya pun masih sering berkunjung sebelum pandemi. Bahkan, ada tukang bersih-bersih yang rutin ke rumah seminggu sekali. Namun, sejak sejak pandemi hingga sekarang hal itu berubah.
Tasya mengizinkan saya untuk menengok sekilas kamarnya dari luar. Kamarnya sekilas tampak tidak ada permasalahan. Paling hanya dinding dengan cat yang banyak mengelupas dan agak menjamur lantaran lembab karena sedikitnya pencahayaan.
“Di kamar sebenarnya jarang bocor. Ada pun sedikit, tapi setiap hujan deras dan aku lagi di luar kos, selalu khawatir,” keluhnya.
Kekhawatiran itu lantaran ruang di depan kamarnya memang banyak titik kebocoran. Beberapa ember yang dipasang penghuni di ruang dengan plafon yang ditahan oleh tiang bambu itu bahkan sering tak mampu menahan kebocoran.
“Ruang itu penuh genangan air. Jadi khawatir aja kalau ninggal kamar saat hujan deras, takutnya airnya masuk ke kamar lewat bawah pintu,” kelakarnya sedikit getir.
Ia mengaku bertahan karena saudaranya pun belum pindah. Mereka tipe orang yang malas ribet untuk mencari tempat lain.
Pemilik kos hanya datang ketika ada calon penghuni yang hendak melakukan survei. Selain itu, ia akan berkunjung saat ada yang kamar yang bermasalah. Namun, untuk persoalan bangunan di luar kamar jarang diperhatikan.
“Hal lain yang bikin aku bertahan karena bapaknya baik, khususnya soal pembayaran. Nggak pernah nagih kalau ada kendala telat pembayaran. Aku pernah telat dua bulan, bapaknya mengizinkan untuk tetap stay,” tuturnya.
Baca halaman selanjutnya…
Kos Rp125 ribu per bulan tapi penghuninya kerja bakti benahi kerusakan rumah