PPG dianggap jadi salah satu solusi peningkatan kualitas guru. Ini dianggap jadi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Tapi, ketika PPG jadi syarat utama untuk guru bisa daftar CPNS, barulah ini jadi masalah yang perlu dibahas.
***
Pembicaraan tentang guru biasanya berputar pada hal-hal seperti PPG, kesejahteraan guru honorer, minimnya apresiasi guru, serta beratnya administrasi yang harus diselesaikan guru yang bikin mereka susah mengajar.
tapi, ada satu hal yang kerap luput dari pembicaraan: ternyata, jumlah guru di Indonesia masih amat kurang.
Dilansir dari ANTARA, Indonesia masih kekurangan sekitar 1.3 juta guru. Angka yang jelas tidak sedikit, dan butuh segera diatasi. Sebenarnya sudah banyak fakultas pendidikan yang berdiri. Sekiranya, masalah tersebut harusnya bisa segera selesai dalam beberapa tahun saja. Seharusnya begitu.
Nyatanya, hal itu sepertinya belum akan terjadi, setidaknya dalam waktu dekat.
Menurut PPDikti, pada Februari 2023, ada 1.371.105 mahasiswa yang kuliah di jurusan pendidikan. Masalahnya, tak semuanya jadi guru. Bahkan punya keinginan jadi guru saja mungkin tidak. Penyebabnya banyak, salah satunya adalah nominal gaji.
OECD menaruh Indonesia sebagai negara dengan gaji guru terendah nomor dua. Realitas lapangan menguatkan apa yang OECD paparkan. Cerita tentang gaji guru honorer yang hanya ratusan ribu per bulan, itu pun dirapel, sudah sering terdengar. Ia bahkan lebih abadi ketimbang hujan di negeri ini.
Lalu, entah dari mana, muncullah isu bahwa guru fresh graduate wajib PPG agar bisa mendaftar CPNS. Kebijakan ini, dilihat sekilas, akan sulit membuat jumlah guru yang kurangnya masih banyak bisa terpenuhi.
Tapi, untuk hal ini, (calon) gurulah yang harusnya bersuara. Tak bisa dimungkiri, bahwa mereka-mereka inilah “korban” kebijakan tersebut.
Kebijakan yang bagus, tapi…
“Rodo slow respon yo, Mas, aku isih meh motoran.”
Pesan yang Arif kirimkan membuat saya harus menunggu untuk beberapa lama. Tak masalah.
Sedikit latar belakang, Arif adalah mahasiswa PPG yang sudah mendapat serdik. Dulunya, dia adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris. Kebijakan ini, tentu memudahkannya dalam urusan CPNS. Tapi, apa yang terlihat mudah, tak pernah benar-benar mudah.
Tapi tak butuh waktu lama, sekitar 15 menit kemudian, dia menjawab pertanyaan saya.
“Kalau aku untuk kebijakan pemerintah bagus, Mas, karena lebih terarah. Dan sudah pasti tersaring sik yakin dadi guru karena sudah diseleksi di awal dan siap ditempatkan di mana saja sesuai dengan plottingan dari pemerintah. Contohnya semisal tahun 2023, kemarin kan yang anak PPG prajab diarahkan untuk daftar P3K. Tapi, plotting-nya bisa dikatakan tidak sesuai yang diharapkan, otomatis kan banyak yang mundur. Jadi, mungkin pemerintah mengevaluasi seko iku mas nggo kebijakan PPG ke depan. “
“Dan nggak harus PNS, Mas, kebanyakan saiki do diarahkan nang P3K.”
Yang penting sejahtera
“Tapi dari sisi lain, kalau dari sisi mahasiswa sik lulusan PPG dan sudah dapat serdik duluan kalau tujuannya adalah kesejahteraan guru yo tergantung kebijakan ke depan. Semisal masih diberikan afirmasi 100% nggo nilai teknis seleksi ASN ya nggak apa-apa.”
“Tapi kalau semisal begitu punya serdik, langsung tidak diperhatikan oleh pemerintah dan harus mencari sekolah sendiri nggo pengabdian dan pencairan TPP yo agak repot.”
“Tapi iki terlepas seko pemerataan pendidikan yo, Mas.”
Apa yang dikatakan Arif jelas masuk akal. Tidak semua akan cocok dengan penempatan yang disediakan pemerintah. Terlepas itu dianggap menyia-nyiakan kesempatan, tapi manusia tentu punya pertimbangan tersendiri atas keputusan yang mereka buat.
Ketika mahasiswa lulusan PPG bisa menentukan di mana mereka akan mengabdi, tentu lebih memudahkan mereka. Setidaknya, mereka tak dilepas begitu saja oleh pemerintah.
Tapi, tentu saja ini masih tidak menjawab masalah yang ada: bagaimana dengan kekurangan jumlah guru yang sebegitu besar? Arif punya alternatif yang lebih baik.
Jadi ASN dulu, baru wajib PPG
Menurut Arif, harusnya bukan wajib PPG baru bisa daftar CPNS. Harusnya jadi ASN, baru cari serdik, seperti zaman dulu. Ini lebih adil karena tidak bikin kesenjangan waktu tes. Misal ada yang sudah PPG duluan dan dapat keunggulan, itu beda cerita. Tapi, baiknya jadi ASN dulu, baru PPG.
Jika memang seperti ini kebijakannya, ini bisa mengatasi dua masalah sekaligus: menutup jumlah kekurangan guru serta memperbaiki mutu guru yang ada. Bahkan mungkin sekaligus menyelesaikan masalah kesejahteraan guru yang selama ini jadi borok yang tak segera mengering.
Tapi, apakah harus PPG?
Muncul pertanyaan yang tak boleh diabaikan juga: kenapa mahasiswa jurusan pendidikan harus ambil PPG? Apakah kemampuan mereka selama kuliah 4 tahun belum cukup jadi modal?
Baca halaman selanjutnya