Para pedagang yang dulu berjualan di Sunmor UGM masih terus menanti kapan bisa berdagang lagi. Tiga tahun mereka terpaksa berhenti, awalnya karena pandemi, tapi kini karena proses yang tak kunjung pasti.
***
Tiga tahun terakhir ada yang berbeda dari kawasan Lembah UGM. Setiap saya melewati rute yang membentang dari Jalan Notonegoro hingga kawasan Fakultas Peternakan UGM rasanya begitu lengang. Bahkan pada hari Minggu pagi.
Dulu, sejak 2017 rute dengan panjang sekitar 1,5 kilometer yang dikenal sebagai sunday morning atau Sunmor UGM itu menjadi tempat berkumpulnya ribuan massa setiap Minggu pagi. Buat warga Jogja dan para mahasiswa, banyak kenangan yang tertuang di kawasan itu.
Meski harus berdesak-desakan, Sunmor UGM menjadi tempat rekreasi andalan bagi banyak kalangan di akhir pekan. Lokasinya strategis dan dekat dengan spot menarik untuk berolahraga pagi hari. Tak heran jika ketiadaan titik berkumpulnya lebih dari seribu pedagang selama tiga tahun terakhir ini banyak dirindukan.
Bagi saya pribadi, Sunmor UGM jadi salah satu alasan untuk bangun pagi di akhir pekan. Salah satu tempat yang cocok untuk mengisi aktivitas pagi hari bersama teman hingga gebetan. Joging santai dulu, lantas membeli jajan dan sarapan.
Namun, buat para pedagang, Sunmor UGM lebih dari itu. Banyak orang yang sudah belasan bahkan puluhan tahun menjadikan kawasan ini sebagai pengharapan untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Selama tiga tahun terakhir, mereka terus menanti kabar izin dari pihak UGM dan Kalurahan Caturtunggal. Meski kepastian waktu bisa kembali membuka lapak tak kunjung datang, mereka tetap menaruh harapan besar.
Para pedagang memang hanya berjualan sehari dalam satu pekan. Namun, potensi pendapatan di lokasi itu terbilang menjanjikan. Setidaknya itulah yang Nanang (43) rasakan selama berjualan di sana sejak 2011 silam.
“Teman-teman membahasakannya, jualan hari Minggu bisa untuk satu pekan,” kata Nanang saat saya temui Kamis (17/08/2023).
Riwayat panjang para pedagang Sunmor UGM
Menurutnya, di luar aktivitas hari Minggu para pedagang masih tetap berjualan atau bekerja di tempat lain. Namun, Sunmor UGM tetap jadi salah satu tempat mencari tambahan yang diandalkan.
Nanang berdagang pakaian di kawasan tersebut di hari Minggu. Selain itu, ia berjualan barang serupa di rumahnya yang ada di Terban, Kota Yogyakarta. Ia memberikan gambaran, “Ini gambaran, kalau di hari biasa jualan di rumah paling dapat seribu di Sunmor bisa lima ribu.”
Masih lekat dalam ingatannya, pada 2011 ia mulai berjualan di sana saat Ramadan. Lapak kebetulan sedikit sepi karena pedagang makanan banyak yang libur. Ia pun bisa menempati salah satu area kosong di sana.
“Setelah Ramadan ternyata masih kosong juga tempat saya jualan,” kenangnya. Beberapa waktu berselang ia pun masuk ke daftar pedagang paguyuban.
Saat itu, ia berjualan bersama istrinya saat anak pertama mereka masih berusia setahun. Usaha di Sunmor jadi salah satu cara mendapatkan penghasilan tambahan untuk menghidupi keluarga kecil mereka.
Menilik ke belakang, Sunmor UGM sudah eksis sejak tahun 1990-an. Lokasi para pedagang sempat berpindah-pindah menyesuaikan kebijakan penataan dari pihak universitas. Pada 2011-2017, Nanang berjualan di Jalan Olahraga. Letaknya di dalam pagar kampus UGM.
“Saat itu sudah ada yang jualan di Jalan Notonegoro. Tapi belum banyak,” ujarnya.
Baru pada 2017 terdapat kebijakan relokasi secara menyeluruh. Semua pedagang di Jalan Olahraga akhirnya pindah di sepanjang Jalan Notonegoro hingga mendekati Jalan Agro di sisi timur Fakultas Peternakan.
Pascarelokasi jumlah pedagang yang sempat berkurang kemudian bertambah lagi. Bisa mencapai 1.000 lapak yang ada di kawasan itu. Termasuk mahasiswa yang turut berjualan. Ada yang ikut membuka lapak dan ada yang berkeliling. Kawasan ini memang jadi andalan bagi mahasiswa Jogja, terkhusus UGM yang sedang mengumpulkan dana untuk menghelat acara.
Hancur dihantam pandemi
Semua berjalan lancar sampai pandemi melanda pada Maret 2020 silam. Kawasan Sunmor UGM disterilkan dari aktivitas massa dan pedagang harus menutup usahanya.
Nanang ingat saat itu kawasan ini memang jadi perhatian. Di Jogja ada beberapa pasar di hari Minggu pagi, tetapi tidak ada yang seramai Sunmor UGM.
“Sunmor jadi perhatian karena pengumpulan massa luar biasa. Kalau saya jalan keluar area, kadang ambil barang atau apa, jalan di luar sepi padahal di dalam ramenya pol,” paparnya.
Sebagai pedagang purnawaktu, Nanang harus mengalami masa-masa sulit. Sekitar enam bulan sejak penutupan ia mengaku mengandalkan uang tabungan untuk bertahan. Mau membuka usaha lain situasi pun belum mendukung.
Ia sempat berjualan jahe dan camilan secara daring. Pernah juga mencoba peruntungan berjualan bracket untuk televisi. Apa pun yang sekiranya laku ia coba jual.
“Sesama pedagang di Sunmor juga banyak yang berkeluh kesah saat itu,” terangnya. Nanang yang juga sempat mengurus paguyuban mengaku mendapati banyak pedagang yang merupakan perantau akhirnya pulang ke kampung halaman lantaran kesulitan finansial.
Belum lega sampai Sunmor UGM kembali buka
Pada 2021 harapan mulai muncul bagi pedagang. Melansir keterangan resmi dari paguyuban pedagang, Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara payuban pedagang dengan UGM berakhir pada Januari tahun itu. Dua bulan kemudian atau Maret 2021, terjadi terjadi perubahan pengelolaan Sunmor dari UGM ke Kalurahan Caturtunggal. Nama Sunmor UGM pun wacananya berubah menjadi Car Free Day Caturtunggal.
“Sejak 2021 kami sudah mulai aktif bergerak, tapi kan pedagang ini hanya bisa membantu, keputusannya ada di UGM dan Kelurahan Caturtunggal,” kata Nanang.
Para pedagang terus menanti kepastian yang sampai Juli 2023 lalu tak kunjung datang. Pedagang sempat melakukan audiensi dengan Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo, Rabu (26/7/2023).
Berlanjut, pada Kamis (10/8/2023) lalu, puluhan eks pedagang Sunmor UGM berkumpul di Pujale UGM untuk mengawal pengiriman surat permohonan audiensi yang kedua kepada Rektor UGM. Langkah itu mereka ambil untuk menagih janji UGM tentang penandatanganan Perjanjian Kerjasama (PKS) antara pihak UGM dengan Kalurahan Caturtunggal.