Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Mendalam

Catatan Kritis KUHAP (Baru) yang Melahirkan Polisi Tanpa Rem Hukum, Mengapa Berbahaya bagi Sipil?

Ahmad Effendi oleh Ahmad Effendi
19 November 2025
A A
rkuhap, kuhap, polisi.Mojok.co

Ilustrasi - KUHAP yang Baru Melahirkan Polisi Tanpa Rem Hukum, Mengapa Berbahaya bagi Sipil? (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Kemarin, Selasa (18/11/2025), gedung parlemen di Senayan kembali menjadi pusat perhatian. Di tengah sorotan media dan desakan publik untuk memperbaiki wajah penegakan hukum, DPR RI justru mengetukkan palu tanda sahnya revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).

Bagi sebagian orang, ini terdengar seperti bagian dari agenda reformasi yang sudah lama ditunggu. Namun, bagi kelompok masyarakat sipil yang mengikuti prosesnya secara cermat, bunyi palu itu justru terasa seperti alarm yang meraung.

Sejak awal pembahasannya, RKUHAP memang sudah memunculkan kegelisahan. Banyak pasal baru lebih mirip pintu-pintu kekuasaan yang dibuka lebar untuk aparat tanpa pengawasan kuat. Aktivis masyarakat sipil menyebut proses ini bukan sekadar revisi teknis, melainkan pergeseran keseimbangan: negara–melalui polisi–menjadi semakin kuat, sementara ruang kontrol dan hak warga negara kian menyempit.

Di luar gedung DPR, kekhawatiran itu punya bentuk yang lebih konkret. Ia hadir dalam pertanyaan-pertanyaan sederhana: apakah polisi nantinya bisa menahan orang tanpa pengawasan hakim? Apakah penyadapan bisa dilakukan tanpa batas yang jelas? Apakah seseorang bisa kehilangan kebebasannya hanya karena tafsir “kondisi mendesak” menurut aparat?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang memicu saya menulis laporan ini. Tulisan ini, menyelami delapan aspek utama dalam KUHAP (baru) yang dinilai memberi kuasa tak terbatas kepada polisi.

*Catatan: draf RKUHAP yang baru saja disahkan menjadi undang-undang dapat diunduh di sini.

#1 Polri sebagai “Penyidik Utama” di Sebagian Besar Kasus

Salah satu perubahan paling mendasar dalam KUHAP baru adalah penegasan bahwa Polri menjadi penyidik utama dalam hampir semua perkara pidana. Ketentuan ini tercantum jelas dalam Pasal 6 Ayat (2) dan Pasal 7, yang menempatkan penyidik Polri di titik pusat seluruh proses penyidikan. 

Jika pada KUHAP sebelumnya kewenangan penyidikan masih lebih tersebar–dibagi antara Polri, Kejaksaan, PPNS, dan lembaga khusus seperti KPK–maka versi terbaru ini mempersempit ruang tersebut.

Dalam rumusan baru itu, berbagai lembaga penegak hukum lain tetap diakui, tetapi posisinya tidak lagi sejajar. PPNS, misalnya, hanya dapat menyidik tindak pidana tertentu dan tetap harus berkoordinasi dengan Polri. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana tertentu pun tidak diperluas, bahkan cenderung dipersempit. Struktur hubungan antarlembaga berubah dari model yang lebih plural menjadi model yang nyaris hierarkis, dengan Polri sebagai porosnya.

Kritik keras pun datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menyebut bahwa ketentuan ini bisa menjadikan Polri sebagai lembaga “super power”. 

“Terkait penyidikan, menurut kami di RKUHAP ini, ini akan menempatkan kepolisian dengan istilah penyidik utama, itu menjadi seperti super power begitu,” ujarnya, merespons pasal-pasal yang menempatkan Polri di pusat seluruh proses penyidikan.

Isnur memandang perubahan ini bukan sekadar penguatan teknis, melainkan pergeseran besar dalam arsitektur kekuasaan negara. Dengan menempatkan Polri sebagai penyaring pertama, penentu langkah, hingga pemegang kendali atas tindakan paksa, KUHAP baru memberi satu institusi porsi otoritas yang sulit dibayangkan sebelumnya. 

“Super power” bukan sekadar metafora; ia menggambarkan struktur hukum baru yang memungkinkan polisi bekerja tanpa pengimbang yang memadai. Lebih jauh, Isnur menilai bahwa struktur semacam ini justru mewarisi masalah lama yang tak pernah tuntas: minimnya akuntabilitas. 

Baginya, revisi ini berisiko mengabadikan pola kerja aparat yang selama ini sering dikritik: ketertutupan, tindakan sewenang-wenang, dan lemahnya kontrol eksternal. Dalam kacamata YLBHI, KUHAP baru bukan membenahi bobot kerja penyidikan, tetapi memperbesar ruang gelap tempat potensi penyalahgunaan kekuasaan bisa tumbuh

Iklan

#2 Penahanan Tanpa Izin Hakim dalam Kasus “Mendesak”

Salah satu kebijakan paling kontroversial dari KUHAP baru adalah memungkinkan penyidik, dalam hal ini polisi, menahan seseorang tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin hakim. Dalam draf KUHAP baru, terdapat klausul “keadaan mendesak” yang memberi ruang bagi penyidik untuk menilai sendiri kapan kondisi itu muncul–dan mengambil langkah paksa penahanan sebelum otoritas peradilan memberi lampu hijau.

Secara teknis, ketentuan ini berkaitan dengan pasal-pasal tentang upaya paksa. Menurut Naskah Akademik RKUHAP, penyidik memang diharuskan mengajukan perintah penahanan (surat perintah) atau penetapan hakim dalam banyak kasus, tetapi pengecualian diberikan saat “keadaan mendesak”. Dalam “keadaan mendesak”, penyidik dapat menahan seseorang tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu. 

Masalahnya, frasa “keadaan mendesak” tidak mendapatkan batasan yang jelas dalam draf. Indikator objektif semacam “ancaman hilangnya barang bukti”, “bahaya nyata terhadap keselamatan”, atau “perlindungan nyawa” memang disebut dalam beberapa catatan legislasi, tetapi rumusannya dibiarkan relatif fleksibel dan sebagian besar diserahkan pada penilaian penyidik. Koalisi masyarakat sipil juga menyatakan bahwa definisi mendesak bersifat subjektif, dan bisa diartikan secara luas oleh aparat.

Amnesty International Indonesia menganggap pasal ini sebagai kemunduran hak asasi manusia. Deputi Direktur Amnesty, Wirya Adiwena, menyatakan bahwa penahanan tanpa izin pengadilan memperbesar kemungkinan penyalahgunaan, terutama dalam konteks penangkapan massal atau represi politik. 

#3 Dalam KUHAP Baru, Penangkapan Diperpanjang Hingga Tujuh Hari

Salah satu perubahan paling mengkhawatirkan dalam KUHAP adalah masa penangkapan yang bisa diperpanjang hingga tujuh hari. Dalam KUHAP lama, penangkapan biasanya dibatasi dalam waktu singkat,  hanya 1 × 24 jam pada banyak kasus. 

Akan tetapi draf KUHAP baru mengubahnya secara radikal. Berdasarkan Pasal 90 Ayat 2, “dalam hal tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) hari.” Lebih jauh lagi, dalam ayat (3) disebutkan bahwa masa kelebihan penangkapan itu “diperhitungkan sebagai masa penahanan.”

Dengan kata lain, polisi bisa menahan seseorang dalam status “penangkapan” hingga tujuh hari penuh, dan waktu tersebut nantinya dilihat sebagai bagian dari penahanan formal–tanpa harus langsung mengonversi ke penahanan pengadilan. 

Ini jelas bukan sekadar penyesuaian administrasi kecil. Perubahan semacam ini memberikan ruang lebih besar bagi aparat untuk menahan seseorang sebelum kontrol yudisial secara penuh dilakukan.

Kritik terhadap ketentuan ini datang dari berbagai kalangan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, misalnya, menyebut pasal tersebut sebagai salah satu dari 11 poin paling bermasalah dalam draf RKUHAP. Mereka menilai bahwa perpanjangan penangkapan tanpa batas waktu yang jelas membuka peluang penyalahgunaan. Penangkapan bisa menjadi alat tekanan psikologis terhadap tersangka, bukan sebagai langkah penegakan hukum proporsional.

Dari perspektif korban salah tangkap dan keluarga mereka, perubahan ini bukan sekadar “penambahan hari”. Sejumlah korban salah tangkap yang pernah berbicara ke publik memperingatkan bahwa masa penangkapan yang panjang bisa semakin menyiksa psikologis, terutama ketika tidak ada kepastian kapan (atau apakah) mereka akan dihadapkan ke hakim. 

#4 Diskresi Subjektif Aparat dalam Alasan Penahanan

Alasan penahanan dalam KUHAP masih sangat bertumpu pada pertimbangan subjektif aparat. Pasal-pasal yang mengatur syarat penahanan mempertahankan formula klasik: penyidik boleh menahan seseorang jika ada kekhawatiran bahwa ia akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.

Masalahnya, ketiga alasan ini selama bertahun-tahun dikritik karena terlalu lentur. Di dalam KUHAP yang baru, standar pembuktian terhadap alasan tersebut tidak dipertegas. Artinya, penilaian apakah seseorang “berpotensi melarikan diri” sepenuhnya berada di tangan penyidik–bukan berdasarkan parameter objektif atau verifikasi hakim. Dengan revisi ini, kekuasaan penyidik tidak menyempit, justru melebar.

YLBHI menyebut ketentuan tersebut sebagai salah satu celah paling berbahaya dalam keseluruhan RKUHAP. Dalam penjelasan mereka kepada media, lembaga ini menegaskan bahwa “semakin besar diskresi, semakin besar pula risiko penyalahgunaan”, apalagi ketika tidak ada mekanisme kontrol yang ketat dari pengadilan. 

Tanpa standar pembuktian yang jelas, alasan-alasan subjektif bisa dengan mudah digunakan untuk menahan individu yang sebenarnya bisa dilepaskan, atau cukup dipantau melalui alternatif penahanan seperti wajib lapor.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Dalam banyak kasus sebelumnya, aparat kerap memanfaatkan alasan subjektif tersebut untuk memperpanjang masa penahanan, menekan tersangka, atau “mengamankan” seseorang sebelum ada bukti kuat yang layak diuji di hadapan hakim. Dengan KUHAP baru yang tidak mengoreksi kelemahan ini, pola lama itu dikhawatirkan justru semakin dilembagakan.

#5 Penyadapan, Undercover, dan Operasi Koersi Tanpa Izin Hakim

Salah satu perluasan kewenangan paling kontroversial dalam KUHAP baru berada pada ranah operasi penyelidikan dan intelijen. Draf revisi membuka ruang lebih besar bagi polisi untuk melakukan tindakan seperti penyamaran (undercover), operasi pengawasan, hingga penyadapan.

Di permukaan, tindakan-tindakan ini terdengar wajar dalam upaya mengungkap kejahatan serius. Namun, masalah muncul ketika KUHAP baru tidak mewajibkan izin hakim yang ketat untuk melakukannya. Dalam beberapa pasal, penyadapan dan operasi penyamaran dapat dilakukan hanya dengan persetujuan internal penyidik atau pejabat atasan–bukan dengan perintah pengadilan sebagaimana standar ideal negara hukum.

Dengan kata lain, penyidik dapat memulai tindakan intrusif yang menyentuh langsung privasi warga negara tanpa terlebih dahulu melewati pemeriksaan yudisial. Padahal, di banyak negara, penyadapan adalah tindakan yang hanya boleh dilakukan dengan izin hakim, disertai argumentasi kuat dan bukti awal yang memadai.

Koalisi masyarakat sipil menilai ketentuan ini sebagai salah satu bagian paling berbahaya dalam RKUHAP. Mereka menyebut bahwa perluasan kewenangan semacam ini berpotensi melegalkan operasi-operasi koersif, seperti penjebakan tersangka (entrapment), pengawasan tanpa batas, atau pengumpulan bukti secara diam-diam tanpa mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.

YLBHI dalam kritiknya menekankan bahwa tanpa izin hakim yang ketat, penyidik dapat dengan mudah menjustifikasi tindakan penyadapan atau penyamaran berdasarkan alasan internal semata. Itu berarti ruang gelap semakin lebar: warga bisa diawasi kapanpun, bukti bisa dikumpulkan tanpa pengawasan, dan penyalahgunaan makin sulit diintervensi oleh pengadilan.

Dari sisi HAM, masalahnya makin berat. Operasi intelijen yang tidak terkontrol bisa menggerus hak privasi warga negara, termasuk mereka yang tidak terlibat dalam tindak pidana. Dalam banyak kasus di masa lalu, tindakan semacam ini berakhir menyeret warga biasa ke proses hukum hanya karena berada di lokasi atau jaringan yang salah.

KUHAP baru seharusnya memperjelas batas-batas tersebut: kapan penyadapan boleh dilakukan, sampai sejauh mana, dan siapa yang berwenang melakukan pengawasan. Namun, revisi ini justru bergerak ke arah sebaliknya: memberikan polisi alat-alat yang kuat tanpa mekanisme rem yang cukup.

#6 Dalam KUHAP Baru, Pengelolaan Barang Bukti dan Sitaan yang Diperluas

Perubahan lain yang patut disorot dalam KUHAP baru adalah perluasan kewenangan penyidik dalam pengelolaan barang bukti dan penyitaan. KUHAP lama sudah memberi ruang yang cukup besar bagi polisi untuk menyita barang yang diduga terkait tindak pidana. Namun, dalam RKUHAP, ruang tersebut melebar secara signifikan: penyidik dapat menyita barang yang “diduga berkaitan” dengan kasus, bahkan sebelum keterkaitannya diuji di pengadilan.

Secara teknis, perluasan ini terlihat sederhana. Namun, dalam praktik, implikasinya jauh lebih besar. Dengan ketentuan tersebut, penyidik bisa mengambil alih berbagai dokumen, perangkat digital, data komunikasi, hingga aset bergerak atau tidak bergerak hanya berdasarkan dugaan awal. KUHAP baru juga memberi ruang bagi aparat untuk menyimpan, mengelola, bahkan memindahkan barang bukti itu sebelum proses peradilan berjalan tuntas.

Masalahnya, mekanisme pengawasan terhadap penyitaan dalam undang-undang baru ini tidak dipertegas. Izin hakim tetap diwajibkan dalam beberapa situasi, tetapi standar pembuktiannya tidak diperjelas, sementara celah “dalam keadaan tertentu” memberi penyidik keleluasaan untuk melakukan penyitaan mendahului izin tersebut.

Kelompok masyarakat sipil dan para ahli hukum melihat celah ini dengan serius. Mereka menilai bahwa perluasan wewenang penyitaan tanpa pengawasan ketat berpotensi melahirkan dua masalah besar: penyalahgunaan kewenangan dan kerusakan atau kehilangan barang bukti. Kritik ini bukan teori; sejarah penanganan barang bukti di Indonesia sudah dipenuhi kasus barang hilang, rusak, atau justru dipakai untuk kepentingan di luar proses hukum.

Dengan kata lain, KUHAP baru memperluas tangan aparat, tetapi tidak memperkuat mekanisme remnya. Di sinilah letak masalahnya.

#7 Melemahnya Peran Hakim dalam Kontrol Awal

Salah satu prinsip paling penting dalam negara hukum adalah kontrol yudisial sejak awal–yakni ketika seseorang baru ditangkap, ditahan, atau dikenai tindakan paksa lainnya. Dalam sistem peradilan pidana modern, hakim berfungsi sebagai “penjaga pagar”: memastikan bahwa aparat tidak bertindak sewenang-wenang dan bahwa setiap penggunaan kekuasaan memiliki dasar hukum, urgensi, dan proporsionalitas yang dapat diuji.

Di Indonesia, mekanisme kontrol itu dikenal sebagai prabahan atau judicial preview. Idealnya, sebelum tindakan paksa dilakukan–mulai dari penahanan, penggeledahan, penyitaan hingga perpanjangan penangkapan–aparat harus meminta izin hakim. Hakim praperadilan memeriksa apakah alasan tindakan tersebut sah, apakah bukti awal cukup, dan apakah tindakan itu tidak melanggar hak tersangka.

Namun, dalam KUHAP baru, fungsi pengawasan awal hakim justru menyusut. Beberapa tindakan yang sebelumnya memerlukan izin pengadilan kini bisa dilakukan terlebih dahulu oleh penyidik, dengan alasan “kedaruratan” atau “kepentingan penyidikan”. Hakim baru dilibatkan setelah tindakan itu selesai dilakukan—bukan sebelum.

Inilah yang membuat para ahli hukum mengatakan bahwa RKUHAP menggeser prinsip dasar: dari judicial oversight menjadi police-centered process. Kontrol yang seharusnya mengikat di awal berubah menjadi formalitas belakangan.

Kelompok masyarakat sipil menyebut bahwa perubahan ini justru membuka ruang abu-abu: tindakan paksa bisa berjalan tanpa pengawasan dalam jam-jam atau hari-hari pertama–masa paling rentan bagi seseorang yang baru ditangkap. Dalam situasi seperti itu, tersangka sering berada pada posisi terlemah: tidak tahu haknya, belum didampingi penasihat hukum, dan tidak tahu apakah tindakan aparat memiliki dasar yang sah.

Problemnya bukan hanya soal prosedur, melainkan soal filosofi kekuasaan. Ketika hakim dipisahkan dari proses sejak awal, maka due process bergeser menjadi sekadar administrasi. Pengawasan yang seharusnya mencegah penyiksaan, salah tangkap, pemerasan, atau penyitaan sewenang-wenang menjadi kurang efektif.

Beberapa pakar hukum pidana menilai bahwa pengurangan peran prabahan ini justru memperlemah fungsi check and balance yang selama ini sudah tidak terlalu kuat. Hakim praperadilan memang sering dikritik karena perannya yang terbatas, tetapi solusinya adalah memperkuat kewenangannya, bukan justru meminggirkannya semakin jauh.

Di titik inilah kekhawatiran banyak orang bertemu: KUHAP baru menciptakan situasi di mana kekuasaan aparat membesar, sementara rem yudisial menyusut. Dalam sistem peradilan pidana yang sehat, keduanya harus berjalan bersama; jika salah satu melebar sementara yang lain mengecil, keseimbangan proses hukum ikut runtuh.

#8 KUHAP berisiko bagi Perlindungan Sipil dan HAM

Secara struktural, KUHAP baru dipandang sejumlah kelompok sebagai ancaman serius terhadap hak-hak sipil. Amnesty International menyebut pengesahan revisi ini sebagai “kemunduran serius dalam komitmen negara terhadap hak asasi manusia.” Amnesty Indonesia. Mereka menyoroti beberapa hal:

  • Akses bantuan hukum ditentukan berdasarkan “besarnya ancaman pidana,” yang bisa menyulitkan tersangka dengan ancaman rendah tapi tetap membutuhkan advokat.
  • Penangkapan dan penahanan tanpa izin pengadilan membuka risiko sewenang-wenang.
  • Metode penyelidikan agresif (undercover, penyamaran) tanpa kontrol hakim meningkatkan kemungkinan “rekayasa kejahatan.”
  • Regulasi penyusunan KUHAP dilakukan dengan minim transparansi. Menurut Amnesty, draf terakhir diunggah kurang dari 24 jam sebelum pengesahan, membuat partisipasi publik menjadi sangat terbatas.

YLBHI juga mengeluarkan peringatan darurat menjelang pengesahan, menuntut agar Presiden menarik draf RKUHAP dan menyusun ulang substansi bersama masyarakat sipil agar menguatkan rem yudisial dan prinsip check and balance, daripada justru memperlebar kekuasaan polisi.

Mengapa Ini Jadi Masalah Serius?

Dari delapan poin di atas, polanya terasa jelas: RKUHAP baru secara sistemik memperkuat peran Polri dalam penyidikan dan tindakan paksa, sementara lembaga pengawas (seperti hakim) dan mekanisme kontrol sipil kehilangan ruang intervensi yang berarti.

Mengapa ini berbahaya? Berikut beberapa implikasinya:

  1. Risiko penyalahgunaan kekuasaan
    Saat penyidik mendapatkan wewenang sangat besar tanpa otorisasi hakim secara konsisten, ada risiko besar penyalahgunaan—penahanan sewenang-wenang, penyadapan berlebihan, atau penangkapan motivasi politik.
  2. Erosi prinsip hak asasi dan keadilan proses
    Mekanisme seperti entrapment (penjebakan) bisa menciptakan “kejahatan buatan” demi memperkuat angka penindakan atau memenuhi target penyidikan. Tanpa pengawasan hakim, warga bisa menjadi korban sistem kriminalisasi, bukan proses keadilan.
  3. Penguatan aparat vs pengurangan kontrol publik
    Dengan Polri sebagai penyidik utama dan pengontrol PPNS, koordinasi fungsional dengan lembaga lain bisa melemah. Lembaga non-polisi yang punya keahlian teknis bisa jadi bergantung secara struktural pada keputusan Polri, menurunkan independensi penyidikan untuk kasus-kasus khusus.
  4. Ketidaksiapan institusional
    Koalisi sipil menyuarakan bahwa proses legislasi RKUHAP berlangsung dengan sangat cepat, bahkan ada draf final yang diunggah hanya sehari sebelum pengesahan. Tanpa partisipasi publik dan sosialisasi memadai, implementasi KUHAP baru bisa kacau dan rawan kesalahan.
  5. Pengurangan akses ke keadilan
    Jika akses bantuan hukum bergantung pada ancaman pidana, banyak tersangka dengan kasus ringan atau dugaan awal akan kesulitan mendapat pendamping hukum, yang melemahkan hak atas pembelaan yang adil (fair trial).

Tanggapan Pemerintah dan DPR

Di sisi lain, DPR dan pihak legislatif mencoba meluruskan kritik ini. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, dalam konferensi pers menjelang paripurna menyatakan bahwa narasi “polisi bisa menyadap tanpa izin hakim” adalah hoaks. Dia menyebut Pasal 135 Ayat (2) KUHAP baru menjelaskan bahwa penyadapan akan diatur dalam undang-undang tersendiri, bukan di KUHAP, untuk menjaga mekanisme khusus.

Menurut Habiburokhman, RKUHAP sebenarnya memperketat syarat penahanan dibanding sebelumnya. Ia menyatakan bahwa tidak semua tindakan paksa bisa dilakukan sembarangan, dan bahwa draf baru telah menambahkan kewajiban “bukti permulaan” untuk menahan seseorang. 

Namun, klaim perlindungan tersebut dipertanyakan oleh koalisi sipil dan aktivis HAM yang menyebut bahwa meskipun ada perubahan, pengawasan realitas di lapangan bisa sangat berbeda apabila struktur rem yudisial tidak kuat.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Trauma Warga dan Anak-Anak Kampung Kentingan Baru Solo Menyaksikan Tetangga Meninggal karena Ulah Polisi dan Mafia Tanah atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Terakhir diperbarui pada 19 November 2025 oleh

Tags: kuhappilihan redaksiPolisirevisi kuhaprkuhap
Ahmad Effendi

Ahmad Effendi

Reporter Mojok.co

Artikel Terkait

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO
Catatan

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Perantau Sidoarjo nekat jadi wasit futsal demi bertahan hidup di Jogja hingga akhirnya menyerah MOJOK.CO

Perantau Sidoarjo Nekat Jadi Wasit Futsal demi Hidup di Jogja, Berujung Menyerah Kejar Mimpi di Kota Pelajar karena Realita

28 November 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.