MOJOK.CO – Untuk memahami praktik pesugihan lewat cara yang mudah dimengerti Prabu Yudianto perlu mendatangi dua praktisi ilmu gaib di Yogyakarta.
“Seperti orang yang berutang.”
Begitu kira-kira kredo soal pesugihan. Sebuah fenomena yang sebenarnya tidak begitu rumit untuk dipahami. Pesugihan baru jadi rumit dan out of touch ketika banyak argumen yang menempatkannya tidak pada posisinya.
Wajar sih, sebab sampai hari ini pesugihan masih sulit diterima sebagai bagian dari kultur endemik masyarakat kita. Apalagi banyak yang memandang pesugihan sebagai ilmu hitam, karena dianggap sebagai ilmu hitam pesugihan pun dipandang sebagai perilaku menyimpang.
Nah, karena citra negatif tersebut, dalam liputan ini saya harus meminta Anda untuk meletakkan pesugihan dari sudut pandang yang netral dulu. Poinnya, simpan dulu segenap argumen dan standar moral Anda terhadap praktik pesugihan.
Gimana? Sepakat ya? Oke, gas.
Pertama, untuk memahami pesugihan, saya perlu bertemu dengan Mas Miftah. Bukan sebagai pelaku praktik pesugihan, namun sosok yang punya kedekatan personal dengan hal-hal yang berkaitan dengan pesugihan.
Kebetulan, Mas Miftah memiliki kemampuan “khusus”. Kemampuan khusus itu belakangan ini dia manfaatkan untuk menemukan dan mengembalikan uang yang hilang secara aneh. Bukan hilang karena jatuh ya, melainkan hilang karena ada kaitannya dengan praktik gaib yang dilakukan pihak lain.
Orang kedua yang saya temui dikenal sebagai Raden Darmokusumo atau Den Darmo. Blio juga bukan praktisi pesugihan, namun seperti Mas Miftah, blio punya kemampuan spesial perkara hal gaib.
Secara khusus, Den Darmo sejatinya dikenal sebagai orang yang mampu mencarikan pendamping. Bukan pendamping hidup yang terikat pernikahan. Yang dimaksud pendamping adalah pendamping gaib. Mungkin Anda mengenal istilah pendamping ini sebagai “khodam” atau “cekelan”.
Nah, dari kedua master ini, saya mencoba mencari tahu budaya yang mungkin sudah setua usia peradaban Nusantara.
“Pesugihan adalah laku yang dilakukan manusia untuk meminta tolong pada (makhluk) gaib. Pertolongan yang dimaksud adalah pertolongan perihal rezeki,” ujar Mas Miftah.
Pesugihan tidak seperti Anda bermain saham atau menambang bitcoin. Menurut Miftah, pesugihan lebih mirip orang yang meminjam sesuatu pada teman atau bank. Benar-benar seperti orang yang berutang.
Pesugihan sering disalahartikan dengan praktik penglaris yang sering ditemui pada usaha seperti warung makan. Nah, Mas Miftah dan Den Darmo kemudian meluruskan hal ini. Bahwa sebenarnya ada perbedaan krusial di antara pesugihan dengan penglaris.
Penglaris adalah laku meminta tolong pada hal gaib untuk membantu usaha yang sedang dijalani, bisa dianggap seperti seseorang yang meminta tolong influencer untuk mempromosikan usahanya. Atau membantu untuk melarisi dagangan.
Artinya, pelakunya sudah memiliki usaha secara riil dulu. Baru hal gaib ini sifatnya “membantu” memaksimalkan penjualan. Nah, orang seperti Den Darmo dapat membantu mempertemukan sang pedagang dengan influencer gaib ini. Hm, jangan-jangan Den Darmo ini manajer dari agensi pergaiban?
Nah, beda dengan penglaris, pesugihan tak memerlukan usaha fisik itu. Dalam pesugihan, rezeki yang diharapkan bisa diperoleh tanpa melakukan usaha “normal” seperti berdagang. Uang yang dimohonkan dalam akan datang secara ajaib. Inilah garis perbedaan utama antara pesugihan dengan penglaris.
Dalam pesugihan, ada standart operation procedur (SOP) yang harus dilakukan. Ada proses yang cukup panjang dan berdarah-darah pula di sana. Oleh karena itu, istilah orang “kaya mendadak” atau “kaya secara instan” sebenarnya tidak tepat disematkan pada pelaku praktik pesugihan.
SOP yang dikenal dengan istilah laku ini masing-masing berbeda tergantung jenis pesugihannya.
Mas Miftah menekankan, laku yang harus dilakukan dalam praktik pesugihan ditentukan oleh cara yang diminta makhluk gaib mana yang dimintai tolong.
Namun, membicarakan laku apa saja yang biasa dilakukan, Mas Miftah menolak untuk menerangkannya. Menurutnya, membicarakan laku praktik pesugihan ini tidak bijak.
“Jika Anda ingin tahu, silakan datangi lokasi pesugihan dan praktikkan sendiri,” ujar Mas Miftah.
Hayolo, berani?
Tantangan ini diberikan Mas Miftah ke saya karena memang tak elok membicarakan urusan teknis praktik pesugihan. Katanya, hal itu terkesan membongkar “resep”.
Meski begitu, Mas Miftah masih berkenan memberikan informasi tentang SOP pesugihan secara umum. Yah, lumayan lah, ketimbang nggak dapat info apa-apa.
Nah, tadi sudah disampaikan bahwa jenis pesugihan itu kan beragam, dan karena beragam maka SOP-nya pun juga beragam. Seperti saat kita pinjam uang ke bank, ada bank A, B, dan C. Dari sana, kita bisa tahu setiap bank pun punya detail syarat yang berbeda-beda. Begitu pula dengan praktik pesugihan.
Dalam praktik pesugihan, SOP yang pertama perlu dilakukan adalah mendatangi lokasi pesugihan. Ya jelas lah. Seperti wajarnya orang yang mau berutang, Anda harus mendatangi lokasi tempat berutang.
Soalnya, kedatangan seseorang ke tempat pesugihan adalah bentuk awal dari ketulusan permintaan tolong ini. Masak sudah mau minta tolong tapi ongkang-ongkang kaki di rumah nunggu ditolongin?
Langkah kedua adalah menyiapkan syarat.
Nah, syarat yang dimaksud adalah persiapan segenap perlengkapan dan laku yang diperlukan dalam praktik pesugihan. Ibaratnya materi dan metode dalam penelitian, atau bahan baku dan resep saat memasak. Untuk mengetahui syarat ini, pelaku perlu menemui juru kunci atau dukun lokasi pesugihan.
Perlu diluruskan, umumnya juru kunci atau dukun hanya menjabarkan SOP pesugihan dan menghantarkan ke lokasi pesugihan. Mereka tidak melakukan praktik atas nama pelaku pesugihan. Mereka juga tidak memungut biaya dari praktik.
Paling banter mereka hanya menjual beberapa perlengkapan syarat praktik. Mas Miftah memandang bahwa dukun yang menarik biaya pesugihan itu sebagai dukun culas. Bahkan bisa dibilang itu dukun palsu.
Hal ini juga diamini oleh Den Darmo. Fenomena dukun palsu ini juga sangat memprihatinkan. Banyak orang yang sedang terpuruk harus pada akhirnya terjebak dengan dukun-dukun palsu ini.
Den Darmo bahkan menyarankan agar para pemula jangan terbuai janji manis “dukun”. Jadilah praktisi pesugihan yang kritis. Cari informasi sebanyak-banyaknya dan datangi sendiri lokasinya.
Setelah mengetahui dan menyiapkan syarat, pelaku akan melakukan tirakat. Tirakat yang dimaksud adalah segala bentuk kegiatan untuk mendapatkan pesugihan. Bisa dengan meditasi atau semedi, bisa juga dengan merapalkan doa tertentu.
Tirakat ini dilakukan sendiri di lokasi pesugihan. Sedangkan juru kunci atau dukun kadang hanya menemani, atau diminta saja untuk pulang ke rumah agar tidak mengganggu.
Setelah pesugihan terlaksana, maka pelaku harus melakukan syarat terakhir untuk memutus karma pesugihan. Sederhananya, seperti membayar utang agar tidak ditagih.
Syarat terakhir ini juga beragam sesuai SOP dari pesugihannya. Ada yang sesederhana melakukan doa dan semedi, ada yang harus membayar mahar.
Misalnya pesugihan dengan medium tuyul. Tuyul memiliki jangka waktu tertentu untuk bekerja. Setelah jangka waktu tersebut selesai, maka tuyul akan meminta mahar atau fee dari kerja yang dilakukan.
Sebagai contoh, ada tuyul yang memiliki fee 5 juta rupiah. Maka si pelaku harus memastikan uang yang diperoleh tuyul lebih dari 5 juta supaya tidak rugi. Sayangnya, perkara memastikan ini tidak bisa dijelaskan lebih lanjut, mylov. Baik dari Mas Miftah maupun Den Darmo.
Nah, seringkali pelaku pesugihan (pura-pura) lupa pada syarat terakhir. Ada yang mangkir dari syarat terakhir ini sehingga karma belum terputus. Dan situasi inilah yang berbahaya.
Persis seperti kita mangkir bayar cicilan utang ke bank atau kredit motor, risiko kita akan diburu debt collector. Masalahnya, tidak seperti perjanjian dalam utang dengan bank, mangkir dari pesugihan benar-benar bisa menimbulkan bencana.
Dari kebakaran, jatuh miskin, sampai kematian sanak saudara. Nah, kejadian-kejadian-kejadian akibat mangkir “bayar utang” ini sering dipandang sebagai tumbal.
Lalu, bagaimana kita bersikap kepada praktik pesugihan?
Mas Miftah menekankan bahwa praktik ini bukan praktik kemarin sore. Pesugihan telah dilakukan jauh sekali sejak sebelum. Maka, Mas Miftah berharap agar pihak yang tidak mempercayai pesugihan untuk tetap memberi tempat terhadap orang yang mempercayai fenomena ini.
Den Darmo juga berpendapat serupa. Praktik pesugihan adalah pengharapan terakhir bagi pelakunya. Blio juga berharap adanya sikap menghargai kepercayaan orang yang masih melakukan laku praktik semacam ini.
Sebenarnya, masih banyak yang ingin kami bahas bahkan di luar praktek pesugihan. Sayang sekali, kilau lampu strobo dari polisi sudah nampak dan siap membubarkan lokasi tempat kami bertemu.
Sedangkan diskusi dengan Den Darmo juga harus terputus karena blio ingin tidur. Namanya juga anak, saya jelas tidak boleh mengganggu waktu istirahat bapak sendiri.
BACA JUGA Pesugihan Demit, Siluman Politik, dan Kekhalifahan yang Melingsir dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya