Warung Pak Ndut Pinus, Jogja, harus jualan dengan kondisi nelangsa. Niat hati memberi keleluasaan pembeli biar selalu berlangganan, tapi justru terus rugi karena kecolongan mahasiswa-mahasiswa UIN Sunan Kalijaga (UIN Jogja) yang sering makan tapi lari nggak bayar.
***
Semerbak aroma sambal teri sangat nyegrak di hidung saat saya masuk ke Warung Pak Ndut Pinus. Persisnya di Demangan, Gondokusuman, Jogja, belakang kampus UIN Jogja pada Selasa (28/5/2024). Setiba di sana, terlihat beberapa mahasiswa UIN Jogja yang baru menandaskan makanan di piring masing-masing.
Jam menunjukkan pukul 15.30 WIB. Nasi di rice cooker hanya tinggal sisa-sisa terakhir. Begitu juga dengan lauk yang terpampang di etalase. Hanya tinggal beberapa potong telur dadar, lalu sisa-sisa bihun, tempe orek, dan sambal teri.
Saya lalu meraih piring di dekat dapur, menyendok seporsi kecil nasi, sepotong telur dadar, lalu menyampurnya dengan tempe orek dan sambal teri. Uh, aroma sambalnya benar-benar menggoda.
Saya kemudian memilih duduk di bangku luar. Ada beberapa pohon tertanam di halaman Warung Pak Ndut Pinus, Gondokusuman Jogja. Termasuk juga pohon pinus. Saya selalu suka duduk-duduk di bawah pohon.
Btw, sistem di Warung Pak Ndut Pinus memang pembeli ambil sendiri alias prasmanan.
Saat saya mengambil nasi dan lauk, tak ada pantauan khusus. Dua orang perempuan yang ada di dapur sibuk beres-beres karena jam lima sore warung sudah harus tutup.
Dari tukang becak pilih buka warung di Gondokusuman Jogja
Usai membayar menu yang saya makan, seorang perempuan yang tengah sibuk menata piring di dapur mengarahkan saya untuk ke area belakang warung. Pemilik warung ada di sana, sedang mencuci baju.
Kalau saya mau ngobrol dengan pemilik warung, perempuan yang ternyata adalah istri pemilik warung itu mempersilakan saya menyusul ke belakang. Saya pun menghampiri sosok pria gendut yang lantas menyambut saya dengan sangat ramah. Ia meninggalkan sejenak cuciannya, lalu menyediakan ruang untuk saya tanya-tanya.
“Kalau buka warung ini kira-kira ya tahun 2015. Kalau sebelumnya jadi tukang becak sejak 1991,” ujar pemilik warung Bernama Wagimin (54), pria asal Boyolali, Jawa Tengah.
Dulu Wagimin dan dua orang teman tukang becaknya sering mangkal di sebuah lahan yang kini menjadi Hotel Saphir Jogja. Lalu saat lahan tersebut hendak dibangun menjadi hotel pada 2014, Wagimin dan dua temannya mendapat izin untuk buka angkringan di sana sebagai tempat ngaso bagi para tukang.
“Setelah hotel jadi kan sudah nggak boleh buka angkringan lagi. Tapi sudah dapat modal, akhirnya buka warung. Kalau dua teman saya balik jadi tukang becak lagi,” terang Wagimin. Lalu buka lah Warung Pak Ndut Pinus di Gondokusuman Jogja. Dengan harapan pendapatan bulanannya bakal lebih baik dari penghasilan sebagai tukang becak.
Nama Pak Ndut merujuk pada sosok Wagiman yang memang berbadan gendut. Sementara Pinus merujuk pada sebuah pohoh pinus yang tertanam di sebelah warung.
Sejak buka pada 2015 tersebut, pelanggan di Warung Pak Ndut Pinus Gondokusuma Jogja beragam. Ada mahasiswa UIN Jogja, staf kampus, dosen, ojol, hingga karyawan di kantor-kantor sekitar.
Dilema dengan sistem prasmanan
Sejak awal buka, Wagimin memang langsung menerapkan sistem prasmanan sekaligus dengan harga murah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menggaet sebanyak-banyaknya pembeli.
Bertahun-tahun cara tersebut memang berhasil. Warung Pak Ndut di Gondokusuman Jogja memang akhirnya banyak pembeli, khsusunya dari mahasiswa UIN Jogja. Hanya saja semakin ke sini sistem prasmanan justru membuatnya agak mengkis-mengkis. Sulit sekali mencari untung.
“Tapi sekarang kalau nggak prasmanan ya nggak laku. Wong saya naikkan harganya saja pendapatan sudah turun 30 persen,” keluh Wagimin dengan mengernyitkan dahi.
“Saya naikkan mulai awal 2024 lalu saat bahan pokok naik semua. Eh malah satu bulan itu bisa minus Rp500 ribu,” sambung sosok kalem tersebut.
Oleh karena itu, sebagai tambah-tambahan, Pak Wagimin sampai saat ini masih sering narik becak. Terutama di momen-momen liburan.
Katanya, setiap musim liburan, becak masih cukup banyak peminat dari wisatawan. Namun desas-desus soal larangan study tour keluar kota membuat Wagimin juga agak nelangsa.
Baca halaman selanjutnya…
Mahasiswa UIN Jogja nyolong tanpa rasa malu