Mojok.co mendengar keluh kesah beberapa wali santri atas kenyataan bahwa kini makin banyak pesantren yang berbiaya mahal. Pesantren yang dulu begitu dekat dengan orang-orang kecil di desa, kini justru terasa sangat jauh dan eksklusif.
***
Tak bisa dimungkiri, bahwa selama ini pesantren menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi orang-orang kecil pedesaan. Khususnya pesantren-pesantren kecil salaf, yakni pesantren yang memang hanya fokus pada pendidikan agama berbasis kitab kuning. Alias full ngaji.
Pasalnya, dibanding sekolah umum atau pesantren modern (pesantren+sekolah umum), pesantren salaf biasanya menawarkan biaya yang jauh lebih ramah bagi wong-wong deso, yang notabenenya berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Ya mungkin beberapa dari kita sering dengar, bahwa pesantren salaf adalah solusi bagi orang tua yang “tidak punya uang” untuk menyekolahkan anak, akhirnya memilih pesantren sebagai alternatif pendidikan.
Nah, bagaimana jadinya kalau semakin ke sini justru banyak pesantren salaf yang ikut-ikutan menjadi mahal? Itulah problem yang saya dengar dari beberapa orang di sekitar saya belakangan ini.
Kaget biaya di pesantren kecil mulai ikut mahal
Salah seorang kawan, Halimah (24) mengungkapkan kekagetannya pada saya setelah mengetahui biaya masuk pesantren adiknya di sebuah pesantren kecil di Jombang, Jawa Timur.
Bagaimana tidak kaget. Ia mengaku harus mengeluarkan biaya masuk tidak kurang dari Rp10 juta, dengan uang bulanan di kisaran Rp2 juta-Rp3 juta.
“Padahal, tujuh tahunan lalu, pas zamanku, biaya pendaftaran masih di angka Rp5 jutaan. SPP Rp1 jutaan per bulan,” ujarnya saat berbincang dengan saya dalam satu kesempatan.
Ia kaget mengetahui fakta bahwa pesantren salaf kini tak ada bedanya dengan sekolah-sekolah umum dan pesantren modern besar.
Sebab, seperti yang saya singgung sebelumnya, pesantren salaf—apalagi yang kecil—pada dasarnya kan solusi pendidikan murah. Kalau sekarang biaya pendaftaran dan bulanannya jadi sangat mahal, tentu akan makin banyak orang-orang kecil desa yang tak punya akses pendidikan bagi anak-anaknya.
Halimah sendiri mengakui bahwa secara fasilitas, tak ada perbedaan signifikan di pesantrennya itu antara sekarang dan tujuh tahun silam. Nyaris tak ada yang berubah. Itulah yang membuatnya jadi terheran-heran. Kok naiknya drastis banget?
“Dulu ibaratnya kan nggak punya uang, ya sudah mondok saja. Sekarang malah makin parah. Nggak punya uang, ya sudah nggak usah sekolah, nggak usah mondok. Lah gimana, mahal semua e,” ujar kawan saya itu.
Tapi karena faktor kedekatan dengan pengasuh dan pengurus pesantren, tentu setelah berembuk dengan kedua orang tuanya, Halimah pun tetap memasukkan adiknya di pesantren tersebut.
“Untuk daftar awal, uang sebesar itu (Rp10 juta) memang ya cari-cari pinjaman dulu. Tapi kalau bulanannya, Bapak toh bilang masih sanggup. Bapak kerjanya PNS,” ujar Halimah.
Berburu pesantren murah
Paman saya, Arif Sairoji (38) sempat kebingungan saat hendak memasukkan puterinya ke pesantren.
Sang anak yang baru saja lulus SD sempat berkeinginan masuk satu pesantren dengan anak tetangganya, di sebuah pesantren modern baru di Ponorogo, Jawa Timur. Tapi, saat tahu rincian biayanya, Pakdhe Arif (demikian saya memanggilnya) pun memilih mundur.
“Rp20 atau Rp25 juta gitu daftarnya. SPP-nya Rp2,5 juta. Ibaratnya ini masih SMP loh, tapi biayanya sudah kayak kuliah. Terus terang aku nggak sanggup,” ungkap pria yang kini berdomisili Madiun, Jawa Timur itu.
Pakdhe Arif lalu meminta saya mencari info pesantren antara Nganjuk dan Jombang, Jawa Timur. Lalu, ketemulah sebuah pesantren di pelosok Nganjuk dengan biaya yang ia sanggupi.
Sebab, setelah mencari-cari info di Jombang, rata-rata memiliki biaya yang kemungkinan akan sulit disanggupi oleh Pakdhe Arif.
Begitu juga yang tetangga saya alami, Catur (36), yang memutuskan memindahkan anaknya dari sebuah pesantren di Kudus, Jawa Tengah, ke sebuah pesantren kecil di Narukan, Rembang, Jawa Tengah.
Alasannya, lama-kelamaan, ia tak cukup sanggup mengeluarkan bulanan Rp3,5 juta untuk SPP pesantren sang anak. Akhirnya ia memilih pesantren kecil di pelosok Narukan yang bulanannya hanya Rp300 ribuan.
“Dulu daftarnya Rp7 juta yang di Kudus itu. Sebelumnya malah mau diarahkan saudara ke Mojokerto, seingatku biayanya Rp20 jutaan. Tapi menimbang-nimbang jarak dan kesanggupan, akhirnya ke Kudus saja,” kata Catur.
Biaya pesantren yang dianggap wajar bagi orang kecil
Menurut Pakdhe Arif, biaya normal bagi orang-orang kecil desa adalah biaya pendaftaran tak sampai puluhan juta, lalu uang SPP tak sampai jutaan.
Bayangannya adalah seperti biaya pesantren saya di Lasem, Jawa Tengah yang dari dulu hingga sekarang masih konsisten. Daftar hanya Rp1 juta-Rp3 jutaan, bulanan hanya Rp200 ribuan.
Ya meskipun tidak bisa dimungkiri, dari hasil survei ala-ala pada beberapa pesantren di Lasem, satu per satu juga sudah mulai mengalami kenaikan biaya yang signifikan.
“Misalnya ada yang bilang begini, biaya pesantren itu tergantung kelasnya. Ada yang modern ada yang biasa. Tapi di benak orang awam seperti saya, ekspektasinya pesantren itu ya murah. Karena dalam sejarahnya, bukannya pesantren itu memang harusnya untuk orang-orang kecil,” keluhnya.
Ia lalu menyinggung soal era Wali Songo hingga era pendiri-pendiri NU. Di mana saat itu pesantren terkesan sangat dekat bahkan identik dengan orang-orang kecil. Salah satu referensinya (mohon dicatat, sebagai orang awam) adalah film Sang Kiai.
Di awal film, penonton menyaksikan adegan kesahajaan sosok Hadratusysyaikh KH. Hasyim Asy’ari saat mengizinkan seorang santri miskin untuk nyantri di Tebuireng meski tanpa menyerahkan mahar pendaftaran yang di film itu berupa hasil bumi.
Pesantren salaf bertransformasi jadi pesantren modern
Seiring perkembangan zaman, guna menjawab banyak tantangan kiwari, banyak pesantren-pesantren salaf yang bertransformasi menjadi pesantren modern. Dengan fasilitas lebih komplit, dengan metode pembelajaran yang lebih kontekstual.
Perubahan pun akhirnya tak berhenti hanya pada segi sarana prasarana dan metode pendidikan saja. Aspek biaya pun ikut mengalami penyesuaian.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Isqomar, sekretaris Majelis Masyayikh Pesantren Indonesia, saat saya ajak diskusi baru-baru ini.
“Sebenarnya kasuistik. Masih banyak kok pesantren salaf yang bertahan pada prinsipnya. Contoh, di kampung halaman saya di Madura. Masih banyak pesantren salaf dengan biaya sangat murah. SPP Rp100 ribu per bulan itu sudah mentok,” bebernya.
“Tapi ya banyak juga pesantren salaf yang bertransformasi jadi modern. Ada banyak faktor yang, secara garis besar, tidak lain demi perbaikan mutu. Dimahalkan, tapi mutu dan kualitasnya meningkat juga. Fasilitasnya juga jadi lebih bagus,” tambahnya.
Ilmu dari kitab kuning tak kalah mahal dari ilmu di universitas
Menyambung keterangan singkat Isqomar, memang ada beberapa alasan kenapa pesantren kecil atau pesantren salaf kini terkesan ikut-ikutan mahal. Bahkan, ada yang sampai bertransformasi menjadi pesantren modern.
Kenapa harus menjadi mahal? Di nadhom Allala, salah satu kitab dasar di pesantren, salah satu effort dalam menuntut ilmu itu ya memang biaya.
Tapi lebih luas dari itu, mengutip dari NU Online, disebutkan bahwa pesantren memang sudah semestinya mahal. Mengingat, ilmu-ilmu dalam kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dulu juga pengerjaannya dengan proses yang panjang dan tak mudah. Tak kalah dari ilmu-ilmu yang diajarkan di universitas.
Misalnya saja, adanya kitab-kitab hadits yang dipelajari di pesantren, dulu dalam masa penyusunannya, itu sang rawi (periwayat) atau mualif (pengarang) harus menempuh jarak ratusan kilometer, menempuh perjalanan darat dan laut hingga berhari-hari, hanya untuk mengonfirmasi kesahihan satu hadits saja dari ulama yang kredibel.
Misalnya lagi, dalam kasus ilmu Fikih. Dulu, untuk merumuskan hukum terkait haid, Imam Syafii harus melalui proses observasi panjang atas kasus-kasus haid pada wanita di sekitarnya. Dan tentu masih banyak permisalan yang lain.
Nah, salah satu faktor kenapa pesantren sudah semestinya mahal, jika merujuk argumen tersebut, adalah sebagai bentuk penghargaan atas ilmu dari kitab kuning. Sebagai penegasan bahwa ilmu kitab kuning tak kalah dari ilmu kedokteran umum, ilmu teknik, dan lain-lain di universitas.
Saya jadi ingat salah satu penggalan ceramah Gus Baha, yang mengatakan bahwa santri tidak boleh minder. Kalau ada orang cukup percaya diri memasang plakat “dokter” atau “lawyer” (misalkan) di depan rumahnya, harusnya santri juga tidak boleh minder untuk memasang plakat bertuliskan “ahli Fikih” atau “ahli Nahwu” di rumahnya. Sebagai tanda bahwa ilmu dari kitab kuning itu juga sama mahalnya.
Lulusan pesantren harus setara dengan sarjana bahkan doktor
Atas hal-hal tersebut, mutu pesantren harus ditingkatkan. Di mana di antara upayanya adalah dengan melahirkan pesantren-pesantren modern, yang selain ngaji juga menyediakan lembaga pendidikan formal dari jenjang SMP, SMA, hingga perguruan tinggi, serta menyediakan beragam ekstrakulikuler yang orientasinya konkrit untuk bekal para santri saat terjun ke dunia kerja.
Malah menurut Isqomar, lulusan pesantren salaf pun kini tengah diupayakan agar dapat pengakuan yang setara dengan para sarjana.
Artinya, ijazah pesantren salaf memiliki nilai/bobot yang sama dengan ijazah yang dikeluarkan oleh kampus. Karena yang bicara bukan ijazahnya, tapi kompetensi individunya.
“Contoh Gus Baha. Beliau bisa jadi dosen istimewa di UII karena kualitas intelektualnya. Walaupun beliau tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Full nyantri di pesantren salaf. Gambarannya kira-kira kayak gitu,” jelas Isqomar.
“Nah, Majelis Masyayikh saat ini berdiskusi dengan banyak pesantren untuk misi tersebut. Tapi urusan kebijakan administrasi tetap sepenuhnya di tangan pesantren yang bersangkutan. Kalau salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pesantren adalah dengan menaikkan biaya administrasi, atau misalnya memang perlu bertransformasi menjadi pesantren modern, ya monggo-monggo saja,” paparnya.
Menghapus stigma ‘ngenes’ pesantren
Selama ini, pesantren memang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional yang sangat erat dengan citra ngenes nan memprihatinkan.
Sebut saja yang paling umum adalah fasilitas seperti tempat tidur yang seadanya, kamar mandi kumuh, atau makan yang kurang dan jauh dari kata enak. Di pesantren saya di Lasem, Jawa Tengah, dulu makan paling sering adalah lauk tempe dan ote-ote+sayur lodeh.
Untuk menghapus stigma tersebut, banyak pesantren yang akhirnya memutuskan menyediakan fasilitas yang memadai. Beberapa pesantren besar bahkan menyediakan kasur empuk dan kamar ber-AC. Menu makanannya pun tak jauh-jauh dari daging-dagingan. Ayam atau telur dadar lah yang paling jelek.
Santri harus nyaman belajar
Selain menghapus stigma ngenes dan prihatin, jika fasilitas memadai dan kebutuhan makan terpenuhi dengan baik, maka para santri jadi lebih nyaman dalam belajar. Dan tentunya jadi lebih betah tinggal di pesantren.
Panji Gumilang, pimpinan pesantren Al Zaytun yang kontroversial itu, dalam reportase yang ditulis oleh Dahlan Iskan membeberkan bahwa ia memiliki komitmen menyediakan menu mewah di pesantrennya. Daging dan salmon jadi menu sehari-hari.
Alasannya, gimana santri dituntut bermutu kalau makan kurang dan nggak enak, gizi nggak tercukupi dengan baik?
Biaya pesantren mahal untuk mengakomodasi orang-orang kelas atas
Terakhir, pesantren mahal yang disusul dengan fasilitas-fasilitas mewah itu tidak lain juga untuk mengakomodasi kalangan atas.
Seorang pengasuh salah satu pondok modern yang cukup besar dan terkenal di Sidoarjo, Jawa Timur, pernah terang-terangan mengatakan bahwa tujuan adanya pesantren modern dengan biaya mahal adalah untuk menampung orang-orang berduit yang ingin memondokkan anaknya.
Hal ini seperti disampaikan oleh Ustaz Hilmi Musyaffa (26), wakil pengasuh di sebuah pesantren kecil di Sidoarjo saat kami berbincang tentang fenomena pesantren mahal.
“Ada juga pengasuh salah satu pondok besar Jombang yang pernah dawuh demikian. Pondok mahal itu sengaja menyasar kalangan-kalangan atas,” ungkapnya.
“Karena banyak juga orang-orang kalangan atas yang ingin anak-anaknya terdidik secara pesantren. Agar si anak-anak orang kalangan atas ini betah di pesantren, tentu perlu fasilitas yang membuat mereka nyaman,” lanjutnya.
Menerka pesantren di masa mendatang
Ya jadi kira-kira itulah faktor-faktor kenapa sekarang banyak pesantren yang menjadi mahal.
Masalahnya, makin menjamurnya pesantren mahal malah seolah menjadi ancaman bagi orang-orang kecil desa.
Sebab, jika seiring waktu tak dijumpai lagi pesantren salaf kecil dengan biaya terjangkau, maka orang-orang kecil desa benar-benar tak punya lembaga pendidikan alternatif.
Sepengakuan Ustaz Hilmi, pesantren tempatnya mengabdi saja sudah menjadi pesantren yang langka.
Pesantrennya menjadi pesantren yang masih bertahan dengan khidmah berbiaya amat sangat murah, di tengah pesantren-pesantren di sekitarnya—apalagi di Sidoarjo dan Surabaya secara umum—yang cenderung eksklusif.
“Saya tidak berani menyebutnya masalah. Tapi memang mengkhawatirkan. Saat ini mungkin masih banyak pesantren salaf kecil yang masih bertahan. Tapi entah suatu hari nanti masih ada atau tidak. Kalau semuanya jadi mahal, sepertinya orang-orang kecil makin keberatan soal pendidikan anak,” tambahnya.
Meski begitu, Ustaz Hilmi tetap mencoba berkeyakinan seperti yang pernah disampaikan Gus Baha. Bahwa agama Islam adalah agama Allah. Maka Allah punya sekian banyak cara untuk menjaga agamanya agar tetap eksis dan tersampaikan pada umat manusia.
“Siapa tahu di masa mendatang Allah jadikan semua orang mampu mondokkan anaknya. Semahal apapun biayanya. Tapi misalnya kok sebaliknya, nggak ada ya mondok, paling lak kiamat se,” sambungnya sembari berkelakar.
Biaya pesantren mahal hilangkan kesan barokah dan tirakatan
Dalam persepsi orang-orang kecil desa, paling tidak di benak Pakdhe Arif, fasilitas pesantren itu ya memang sudah sewajarnya apa adanya. Karena pesantren memang seharusnya jadi wadah bagi santri untuk laku tirakat. Di mana dari laku tirakat itulah akan mudah mendapat barokah.
Sebab, selain ilmu, barokah dalam banyak wujud memang menjadi hal yang umumnya para santri salaf buru.
Masih dalam pandangan Pakdhe Arif, nyantri kurang lengkap kalau tidak ada laku prihatinnya. Tidak ada ngenes-ngenesnya. Mangkanya, tidak salah jika Pakdhe Arif kaget saat mendengar cerita bahwa pesantren sekarang enak. Tidur di kasur, kamar ber-AC, makannya daging-daging.
“Mondok kok enak begitu. Mondok itu kan aslinya latihan hidup. Latihan menghadapi situasi sengsara,” katanya.
“Kata kiai-kiai desa dulu, kenapa santri-santri zaman dulu mondoknya hasil-hasil semua, salah satu faktornya kan karena tirakat. Zaman dulu kan makan ya masak sendiri, tidurnya nggak pakai alas, desak-desakan di kamar kecil,” imbuhnya.
Bagi orang-orang kecil desa, tidak masalah jika fasilitas dan makanan di pesantren ala kadarnya. Yang penting anak-anak mereka bisa lanjut mendapat pendidikan dengan biaya murah.
Tapi, kegamangan Pakdhe Arif—dan mungkin juga banyak orang tua di luar sana—pada pesantren mahal sebenarnya bukan sepenuhnya karena mereka enggan menerima faktor-faktor yang saya paparkan sebelumnya. Bukan karena tak menghargai ilmu atau tak mau mengikuti perkembangan zaman. Cuma satu, biaya.
“Wong niatnya mondokin anak karena tak punya biaya banyak, eh daftar pesantren jebul malah puluhan juta. Mumet!” keluh Pakdhe Arif.
Reporter: Muchammad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Muhammad Tri, Lulusan Sejarah UGM yang Merawat Ratusan ODGJ dengan Salat dan Zikir
Cek berita dan artikel lainnya di Google News