Di Warung Basuki Jogja watak tak terpuji mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) terbongkar. Mahasiswa dengan gaya elite tapi bayar makan sulit. Watak yang sampai membuat pemilik Warung Basuki jengah.
***
Setiba di kawasan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), saya mencoba menyisir beberapa warung yang tengah ramai mahasiwa. Sayangnya, rata-rata warung yang ramai dan padat di daerah belakang UMY adalah Warmindo. Terlalu biasa.
Maka saya memutuskan untuk menyisir ke sudut lain. Persisnya di Jl. Kemangi (samping UMY), saya menemukan warung dengan suasana favorit saya: di bawah pohon.
Terlebih, warung tersebut berbahan bangunan full kayu. Lalu ada gezobo kecil di luar warung. Lengkap dengan beberapa jenis pehon yang tumbuh rindang di sisi samping dan depan warung.
Tertulis “Warung Makan Laris” di bagian depan warung dengan list menu yang ditawarkan. Saya pun langsung sreg untuk mampir. Jam menunjukkan pukul 11.33 WIB. Masih sangat lama untuk menuju pukul 13.00 WIB, jam di maan saya harus mengisi kelas menulis untuk Korps Mahasiswa HI (Komahi) UMY siang itu, Rabu (5/6/2024).
Di Warung Basuki Jogja silakan ambil sendiri
Tak berbeda dengan banyak warung dekat kampus-kampus Jogja yang sudah saya jajal sebelumnya, di Warung Basuki pembeli—yang kebanyakan mahasiswa—bisa ambil sendiri alias prasmanan.
Oh iya, Warung Makan Laris juga dikenal oleh beberapa mahasiswa dengan nama Warung Basuki. Hal itu merujuk pada nama si pemilik warung, Basuki.
Siang itu kondisi warung belum terlalu ramai. Karena memang umumnya mahasiswa baru akan istirahat antara jam 12 siang sampai jam 1 siang.
Saya lalu mengantre untuk mengambil nasi dan lauk di etalase yang terletak di bagian depan warung. Beberapa mahasiswa yang sudah lebih dulu makan juga tampak kembali antre untuk tambah sayur dan gorengan.
“Dari dulu memang sudah bikin prasmanan. Jadi sampai sekarang ya prasmanan,” ujar Bu Basuki (42), istri Pak Basuki yang kemudian saya wawancara di sela-sela waktu ngasonya.
Jengah dengan watak buruk mahasiswa UMY
Kata Bu Basuki, Warung Basuki buka di Jl. Kemangi (samping UMY) sudah sejak 2012 silam, dengan konsep yang sama persis dengan yang saya lihat hari itu. Yakni bangunan serba kayu dan rindang pepohonan, alias menyuguhkan hawa desa.
Mengingat, Bu Basuki sendiri berasal dari sebuah desa di Gunungkidul, Jogja. Sehingga konsepnya dibuat ala-ala desa.
“Tapi sebelumnya memang sudah buka warung. Persisnya di daerah Ngebel, Bantul. Atas berbagai pertimbangan, akhirnya pilih ngontrak di sini, buat warung sekaligus tempat tinggal,” ungkap Bu Basuki sembari sesekali menyeka keringat yang bercuruan dari dahinya. Maklum, kami malakukan wawancara di bagian dapur.
Sistem prasmanan di Warung Basuki, Jogja, di satu sisi ternyata menunjukkan watak-watak buruk mahasiswa UMY. Sepengakuan Bu Basuki, tidak sedikit mahasiswa dari salah satu kampus elite Jogja tersebut makan tapi tak bayar.
“Tapi ya mau gimana lagi. Kalau ngambilin satu-satu nggak ngatasi tenaganya,” tutur Bu Basuki lesu.
“Itu tanggung jawab masing-masing lah, mau bayar atau nggak,” sambungnya.
Mahasiswa UMY yang sekali pesan untuk nongkrong seharian
Model Warung Basuki, Jogja, memang tak cuma untuk makan, tapi juga untuk nongkrong. Apalagi ada juga tambahaan WiFi.
Jadi tak heran jika setelah makan banyak mahasiswa UMY yang masih duduk santai. Entah main game, entah membuka laptop, entah diskusi, bahkan ada juga yang tidur-tiduran untuk menunggu jam kuliah berikutnya. Setidaknya begitulah pemandangan yang saya dapati di siang yang terik itu.
“Banyak mahasiswa yang langganan jadi akrab, khususnya anak-anak Teknik Sipil,” ucap Bu Basuki. Mahasiswa Teknik Sipil UMY itu bahkan bisa seharian nongkrong di Warung Basuki, Jogja.
“Saat mau berangkat kuliah, istirahat, hingga sebelum pulang kost bisa mompar-mampir sini. Sini tutupnya jam 8 malam. Jadi nggak masalah kalau ada yang mau nongkrong-nongkrong dulu,” terang pemilik Warung Basuki, Jogja, itu.
Baca halaman selanjutnya…