Mahasiswa ITS dan UNY yang di ujung tanduk jelang drop out menceritakan hari mereka yang penuh tekanan dan kesepian. Sendirian berjuang mengamankan gelar sarjana.
***
Sudah dua pekan, Mabrur (25) tidak keluar kamar kos selain untuk membeli makan. Hari-hari ia lewati dalam kesendirian. Teman sejatinya hanya hp dan laptop. Teman kuliahnya dulu, sudah berpencar menjalani karir dan kehidupan pascakuliah.
“Sekarang tinggal ada empat orang termasuk aku di angkatan yang belum lulus,” ungkapnya.
Terakhir ia keluar, saat ada seorang temannya datang ke Surabaya karena tugas kerja. Mabrur berusaha tetap senang melihat teman seperjuangannya dulu sudah punya karir yang lumayan cemerlang. Sementara dirinya, masih berkutat dengan usaha menyelamatkan diri dari drop out.
Sedikit demi sedikit ia berusaha menuntaskan tugas akhirnya di ITS. Saat ini, ia berada di penghujung semester ke-13. Semester depan adalah pertaruhan. Jika ia tidak menuntaskan tugas akhirnya yang berupa pembuatan produk teknologi beserta laporan panjangnya, maka drop out menanti. Gelar sarjana bisa pupus.
Tugas akhirnya di ITS berupa pembuatan alat pendeteksi gas yang dilengkapi dengan sensor GPS. Tujuannya untuk dipasang di helm pekerja tambang. Sejauh ini, proposal tugas akhir itu sudah mendapat persetujuan dari dua dosen pembimbingnya.
“Tapi mereka sibuk jadi jarang bisa bimbingan langsung,” ujarnya agak sedikit pasrah.
Kesepian sampai bicara sendiri
Meski masih punya tiga teman seangkatan di ITS yang sama-sama berjuang menghindari drop out, mereka tidak saling kontak intens. Ada temannya yang mengurung diri karena tertekan. Setiap Mabrur mengajak untuk mengerjakan tugas akhir bersama, pasti menolak dengan berbagai alasan.
Saat ini, ia mengaku sudah terbiasa dengan sepi dan tekanan yang datang dari keluarga dan teman yang sudah lulus. Dulu, hal itu sempat jadi isu. Bapaknya sering membandingkan dengan anak saudara yang sudah lulus dan bekerja.
“Ada fase saat orang tua menekan terus. Tapi mungkin sekarang sudah kasihan. Kalau telfon pasti tanya sedang apa? Aku jawab lagi di depan laptop. Bapak lalu menjawab, ‘ealah durung kelar to nak’,” tuturnya.
Anak muda asal Temanggung ini pun memilih untuk fokus dengan progresnya sendiri. Meski kesepian sering mendera.
Saking jarangnya berinteraksi dengan orang, selain bertegus sapa ala kadarnya dengan penjual makan dan tetangga kos, Mabrur mengaku sampai bicara sendiri.
Mungkin masih wajar, dalam sebuah lamunan, seseorang membayangkan suatu skenario kejadian. Namun, Mabrur sampai memperagakan dialog khalayan itu.
Suatu ketika, ia hendak mandi, sudah di kamar mandi duduk di kloset, tiba-tiba ia membayangkan kalau menikah dengan wanita asal Prancis. Ia lama tinggal di sana sampai akhirnya tiba momen pulang kampung ke Temanggung.
“Kemudian aku membayangkan pas pulang di momen Idulfitri itu datang ke rumah tetangga dan saudara. Mengenalkan istriku, orang Prancis, nggak bisa berbahasa Jawa,” ujarnya terkekeh.
“Eh habis itu aku sadar. Kenapa sih ngomong sendiri. Kejadian ini berulang kali. Tapi aku sadar kalau aku tuh ngomong sendiri. Mungkin sistem defensif karena lama nggak ngobrol sama orang lain kali ya,” imbuhnya tertawa.
Untuk membunuh sepi, ia biasanya membaca manga, mendengarkan musik, sampai bermain gim. Di sisi lain, ia menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas akhirnya demi menghindari drop out.
Baca selanjutnya…
Telat rampung kuliah karena harus kerja banting tulang hingga salah jurusan