Reporter Mojok juga berbincang dengan Irvan Bukhori (25), alumni Ilmu Sejarah UNY yang rela mengambil sertifikasi guru lewat program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ia ingin “melanjutkan” perjuangan ibunya yang merupakan guru di Semarang.
Namun, kenyataan yang harus dia hadapi amatlah rumit. Setelah berbulan-bulan mengajar anak SMA di Jogja, ia menyadari bahwa kebobrokan dunia pendidikan memang begitu sistematis. Bobrok di atas maupun di bawah, yang bakal bikin nasib guru honorer nggak kemana-mana.
Tidak menjadi guru pun tetap suram karena “kepentok” ijazah
Berbeda dengan Hani, Bukhori, dan sebagian besar alumni UNY, Salma memilih jalan berbeda. Ia memutuskan tidak berkarier menjadi guru karena berbagai alasan–termasuk memahami masa depan guru yang memang suram.
“Di tempat kerjaku, ada banyak lulusan UNY. Ada yang S.Pd [lulusan keguruan] ada juga yang nonguru. Sama kaya aku, semua kerja menjadi CS karena paham nggak ada masa depan sebagai guru,” ungkapnya.
Mojok juga pernah meliput kisah Rusi (25), lulusan kependidikan (S.Pd) UNY yang nekat merantau ke Jakarta. Naasnya, Rusi malah luntang-lantung di ibu kota. Banyak perusahaan menolaknya hanya karena ijazahnya S.Pd. Menurut yang ia pahami, gelar ini cukup sulit buat bersaing di dunia kerja.
Alhasil, ia pun harus menganggur enam bulan di Jakarta. Sekalinya dapat kerja, gajinya pun jauh di bawah UMR.
“Ya begitulah, yang aku pahami sarjana pendidikan itu sulit buat bersaing dengan sarjana nonpendidikan di dunia kerja,” kata Salma, menilai apa yang dialami Rusi. “Makanya, menjadi alumni UNY itu memang berat. Berat banget malah.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kos Karangmalang, Rumah Para Aktivis yang Kini Jadi Tempat Mahasiswa UNY Menangis atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












