Sudah lebih dari sepuluh tahun, tempat tinggal Damar, salah satu desa di Jawa Tengah, menjadi lokasi program kuliah kerja nyata (KKN). Saban tahun, mahasiswa datang silih berganti. Kebanyakan malah berasal dari PTN besar.
Setiap pertengahan tahun, deretan motor berplat luar kota terparkir di halaman balai desa dan rumah warga. Spanduk besar bertuliskan “Posko KKN Universitas…” sudah jadi pemandangan lazim di sana.
Bagi warga desa, pemandangan itu sudah seperti ada musimnya. Mereka sudah hafal bulan-bulan desa bakal ramai diserbu mahasiswa, dan kapan desa sepi lagi.
“Awal-awal dulu sih kami senang,” kata Damar (28), pemuda desa yang aktif di Karang Taruna, pada Selasa (14/10/2025).
Ia sudah belasan kali mendampingi mahasiswa KKN dari kampus berbeda. Ada yang memang meninggalkan kesan positif. Tapi ada juga yang masih ia ingat gara-gara kelakuan minusnya.
“Waktu pertama kali saya mendampingi KKN, kira-kira lima atau enam tahun lalu, kami pikir bakal ada perubahan. Paling nggak, ada kegiatan baru buat anak-anak, pelatihan buat ibu-ibu, atau ide-ide segar buat desa,” ujarnya.
Sialnya, makin ke sini, kata Damar, “semuanya terasa seperti copy paste dari tahun sebelumnya”.
Proker KKN biasanya template
Ada alasan mengapa Damar menyebut kalau mahasiswa KKN yang baru datang, biasanya cuma copy paste dari tahun sebelumnya. Ya, karena memang program kerjanya template.
“Programnya itu-itu aja,” ujarnya, sambil menyalakan rokok.
“Jalan sehat, mengajar ngaji, bikin plang. Tahun depan datang kampus lain, tapi prokernya sama, bahkan kadang posternya pun mirip,” imbuhnya.
Menurutnya, proker-proker dari para mahasiswa tadi, sebetulnya bisa dijalankan warga secara swadaya. Dalam artian, ada atau tak ada KKN sekalipun, program kerja tadi bisa dijalankan.
Lebih dari itu, sekalipun ada program kerja yang terdengar “visioner”, biasanta malah terkensan ndakik-ndakik dan tak relate dengan warga. Damar mencontohkan, suatu kali ada mahasiswa yang membuat program digital marketing. Jadi, membuat aplikasi tertentu untuk memasarkan produk pertanian.
“Jujuar tak akui, itu program bagus banget. Hanya saja ya salah tempat, karena sinyal di desa masih jelek, internet nggak nyampai. Jadi bikin aplikasi-aplikasi gituan yang terkesan melompat aja, kurang nyentuh inti masalah.”
Sayangnya, Damar dan warga desa lain tak bisa menolak kehadiran mereka. Sebab, desanya memang sudah kerjasama dengan beberapa kampus sebagai lokasi KKN.
Mahasiswa suka bikin skandal
Tak cuma soal program kerja temptale. Yang lebih membuat warga jengah dengan mahasiswa adalah drama yang menyertai KKN.
Damar menyebut, tiap kali mahasiswa datang selalu saja ada skandal. Ia sampai bisa membaginya menjadi dua jenis: skandal kecil dan skandal besar.
“Skandal kecil itu, ya sebenarnya nggak fatal, tapi sangat menggangu,” katanya.
“Kayak mereka itu enteng ngomong ‘anjing’ atau ‘tolol’ di depan warga, bahkan anak-anak. Buat mereka mungkin biasa, tapi buat orang kampung sini itu kasar banget.”
Lalu ia menunduk sedikit sebelum melanjutkan, “Kalau skandal besar, ya… pernah tuh, ada yang ketahuan mesum di posko. Itu langsung bikin satu desa heboh. Perangkat desa sampai minta kampusnya turun tangan.”
Sejak itu, kata Damar, warga mulai dingin setiap kali ada mahasiswa datang.
“Kalau mereka datang, ya kami sambut sopan aja. Tapi udah nggak ada harapan apa-apa. Selesai KKN, desa kami ya tetep gini-gini aja.”
Minim support dari kampus
Sekitar dua jam perjalanan dari tempat tinggal Damar, ada desa kecil lain di Jawa Tengah yang juga rutin jadi lokasi KKN. Bedanya, Raka (26), salah satu warga desa tersebut, memiliki pengalaman unik: KKN di desa sendiri.
Dengan demikian, ia memiliki sudut pandang lain terkait program kerja mahasiswa yang dianggap template tadi.
“Lucu juga sih,” katanya, sambil tertawa kecil. “Dulu waktu aku KKN di desaku sendiri, aku ngerasa kayak orang penting. Tiap hari rapat, bikin spanduk, nulis laporan. Tapi setelah selesai, aku sadar, ya nggak ada yang berubah.”
Raka mengakui bahwa dulu program kerjanya memang template. Namun, ia juga punya pembelaan mengapa di banyak kampus, mahasiswa memilih proker “yang gitu-gitu aja” ketika menjalani KKN.
“Kalau berkaca dari kasusku, waktu itu kami cuma punya dua minggu efektif. Anggaran juga terbatas, dosen pembimbing juga jarang muncul. Jadi kami pilih proker yang gampang dibikin, biar nggak risiko.”
Alhasil, berkaca dari pengalamannya, Raka pun memahami kalau sebenarnya program KKN sangat sulit untuk membuat perubahan ke warga.
“Jadi, KKN itu kami anggap tempat belajar aja sih. Bullshit kalau mau bikin senang warga, duit dari mana coba?”
Teman kelompok KKN ogah-ogahan
Tak cuma soal support kampus yang terbatas, kata Raka, masalah lain yang bikin proker KKN gitu-gitu aja juga karena motivasi mahasiswa sendiri.
“Sekali lagi berkaca dari KKN-ku, nggak semua mahasiswa niat. Ada yang cuma pengen cepat selesai, ada yang ogah-ogahan, ada yang sibuk ngonten buat media sosial. Di kelompokku dulu, separuhnya nggak peduli. Yang penting foto dokumentasi banyak.”
Memang, ia tak bisa memukul rata bahwa semua mahasiswa yang KKN tidak punya niat dan motivasi. Namun, kalau dari cerita teman-temannya, fenomena seperti itu memang banyak terjadi, dan itu ia jadikan alasan mengapa KKN kerap tak meninggalkan kesan bagi warga.
“Gimana mau berkesan ke warga, kalau dari mereka sendiri aja nggak niat ketemu warga?”
Meski begitu, Raka tetap berpandangan bahwa terlalu ekstrem jika program KKN disetop. Menurutnya, cukup konsepnya saja yang diperbarui.
“Misalnya, kampus ngasih waktu lebih panjang, ngasih pelatihan komunikasi sosial, sama ngasih anggaran lebih. Mahasiswa bisa kok.”
Baik Raka maupun Damar sama-sama tak menolak kehadiran mahasiswa. Mereka cuma ingin KKN tidak sekadar datang dan pergi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly REza
BACA JUGA: Mahasiswa UMY Atasi Sampah di Laut Wakatobi dengan Stove Rocket, Bukti KKN Tidak Hanya Bikin Papan Nama atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












