Sering utang di angkringan
Fadli mengaku, uang bidikmisinya tak pernah cukup hingga berbulan-bulan seterusnya. Seringnya, ia sudah benar-benar habis di dua bulan setelahnya. Untungnya, kakaknya yang sudah bekerja masih sering memberinya uang buat makan.
“Kadang kalau habis gajian, aku dikasih Rp200-300, lumayan lah buat melanjutkan hidup,” katanya.
Saking jarangnya punya uang, Fadli kerap berutang. Namun, ia semacam punya kode etik bahwa dirinya “cuma mau ngutang di warung-warung yang sudah akrab”. Ia pun sering berhutang di salah satu angkringan di Karangmalang. Kebetulan ia sudah menjadi langganan di sana, sehingga utang bukan sesuatu yang menjadi masalah.
“Kurang susah apa coba, nasi kucing aja ngutang terus, lho,” ujar Fadli.
Sampai-sampai, ia dan penjual angkringan sudah sama-sama paham. Ketika kalender sudah memasuki tanggal 20 ke atas, artinya Fadli datang buat ngutang.
“Biasanya aku bayarnya pas kakakku dah transfer lagi. Untungnya sekali bayar cuma 100-an ribu ya.”
Sering ikut seminar biar bisa makan gratis
Agaknya, kisah Fadli tak jauh berbeda dengan Maria (25). Mahasiswa UNY asal Sumatera Utara ini tak pernah merasakan kemewahan mahasiswa bidikmisi sebagaimana orang-orang gambarkan. Berasal dari orang tua petani yang hidupnya juga pas-pasan, ia harus menggantungkan hidupnya di perantauan dari uang bidikmisi.
“Boro-boro mau foya-foya, buat makan aja susah,” kata Maria ketika saya hubungi, Senin (8/1/2024).
Maria mengaku cukup beruntung karena punya lumayan banyak jejaring. Maria sangat akrab dengan organisasi mahasiswa asal daerahnya. Begitu juga dengan teman-teman jurusannya, di mana ia punya circle pertemanan yang cukup akrab.Â
Nah, sayangnya, seperti yang ia sampaikan, semua teman-temannya juga miskin seperti dia. Alhasil, ketika sedang ngumpul mereka bukannya makan bareng, melainkan “lapar bersama”.Â
Bahkan, demi mengisi perut, ia dan teman-temannya punya kebiasaan unik yang terus ia lakukan bahkan ketika menjelang lulus. Yakni berburu acara seminar demi dapat makan gratisan. Tentunya, seminar itu yang gratisan juga.
Kata Maria, tiap bulan ada banyak seminar yang mereka datangi. Mulai dari seminar-seminar bikinan universitas, fakultas, jurusan, ormawa, hingga acara sidang skripsi para mahasiswa yang kerap menyediakan nasi box. Akunya, persetan dengan isi materi, yang penting dapat makanan gratis.
“Itu metode pertahanan diri paling ampuh sih,” ujarnya.Â
Akan tetapi, petualangannya mencari makanan gratis di seminar-seminar tak selalu indah. Ada kalanya, ia tak kebagian nasi. Masih untung jika masih mendapat snack. Seringnya, ia hanya kejatah tanda tangan saja.
“Sedih sih kalau diingat-ingat. Biasanya kalau enggak dapat makan, yaudah bubar jalan aja gausah lanjut sampe acara selesai.”
Mahasiswa bidikmisi yang terpaksa ngumpulin nasi sisa seminar
Salah satu kisah yang selalu bikin ia menangis jika mengingatnya terjadi pada akhir 2019 lalu. Maria ingat betul, kala itu ada acara stadium general di Gedung Rektorat UNY. Sayangnya, ia dan teman-temannya tidak bisa ikut karena acara itu khusus mahasiswa baru. Akhirnya, mereka hanya bisa menahan lapar sambil WiFi-an di selasar Gedung Rektorat.
Setelah acara selesai, para peserta Stadium General berbondong keluar. Banyak di antara mereka yang makan dan meninggalkan sampah nasi box tersebut di selasar gedung. Awalnya, Maria hanya memendam “niat gila” itu. Namun, ia memandang teman-temannya yang agaknya punya pikiran yang sama sepertinya.
“Akhirnya kami bisik-bisik. Diputuskan nunggu aja dulu sampe keadaan sepi. Pas udah enggak ada orang, kita bongkar satu per satu box. Kita ambilin nasi sisa dan lauk-lauk yang kira-kira masih layak terus dibawa ke kos,” katanya.
“Kalau diinget-inget, rasanya mau nangis aja sih karena ternyata pernah sesusah itu. Enggak kepikiran aja kita bisa punya niat segila itu, makan sisa orang tanpa jijik. Apalagi kalau bukan karena kepepet,” lanjut Maria.
Sudah sejak dua tahun lalu Maria lulus dari UNY. Kini ia sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah di kota asalnya dan mulai menata hidupnya ke arah yang lebih baik. Namun, ia mengaku bahwa kehidupan penuh perjuangan di perantauan tak akan pernah ia lupakan.
“Bakal selalu aku ingat gimana susahnya dulu. Sekalian mau berpesan kalau enggak semua mahasiswa bidikmisi itu berkecukupan, karena banyak kok yang susah beneran,” pungkasnya.Â
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah Mahasiswa UNY Bertahan Hidup di Jogja Bermodalkan Rp250 Ribu per Bulan
Ikuti berita terbaru dari Mojok di Google News