Orang Jakarta kagok pakai kata ganti ‘aku-kamu’
Komunikasi intens Rofi bersama teman sebayanya terjadi saat orientasi mahasiswa (ospek) jurusan. Sebagai mahasiswa di Jurusan Teknik, Rofi harus berkenalan dengan mahasiswa yang kebanyakan adalah laki-laki. Ketika sesi istirahat, seorang temannya sengaja duduk di samping Rofi dan menyapanya.
“Rof,” sapa temannya.
“Iya, kenapa?” jawab Rofi.
“Kamu sudah makan belum? Kalau belum ayo makan bareng aku,” ajak temannya.
Seketika Rofi langsung kagok, bukan karena ajakan temannya tadi, tapi lebih ke bahasa yang ia gunakan. Sebagai orang Jakarta yang terbiasa menggunakan kata ganti ‘loe-gue’, Rofi mengaku canggung dengan temannya yang orang Surabaya menggunakan panggilan ‘aku-kamu’. Terlebih keduanya adalah laki-laki.
Saat itu, Rofi masih terdoktrin dengan budaya orang Jakarta yang menggunakan ‘aku-kamu’ untuk PDKT atau orang yang sedang pacaran, sehingga terkesan bikin baper. Sedangkan ‘loe-gue’ lebih digunakan untuk bahasa gaul sehari-hari.
“Aku dalam hati langsung bilang ‘bentar-bentar, kok agak gimana gitu ya pakai aku-kamu ke sesama cowok. Sangat aneh dan nggak nyaman wkwkwk’” tutur Rofi.
Mau tidak mau belajar bahasa Jawa
Kejadian itu Rofi membuat sadar kalau kata ganti ‘aku-kamu’ sering dipakai mahasiswa rantau di Surabaya, karena lebih terdengar sopan dan tidak terlalu formal. Tak hanya itu, Rofi juga jadi merasa perlu belajar bahasa Jawa sedikit demi sedikit.
Tekadnya bermula sejak ia sering membeli makan di warung penyetan pinggir Jalan Keputih, Surabaya. Setelah makan dan hendak membayar, si pedagang bertanya kepada Rofi dengan menggunakan bahasa Jawa.
“Nggih, tadi ikane pake apa Mas?” tanya pedagang tersebut.
“Maaf Bu, saya nggak pakai ikan. Saya pakai telur dadar,” jawab Rofi.
“Oh, ikan itu maksudnya lauk Mas. Baru ya di sini?”
Rofi hanya bisa garuk-garuk kepala menahan malu, apalagi para pelanggan yang ada di sana juga melirik ke arahnya. Kejadian itu pun memotivasinya untuk belajar Bahasa Jawa tak hanya secara teks tapi juga kontekstual.
Lambat laun, Rofi pun jadi mahir Bahasa Jawa meski tidak semua. Tapi setidaknya, ia sudah paham beberapa kata.
“Tapi kalau Jawa-nya yang Jawa banget, sulit juga. Jadi kadang ketika beli sesuatu terus penjualnya ngomong bahasa Jawa, saya akan bilang ‘mohon maaf, apakah bisa diulang?’” kata Rofi.
Kuliner di Surabaya yang nggak cocok di lidah orang Jakarta
Penyetan sendiri menjadi kuliner andalan Rofi di perantauan karena ada di setiap tempat baik di Jakarta maupun Surabaya. Terlebih lidahnya masih belum beradaptasi dengan makanan di Surabaya. Tapi, lama-kelamaan ia pun bosan dengan lauk penyetan yang itu-itu saja.
Alhasil, ia ingin mencicipi makanan lain. Dan pilihannya jatuh kepada nasi goreng. Mulanya, ia tidak terlalu khawatir dengan rasanya nanti. Yang namanya nasi goreng, rasanya pasti sama saja. Tapi, Rofi jadi ragu setelah melihat nasi goreng itu jadi.
“Kebetulan aku kan nggak lihat proses pembuatannya ya, terus waktu aku buka bungkusnya di kosan aku kaget. ‘Loh kok warna nasinya merah?’. Rasanya benar-benar nggak bisa dijelaskan. Di luar ekspektasi saat itu. Sampai sekarang pun masih belum bisa menerima nasi goreng warna merah,” tutur Rofi.
Tak hanya nasi goreng, kadang-kadang Rofi juga tak setuju dengan rasa bubur dan nasi uduk di Surabaya. Termasuk kwetiau yang dijual oleh abang-abang nasi goreng.
“Aku memang termasuk pilih-pilih. Ada beberapa hal yang tipe makanannya memang nggak cocok. Jadi kalau di sini ya cari makanan yang umum atau masak sendiri di rumah,” ujar pemuda asal Jakarta itu.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mahasiswa Jakarta di Jogja: Dianggap Eksklusif karena “Lu-Gua”, Mencoba Berbaur Dianggap Sok Asyik atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












