Menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) alias tidak ikut organisasi di kampus memang pilihan. Namun, minimnya pengalaman organisasi, bagi narasumber Mojok, cukup berpengaruh selama masa KKN.
Memang, ada tipikal mahasiswa kupu-kupu yang lincah. Meski tidak gabung organisasi manapun, tapi punya banyak keterampilan. Akan tetapi, ada juga tipikal yang pasif-apatis. Tipe kedua inilah yang diresahkan oleh narasumber Mojok.
Menggantungkan semuanya pada ketua kelompok
Dari 12 mahasiswa dalam kelompok KKN Wiratama (23), hanya empat orang yang bergiat dalam organisasi mahasiswa—baik intra maupun ekstra—termasuk Wiratama sendiri. Sisanya adalah mahasiswa kupu-kupu.
Pada awalnya, Wiratama tidak menaruh syak wasangka pada teman kelompoknya. Yang penting ada satu atau dua orang yang basisnya organisatoris, nanti semua pasti bisa dikoordinasikan.
Namun, ternyata tidak demikian. Mungkin karena teman-temannya yang non organisatoris tidak terbiasa menyusun daftar inventaris masalah (DIM), alhasil sejak pra KKN (masa survei) banyak dari mereka yang kebingungan harus bagaimana.
“Jadinya harus kami berempat yang menyusun program-programnya,” kata Wiratama, mahasiswa asal Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/7/2025) malam WIB.
Bingung selama di lokasi KKN
Kebingungan masih berlanjut selama berada di lokasi KKN selama tiga bulan. Para mahasiswa kupu-kupu ini minim inisiatif. Semuanya harus diurus Wiratama dan tiga temannya.
“Sisimpel misalnya diminta untuk ke Karang Taruna buat diskusi, itu bingung harus diskusi soal apa. Sudah di-briefing, tapi bilang nggak berani karena nggak biasa. Akhirnya kami berempat harus bagi tugas,” kata Wiratama.
Wiratama membagi kelompoknya menjadi tiga regu. Di masing-masing regu, Wiratama akhirnya menempatkan satu dari empat mahasiswa organisatoris untuk mengkoordinir teman-teman yang lain.
Kalau tidak begitu, kata Wiratama, interaksi dengan warga setempat tidak akan jalan. Program-program yang dicanangkan untuk warga pun tidak akan tereksekusi.
“Karena keluhan dari tiga temenku ya, para mahasiswa kupu-kupu ini pasif. Nggak gerak kalau nggak disuruh. Bahkan misalnya sambang ke rumah warga atau Pak RT, itu harus kami berempat yang ngomong. Mereka cuma diam saja menyimak. Kan kesan ke warga kayak gimana jadinya,” ungkap Wiratama.
Sisi itu kemudian benar-benar sangat disayangkan bagi Wiratama. Sebab, di luar urusan program, para mahasiswa kupu-kupu yang pasif-apatis ini sangat terlihat berjarak dengan warga setempat.
Bahkan dengan anak-anak kecil desa yang sedianya sangat antusias dengan para mahasiswa KKN pun mereka berjarak. Bingung juga harus bagaimana menghadapi bocil-bocil itu.
“Malah ada yang ngeluh, risih sama keberadaan bocil-bocil di posko karena rame, ganggu privasi mereka hahaha,” ujar Wiratama.
Baca halaman selanjutnya…
Nggak mau rapat terus karena ngantuk hingga diusir halus oleh warga












