Jika dulu berhasil masuk UGM Jogja, Aulia merasa bakalan tidak bisa berkeliling Indonesia seperti sekarang. Ia dan beberapa orang lain menceritakan pengalaman ditolak salah satu PTN terbaik di Indonesia yang berakhir dengan rasa syukur.
UGM merupakan kampus terbaik di Indonesia. Setiap tahun, ratusan ribu calon mahasiswa menetapkan Kampus Kerakyatan ini sebagai salah satu bahkan satu-satunya pilihan untuk melanjutkan studi.
Tentu, segelintir yang beruntung. Sebagian yang lain harus merasakan pahitnya penolakan. Terkadang, ada yang masih bertekad untuk mencoba peruntungan lagi masuk di tahun selanjutnya.
Dulu, Aulia punya mimpi untuk bisa berkuliah di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM. Bukan tanpa alasan, ibunya memang lulusan fakultas tersebut. Bahkan, kedua orang tuanya juga dari kampus yang sama.
Ia sudah giat belajar, bahkan mengikuti les di dua tempat demi mempersiapkan tes masuk di kampus impian. Pada seleksi undangan, ternyata ia diterima di kampus lain. Namun, itu tidak mengurangi tekadnya untuk tetap menjadi dokter gigi.
“Akhirnya aku belajar lagi, tapi untuk ujian mandiri karena kalau sudah undangan baiknya kan nggak ikut SBMPTN,” ujarnya saat Mojok hubungi Rabu (24/1/2024).
Tekanan dari lingkungan untuk masuk UGM
Mengingat kedua orang tuanya lulusan dari sana, lingkungan jadi mendorong Aulia untuk menempuh jalur yang sama. Bahkan, tetangga yang ikut nimbrung obrolan pun urun pendapat serupa.
“Aku lulus undangan di tempat lain aja keluarga seperti ada perasaan sedih gitu loh. Padahal aku tetap coba seleksi UGM,” ungkapnya.
Akhirnya tiba saat ia mengikuti ujian mandiri. Setelah persiapan atang dan panjang, ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. “Aku nangis itu pas ternyata nggak lolos,” kenangnya tertawa.
Akhirnya ia tetap melanjutkan di PTN lain di Jogja yang menerimanya lewat jalur undangan. Mengambil jurusan Ilmu Komunikasi yang sangat jauh dari Kedokteran Gigi. Dulu alasannya ingin masuk jurusan itu ternyata karena hal yang sederhana, “aku orangnya emang suka ngomong dan cerita juga, jadi kayaknya cocok di jurusan itu,” kelakarnya.
Pada saat menjalani kuliah dua semester awal, Aulia masih mempersiapkan diri untuk mengikuti seleksi UGM di tahun selanjutnya. Namun, lama-lama gairah belajarnya agak menurun.
“Aku curhat ke orang tua kalau semangat belajarku menurun. Syukur, mereka bilang bahwa nggak masalah untuk melanjutkan studiku saja tanpa pindah,” tuturnya.
Kendati akhirnya tidak seleksi ulang, rasa ingin masuk UGM masih terus membenak di kepalanya. Bahkan, hingga masa akhir studinya saat ia masih bingung akan menjadi apa kelak. Jika di kedokteran, sudah jelas ia akan menempuh karir yang linier.
Baca halaman selanjutnya…
Penolakan berujung rasa syukur bisa keliling Indonesia dan menemukan “jati diri”