Rivalitas organisasi kampus ternyata tak berhenti hanya di lingkup kampus belaka, tapi bahkan sampai ke dunia kerja. Mojok mendengarkan cerita mahasiswa Surabaya yang tak diterima kerja gara-gara berangkat dari organisasi yang berbeda dari si HRD perusahaan.
***
Sekira awal tahun 2023 silam, saya sempat memasukkan lamaran kerja ke sebuah media online baru di Surabaya.
Hanya selang tiga hari saja dari hari saat saya memasukkan lamaran tersebut, saya langsung mendapat panggilan interview. Dengan penuh semangat, datanglah saya ke kantor untuk proses wawancara dengan HRD.
“Saya sudah baca CV-mu. Pertama, saya tertarik karena kamu ternyata sudah banyak nulis,” ujarnya dengan nada berwibawa.
“Kedua, begini, kamu PMII kan? Saya juga PMII, Komisariat UIN Maulana Malik Ibrahim (Malang). So, saya suka kader seperti kamu,” imbuhnya setelah membaca-baca ulang lembaran CV saya yang ada di atas meja.
Lebih lanjut, HRD itu menegaskan, lantaran kami berangkat dari organisasi kampus yang sama, maka ia tak segan menerima saya bekerja. Bahkan, ia menjanjikan bahwa jenjang karier saya bakal naik lebih cepat.
Hanya saja, saya memilih tak mengambil pekerjaan itu karena secara salary masih tinggi di tempat kerja saya yang lama.
Bertemu musuh lama di organisasi kampus
Dalam kasus saya, orang bisa lolos kerja ternyata bisa hanya karena kesamaan organisasi kampus. Namun, ada yang sebaliknya, tertolak mentah-mentah lantaran rivalitas organisasi kampus semasa kuliah.
Seperti yang dialami oleh Bidin* (28), alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA).
Sejak semester pertama kuliah, Bidin memang sudah cukup aktif di PMII, terutama di level fakultas.
“Katanya nanti kalau lulus mau cari kerja gampang, karena relasi banyak. Kenyataannya, malah orang-orang dari organisasi sebelah yang cenderung ngosak-ngasik di dunia kerja,” tuturnya saat kepada Mojok.
Organisasi sebelah yang dimaksud Bidin adalah HMI. Di UIN Sunan Ampel Surabaya sendiri, rivalitas antara PMII dan HMI memang yang terlihat paling panas.
PMII yang cenderung lebih superior selalu menjadi penghalang bagi mahasiswa-mahasiswa yang tergabung di HMI.
“Ya memang mereka ingin “membunuh” HMI di UINSA kok,” ujar Bidin.
Di masa-masa aktifnya sebagai aktivis pergerakan iu, Bidin selalu berada di garda depan dalam setiap konfrontasi antara PMII dan HMI. Ia pun mengenal beberapa orang HMI yang sering nyaris baku pukul dengannya.
“Mereka kalau mau bikin kegiatan di kampus kan pasti kami persulit. Kalau mereka mencoba “nyerang”, sudah pasti kalah karena mereka sudah kalah massa,” kata Bidin.
Namun, karma terjadi saat dua atau tiga tahun lalu Bidin hendak melamar kerja di sebuah perusahaan di Surabaya.
Saat proses interview, betapa kagetnya ia karena HRD yang mewawancarainya adalah musuh lamanya dari HMI.
Tatapan merendahkan yang bikin kecut
“Oh kamu. Begitu katanya (musuh lamanya) pas tahu kalau yang mau interview itu aku,” ucap Bidin menirukan ucapan dari si musuh.
Bidin curiga, jangan-jangan memang musuh lamanya itu sengaja memanggilnya untuk interview tidak lain adalah karena untuk balas dendam dan mempermalukannya.
“Dia kan bisa saja langsung menolak lamaran kerjaku karena di CV jelas-jelas tertera nama PMII di barisan pengalaman organisasi,” ujarnya dengan nada kesal.
“Karena kalau dia orang HMI dan masih memiliki rivalitas kuat, ya pasti langsung buang muka to kalau ada kandidat dari PMII, musuhnya sejak kuliah,” sambungnya.
Bidin mengaku masih benar-benar ingat ketika si anak HMI itu duduk di hadapannya. Tatapan dan senyum tipisnya menurut Bidin terlihat jelas-jelas merendahkan.
Seperti ingin bilang, dulu sok keras, sok aktivis, sekarang pontang-panting juga cari kerjaan. Kira-kira seperti itulah yang Bidin terjemahkan dari tatapan dan senyuman tipis si anak HMI yang sudah jadi HRD perusahaan itu.
“Ketus banget waktu melempar pertanyaan. Terus meremehkan juga. Tiap kali selesai kujawab, dia hanya balas dengan “oh gitu…, oh gitu…”,” ungkap Bidin.
Bidin pun pesimis bahwa akan lolos dan bekerja di perusahaan tersebut. Ia sudah mengira kalau sesi interview tersebut tidak lebih sebagai ajang untuk mengaduk-aduk mentalnya.
Lebih-lebih, si HRD itu dalam penutupnya sudah memberi isyarat bahwa kemungkinan keterimanya sangat kecil sekali.
“Hmmm kalau gini, kayaknya sulit deh buat kerja di sini. Ngomong begitu si Jancuk itu,” kata Bidin.
“Hasilnya, yaaa tidak pernah dipanggil sama sekali,” lanjutnya. “Malu sih iya. Apalagi pas inget dulu zaman sering bentrok di kampus. Memang kaidah “jangan mempersulit orang lain jika tidak mau hidupmu dipersulit” itu nyata,” tuturnya.
Baca halaman selanjutnya…
Pengalaman kerja seabrek nggak ngaruh