Keberadaan makam tua di Pasar Godean yang tengah mengalami revitalisasi tetap dipertahankan. Konon merupakan makam guru spiritual Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja terbesar Mataram Islam.
***
Bangunan Pasar Godean yang tengah mengalami revitalisasi kian menunjukkan bentuknya. Jika tidak ada aral melintang, akhir tahun 2024, pasar yang rencananya menampung 1.837 pedagang ini akan rampung dan sudah mulai beroperasi.
Menurut Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo, revitalisasi Pasar Godean menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Anggarannya mencapai Rp101 miliar dari APBN Kementerian PUPR. Untuk pelaksana pembangunan dari Balai Prasarana Permukiman Wilayah [BP2W] DIY,” katanya kepada media, awal Februari 2023.
Meski nantinya bentuk pasar terlihat megah, ada satu tempat yang dipertahankan sebagaimana aslinya yaitu sebuah makam tua yang berada di depan pintu masuk pasar.
Proses renovasi pasar berlangsung, ziarah jalan terus
Saat proses renovasi, pintu masuk ke makam bagi yang berziarah lewat dua buah seng. Namun, saat ini aa yang memberi kawat pada seng tersebut sehingga orang-orang tidak bisa membukanya dari luar atau pinggir Jalan Godean.
“Sekarang pintu masuknya lewat dalam Mas, bilang saja ke satpam mau ziarah, pasti boleh,” kata Harto pedagang di depan Pasar Godean. Pedagang yang saya taksir berusia 50-an tahun ini mengemukakan, meski Pasar Godean mengalami renovasi, peziarah tetap ada.
Kadang peziarah datang pagi, siang, sore atau malam, nggak tentu. Sekarang pintu masuknya lewat bagian dalam pasar karena di dekat makam sedang proses pembangunan tiang pondasi.
Sisur (40-an) seorang tukang parkir di depan Pasar Godean mengemukakan hal sama. Oleh orang proyek atau satpam pasar, orang-orang tetap boleh berziarah, tapi karena sekeliling makam sedang proses pembangunan sehingga pintu masuknya dari dalam.
“Biasanya lewat dua seng itu, Mas. Tapi sekarang kelihatannya di kunci. Jadi lewat dalam,” katanya.
Saya membuktikan kata-kata dua pedagang tersebut, dan memang dua seng yang biasanya jadi pintu masuk ke kawasan makam sudah terikatkawat. Saya hanya bisa melihat lewat celah bagian atas untuk melihat makam yang kanan kirinya penuh dengan tiang bangunan.
Makam Mbah Jembrak, antara guru spiritual Sultan Agung dan makam prajurit Pangeran Diponegoro
Kontributor Mojok, Syaeful Cahyadi pernah melakukan penelusuran terhadap keberadaan makam tersebut. Dua makam tersebut berada di bangunan sekitar 3×3 meter persegi dengan lantai dari keramik putih. Tidak ada celah untuk masuk udara dan cahaya.
Makam ini berada di sebuah bangunan seluas 3×3 meter dengan lantai berupa keramik putih. Suasananya gelap, tanpa ada celah untuk masuk udara dan cahaya.
Syaeful menggambarkan, dua nisan yang ada di cungkup makam relatif lebih besar daripada nisan pada umumnya yang ada di pemakaman kampung. Di sisi makam terdapat tulisan beraksara Jawa yang sayangnya sudah tidak begitu jelas. Kain putih tampak menutup kepala nisan.
Awalnya, dua makam tersebut Syaeful ketahui saat menelusuri sebuah makam tua di Sleman di mesin pencari Google. Kemudian munculah makam di Pasar Godean yang konon merupakan makam dua orang suami istri yang punya nama Kyai Jembrak dan Nyai Jembrak.
Dari keterangan salah seorang petugas pasar, Syaeful Cahyadi mendapat keterangan jika makam tersebut sudah ada jauh sebelum adanya bangunan pasar. Namun, persis kapan makam itu ada, dan kisah Kiai dan Nyai Jembrak, ia dan temannya tidak tahu.
Pada pedagang di Pasar Godean saat itu juga tidak tahu kisah tentang dua sosok Kiai Jembrak dan Nyai Jembrak.
Dari penelusuran di internet, Kiai atau Mbah Jembrak merupakan prajurit Pangeran Diponegoro selama perang Jawa. Sumber di internet menyebut jika nama lain dari Mbah Jembrak adalah Senopati Gagak Handoko. Padahal jika menelusuri data atau sumber lainnya, nama Gagak Handoko makanya ada di Kabupaten Purworejo. Sosok yang juga terkenal sebagai prajurit Pangeran Diponegoro ini menjadi adipati terakhir di Loano, Purworejo.
Guru Sultan Agung yang datang dari Kediri
Syaiful akhirnya bertemu dengan Agus Tri Yuwono (57) warga Brongkol Sidomulyo, Godean Sleman. Ia mengaku sebagai penganut spiritualisme Jawa dan mengaku sebagai murid dari Maharsi Pamungkas, seorang tokoh spiritualisme Jawa terkenal yang tinggal di Gunungkidul
Agus bercerita, berkat bantuan gurunya, ia melakukan penelusuran sejak tahun 1996 tentang siapa sebenarnya sosok Mbah Jembrak. Menurutnya, sosok Mbah Jembrak bukanlah prajurit Pangeran Diponegoro. Perannya jauh lebih besar dan jauh sebelum terjadi Perang Jawa.
“Mbah Jembrak adalah pria asal Kediri yang menjadi guru spiritual Sultan Agung. Dari Mbah Jembrak lah raja besar Mataram Islam itu berguru soal ilmu kebatinan dan spiritualisme Jawa,” kata Agus kepada Syaiful. Dengan kata lain, sosok Mbah Jembrak ini merupakan salah satu orang orang sakti di tanah Jawa
Saat tidak lagi menjadi guru Sultan Agung, Mbah Jembrak menepi dari pusat kerajaan Mataram Islam. Bersama istrinya, Mbah Jembrak pergi ke daerah yang saat ini merupakan bagian dari Godean. Di kawasan tersebut, Mbah Jembrak mengangkat dua orang murid yang juga menjadi tokoh dalam spiritualisme Jawa.
Menurut Agus Yuwono seperti yang ia sampaikan ke kontributor Mojok, Mbah Jembrak ini kerap menolong rakyat kecil, terutama pedagang pasar yang teraniaya. Ini mungkin yang jadi alasan juga orang-orang berziarah ke makam tersebut.
Penulis: Agung Puwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Menjawab Misteri Dua Makam Tua di Pasar Godean
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News