Sego Welut Mbak Surani Godean ini masuk dalam list sebagai kuliner legendaris di Jogja. Konon pernah jadi langganan Sri Sultan HB IX.
Dirintis oleh Mbah Darmo di tahun 1945, resep mangutnya masih bertahan hingga kini. Pernah ada masa-masa kuliner belut di Jogja ini akan libur setiap bulan purnama tiba.
***
Jam masih menunjukkan pukul 17.30, artinya Sego Welut Mbak Surani baru buka. Antrean pegunjung sudah menanti untuk dilayani.
Menu Sego Welut Mbak Surani yang kini cepat habis
Kalau dipikir-pikir, kedatangan saya kali ini merupakan yang paling gasik atau paling awal dari biasanya. Saya rela antre karena takut nggak kebagian seperti sebelum-sebelumnya saat saya datang di atas jam 21.00.
Padahal saat warung ini masih jualan di seberang depan Pasar Godean, tepatnya di dalam rumah yang kalau pagi sampai sore jadi tempat parkir, jam 12 malam pun saya masih kebagian.
Namun, sudah beberapa tahun ini sejak pindah tempat jualan, lewat jam 9 malam, bahkan kurang, menunya sudah habis. “Pindah itu Maret 2020, saya ingat, Mas, karena baru tiga hari pindah, langsung tutup lagi karena Covid,” kata bapak tua yang membantu menata parkir motor. Saya sempat ngobrol dengannya sebentar sebelum ikut barisan antre, takut keburu pengunjung lain berdatangan.
Ketika tiba giliran, saya memesan sego welut dengan dua lauk sekaligus, mangut welut dan sambel welut. Butiran-butiran pete dan cabe utuh di sambel welut itu seperti merayu saya untuk melahapnya. Mbak Surani lantas menyiram sambel welut itu dengan kuah mangut dan meletakan krecek di atasnya.
Dari warnanya saja sudah membuat saya menelan ludah.
Sosok Mbah Darmo yang memberikan warisan sego welut
Saya melahap pesanan saya dengan pelan. Meresapi perpaduan kuah pedas dari mangut welut dan sambel welut. Kurang mantap rasanya kalau tidak menggigit cabe rawit yang ada di sambel welut.
Rasa pedes yang menjalar kian membuat keringat mengucur ketika teh tawar panas coba jadi penawar. Di dinding warung, terpampang kliping yang menceritakan perjalanan warung ini.
Kisah Sego Welut Mbak Surani berawal di tahun 1945. Saat itu seorang perempuan yang akrab dipanggil Mbah Darmo jualan mangut welut. Meski di masa itu di Godean sudah banyak penjual belut, tapi Mbah Darmo konsisten untuk menjual satu menu saja yaitu mangut welut. Hanya dia satu-satunya yang jualan mangut welut, yang lain jualan belut goreng.
Ia jualan di warung darurat, tepat di depan Pasar Godean. “Dulu nenek itu jualan dari sore habis isya sampai pagi hari. Pasar zaman dulu, jam satu malam pasar kan sudah ramai,” kata Mbak Surani mengisahkan.
Jadi langganan Sri Sultan HB IX
Selepas kemerdekaan, tepatnya di sekitar tahun 1947 hingga 1950-an, konon Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB IX konon menjadi langganan warung Mbah Darmo. Bahkan di waktu itu Sultan HB IX yang memang terkenal suka blusukan itu datang hanya menggunakan sepeda onthel.
“Kalau cerita Sri Sultan HB IX itu saya dengar dari cerita Mbah Darmo,” kata Surani.
Tahun 1970 saat renovasi besar-besaran Pasar Godean, Mbah Darmo menempati bangunan rumah yang biasanya dijadikan tempat parkir sepeda dan motor. Ketika sore tiba, maka Mbah Darmo menggelar lapak dagangannya di tempat itu. Pagi hari, saat pembeli mulai berdatangan, Mbah Darmo pulang.
Tempat legendaris yang jadi saksi perjalanan sego welut warisan Mbah Darmo itu hingga kini masih ada dan tetap masih digunakan sebagai tempat parkir. Namun, sejak awal tahun 2020, Sego Welut Mbak Sunarni tidak menempati lokasi tersebut.
“Biaya sewanya terus meningkat, jadi pindah ke sini. Nggak perlu bayar sewa karena rumah sendiri,” kata Sunarni. Warung Sego Welut Mbak Sunarni pindah tak jauh dari warung lama sebenarnya. Lokasinya sekitar 200 meter arah selatan dari perempatan Pasar Godean ke arah selatan sekitar 200 meter, kiri jalan.
Baca halaman selanjutnya…
Alasan Mbah Darmo tidak wariskan resep sego welut ke anaknya