Dipermalukan di depan pelanggan
Suatu waktu saat jam ramai salah seorang pekerja di bagian kasir restoran jepang tak masuk, Fafa mengambil alih. Di sisi lain, ia pun harus membantu di dapur dan menyajikan makanan. Karena banyaknya pekerjaan, Fafa jadi kurang memerhatikan di coffee shop.
Banyak pesanan terlambat dan kebetulan pemilik serta bagian operasional coffee shop berada di lokasi. Keduanya memarahi Fafa habis-habisan dan menuduh dirinya malas-malasan.
“Saya dimarahi di depan pelanggan saat itu juga. Benar-benar malu. Ia bilang saya nggak boleh duduk dari shift awal sampai akhir, tidak boleh istirahat sama sekali. Posisinya udah maghrib, saya nggak makan sama sekali dan nggak bisa beribadah,” katanya mengenang dengan sedih.
Di momen yang sama, atasan Fafa melempar satu gelas cinnamon roll di hadapan pelanggan. Yang miskomunikasi barista, tapi Fafa yang kena imbas karena bosnyan menganggap ialah yang bikin pelanggan marah dan pergi. Di posisi itu, tak ada yang membela. Fafa kemudian membereskan tumpahan minuman.
Perihal telat makan sering ia alami. Sedihnya lagi ia sering terpaksa bekerja lewat dari jam seharusnya karena pelanggan yang tak kunjung pergi saat jam tutup, tapi juga tak bisa mengusir begitu saja.
Waktu tutup pukul 10 malam tetapi Fafa sering pulang larut jam 12 atau bahkan jam 1 malam. Hal tersebut dianggap biasa dan tak terhitung lembur. Apalagi saat hari-hari evaluasi yang mulai jam 12 malam, ia baru pulang pagi hari.
“Bayaran per shift kalau weekdays itu 50 ribu, kalau weekend 75 ribu, bayaran setelah naik gaji soalnya aku dikasih tambahan job desk. Shift-ku 8 jam, mulai jam 1, 2, atau 3 siang tergantung kesepakatanku dengan anak-anak. Tiap minggu beda,” katanya. Fafa masuk kerja dengan sistem 4 hari kerja dan 2 hari libur.
Jam kerja yang nggak habis pikir, dan lingkungan toxic
Selama bekerja, Fafa merasa tak punya teman. Ia mengistilahkan diri sebagai outsider yang melamar pekerjaan kepada orang-orang yang sudah tergabung dalam satu kelompok pertemanan. Toxic sudah pasti.
Pelecehan verbal jadi makanan sehari-hari. Suatu waktu seorang barista menyentuh bagian sensitifnya. Ia jadi bahan lelucon seksual. Pengalaman buruk lain ia terima berkaitan dengan larangan agamanya.
“Mereka sering minum-minum, saya nggak pernah ikut. Beberapa kali mereka membohongiku, mereka minta aku minum, ternyata alkohol, nggak banyak (jumlahnya) tapi bikin nggak nyaman. Mereka juga pernah bohong, mengajak makan, ternyata makanan itu haram (babi),” terang Fafa yang notabene seorang muslim.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi menjadi akumulasi ketidaknyaman yang ia rasakan. Akan tetapi, bayaran yang ia terima membuat Fafa mampu bertahan selama setahun.
“Sebenernya mereka merupakan lingkungan kerja yang sangat toxic. Tapi sekarang masih bisa berhubungan baik kok, dengan kesabaran saya setinggi gunung,” pungkasnya.
Bertahan hidup dengan upah murah di Jakarta
Meski bukan Gen Z, Nurul (31), seorang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK), di salah satu rumah sakit Jakarta merasakan bagaimana bekerja dengan upah 50 persen karena jeleknya manajemen perusahaan.
Puluhan orang yang berstatus kontrak sudah diputus kerja. Nurul lolos sebab ia adalah pegawai tetap yang sudah bekerja selama 7 tahun 4 bulan. Namun, bukan tanpa dampak. Upah yang ia terima saat ini adalah dampak dari kebijakan pemotongan jam kerja 50 persen.
“Awal mula bekerja di tempat sekarang karena salary yang menarik, kemudian tidak ada sistem senioritas jadi bekerja secara kekeluargaan. Tidak ada persaingan antar karyawan selama bekerja karena sebenarnya saya bukannya orang yang kompetitif sehingga keadaan kekeluargaan seperti ini membuat saya nyaman dalam bekerja,” kata Nurul memulai ceritanya.
Awal bekerja, ia merasa sejahteran dengan pendapatannya. Sayangnya setahun terakhir manajemen perusahaan memburuk. Para pekerja di-PHK, pengurangan jam kerja 50 persen karena perusahaan tidak mampu bayar tetapi di sisi lain pekerjaan semakin bertambah.
“Pekerjaan 7 orang tapi harus dikerjakan 3 orang,” katanya.
Nurul mengakui, ini menjadi pekerjaan satu-satunya. Sehingga pendapatannya pun sangat bergantung dengan upah yang ia terima.
Ia bekerja di bidang farmasi selama 11 tahun. Namun, pengalaman di tempat kerja saat ini adalah kondisi tersulit yang ia alami.
Demo dan tuntutan memenuhi hak karyawan
Awal tahun ini, para pekerja melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut perusahaan untuk segera membayarkan hak normatif karyawan, terutama yang sudah meninggal, pensiun, dan mengundurkan diri.
Para pekerja juga mempertanyakan gaji 13 dan kenaikan gaji yang selama 4 tahun belakangan tak ada kabarnya. Selain itu, menuntut pembayaran utang kepada karyawan seperti THR dari tahun 2020 sampai 2023 yang perusahaan hanya bayarkan 25 persen sebab menyalahi aturan UU Ketenagakerjaan.
Perusahaan selalu mengambil keputusan sepihak, sehingga merugikan para pekerja karena tidak mendapatkan transparansi. Namun, Nurul dan para pekerja kembali menelan kecewa karena tuntutan-tuntutan itu tak kunjung ada tindak lanjut sampai hari ini.
“Sisa THR nggak tahu dibayar apa diikhlaskan, beritanya ngambang. Cuma dari mulut ke mulut. Karena ada temen saya yang resign dan nanya soal sisa THR 2020, kata manajemen, ‘ikhlaskan saja’,” jelasnya.
Terkait tunjangan seperti uang kehadiran, uang shift, dan jasa medis juga tak menemui titik terang. Mereka pun tak menerima slip gaji dengan rutin sehingga tak bisa memeriksa rincian uang yang mereka terima.
“Slip gaji biasa dikirim ke email tapi selalu belakangan bisa seminggu atau dua minggu setelah gajian. Malah saya udah tiga bulan ini nggak sesuai sama slip gaji, baru bisa protes selisih gajinya setelah slip keluar,” katanya.
Meskipun selisihnya hanya 120 ribu, 200 ribu, atau 300 ribu, tapi rasanya sangat berharga apalagi di tengah krisis keuangan, aku Nurul.
Pengurangan karyawan buat beban kerja makin parah
Pengurangan karyawan membuat ia dan pekerja yang tersisa harus menanggung beban berkali lipat.
“Masuk kerja 50 persen tapi beban kerja 200 persen. Di farmasi nggak ada pengurangan tapi banyak yang resign. Pasien tetap banyak jadinya berat,” keluhnya. Pekerjaannya yang berat tak sebanding dengan upah murah yang ia terima.
Nurul selalu berpikir untuk berhenti tetapi ia merasakan keterikatan secara emosional dengan teman-temannya. Ia masih bertahan walau selalu melihat kemungkinan pindah kerja karena tuntutan kebutuhan.
Reporter: Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pekerja Gaji di Bawah UMR Jogja: Jangankan Mimpi Beli Rumah, Bayar Kos Sendiri Saja Belum Sanggup
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News